Tak Ada Partai Politik yang Berkampanye Melindungi Hak-hak Digital Kelompok Minoritas
Kelompok minoritas rentan di ranah digital. Dalam kehidupan nyata mereka juga mesti ekstra hati-hati ketika mengekspresikan keyakinannya.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah19 Februari 2024
BandungBergerak.id - Takut dan khawatir. Kedua perasaan itu selalu menyelimuti Sabeh (23 tahun). Ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, ia melihat tempat ibadahnya dibakar massa di pagi buta. Perilaku kekerasan orang-orang dewasa ini mengendap dalam benak salah seorang jemaat Agmadiyah ini sampai kini ketika ia sudah dewasa.
Peristiwa traumatis itu terjadi tahun 2008 di Parakan Salak, Sukabumi, Jawa Barat. Dalam setiap konflik, anak-anak selalu menjadi salah satu korban yang paling dirugikan.
“Jadi, setelah pembakaran itu kami gak sekolah dulu seminggu, karena takut ada bullying (perundungan) juga,” cerita Sabeh.
Selain takut dirundung teman-temannya, Sabeh kecil juga memilih untuk tidak mengajak teman-temannya ke rumah. Apabila harus terpaksa mengajak ke rumah ia meminta temanya untuk menunggu di luar saja.
“Karena takut, menghindari itu, dan di sana sudah mulai sadar bahwa saya beda dari yang lain,” kata Sabeh.
Sabeh kecil menjadi korban dari sikap-sikap yang tidak mau menerima perbedaan keyakinan. Untungnya di bangku SMP dan SMA ia berada di ruang komunitas yang aman dan memiliki persamaan. Tetapi bayangan khawatir dan menakutkan kerap menemainya.
“Waktu datang ke Bandung, ada rasa takut lagi seperti waktu SD,” jelas Sabeh, yang juga mahasiswa di salah satu universitas di Kota Bandung.
Nahasnya, pengalaman trauma, ketakutan, kekhawatiran diperparah dengan payung hukum yang diskriminatif, tidak memihak pada kelompok-kelompok minoritas rentan seperti Sabeh dan para penganut Ahmadiyah lainnya.
Di tingkat lokal seperti Jawa Barat, belum ada revisi pada Peraturan Gubernur (Pergub) Jabar Nomor 12 Tahun 2011. Di tingkat nasional masih ada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.
Adanya regulasi yang antikeberagaman itu bikin Sabeh ekstra hati-hati dalam mengekspresikan keagamaan di muka umum dan media sosial. Menurut Sabeh, hampir semua jamaat Ahmadiyah tidak begitu berani dan terang-terangan mengekspresikan keagamaan di dunia maya.
“Engga semua berani, bahkan jarang, paling menyantumkan simbol saja, dan itu pun hanya sesama Ahmadiyah yang tahu,” ujar aktivis keberagaman ini. “Kalau pun ada acara khusus di Ahmadiyah, kita diimbau untuk tidak memposting di sosial media pribadi.”
Sikap hati-hati dalam mengekspresikan keagamaan di media sosial juga dilakukan aktivis muda Ikatan Jamaah Ahlul Bait (Ijabi) asal Bandung, Zahra (26 tahun). Kehati-hatian ini sebagai upaya untuk menghindari bullying dan penyerangan data pribadi.
“Di dunia maya itu keamanan itu rapuh banget gitu loh. Dari situ sudah mikir, butuh kesadaran sendiri,” jelas Zahra.
Serangan Pribadi di Dunia Maya
Berbeda dengan Zahra dan Sabeh, ekspresi keagamaan di media sosial dilakukan secara terang-terangan oleh Mail (30 tahun), penganut Syiah asal Bandung. Sebagai Syiah, ia sering mendapati ajakan debat di media sosial.
“Saya mah suka diladenin kalau ada yang gitu. Tapi sudah lama engga main sosmed, dulu waktu di Facebook gitu,” beber Mail.
Bahkan usaha produksi roti Mail pernah diserang. Beruntung, serangan tersebut tidak berpengaruh.
“Sempat juga di-screenshoot waktu itu tempat usaha, dan disebarkan di sosial media, hati-hati jangan belanja di sini katanya punya Syiah. Tapi gak ngaruh apa-apa juga,” cerita Mail yang membuka usaha roti Arab.
Pengalaman lain diceritakan Ridwan (25 tahun), penganut Syiah lainnya. Sehari-hari Ridwan mengajar di sebuah pesantren. Ridwan punya murid yang pernah menjadi sasaran perundungan di media sosial. Bahkan si perundung sampai mencari email pribadi.
“Murid saya baru 16 tahun, itu sampai diserang dan di-bully di sosial medianya, sampai-sampai dicari emailnya,” jelas Ridwan.
Penyerangan tersebut biasanya terjadi di bulan Muharram menjelang peringatan Asyuro, hari besar bagi umat Syiah. “Di Muharram biasanya, anaknya memang begitu aktif share di sosial media,” kata Ridwan.
Sang murid tak berani bercerita ke orang tuanya. Dia hanya berani curhat kepada Ridwan yang aktif menjadi mengajar di majelis Syiah. Keamanan digital dan literasi media sosial memang semakin krusial di era teknologi informasi saat ini.
Baca Juga: Menjadi Muslim yang Minoritas
Hak Minoritas Menurut Will Kymlicka
Media Massa Diingatkan agar Menghindari Politisasi Agama dengan Menerapkan Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman
Kampanye Politik tidak Menyentuh Kelompok Minoritas
Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang baru saja lewat telah mengobral janji politik demi mendongkrak ekstabilitas kandidat Pilpres maupun partai politik dan calon legislatif. Namun, kampanye mengenai keamanan digital pribadi tidak pernah disentuh oleh para aktor dan konstenstan politik.
Padahal keamanan digital ini termasuk hak asasi manusia yang dilindungi oleh konstitusi berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dalam pasal 28F UUD yang menyatakan negara menjamin hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Undang-undang inilah yang kemudian menurut Kartika Puspitasari dalam tulisan Perlindungan Hak Asasi Digital sebagai rumusan dasar pemberian hak digital bagi masyarakat. Dan, rumusan ini lebih lanjut diatur dalam Undang-Undang No. 29 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
“UU HAM melegitimasi bahwa internet dapat digunakan untuk mengembangkan diri pribadi setiap orang. Namun sayangnya, dalam pelaksanaannya masih terjadi ketimpangan akses internet di Indonesia, yang utamanya disebabkan oleh infrastruktur yang belum merata,” kata Kartika diakses, Senin, 12 Februari 2024.
Pemenuhan hak digital di Indonesia belum terimplentasikan dengan baik dan tepat. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan, lanjut Kartika, antara lain meningkatkan literasi digital, pemenuhan infrastruktur digital, dan pemerataan internet.
Selain itu, undang-undang yang melindungi HAM di bidang digital perlu disegarkan, salah satunya RUU Perlindungan Data Pribadi. “Pemerintah juga harus dapat menentukan peran yang tepat, agar dapat menyeimbangkan perlindungan individu dan nilai-nilai masyarakat dengan pemberian hak kebebasan berpendapat di dunia digital,” tulis Kartika.
Pemenuhan hak-hak asasi manusia terkait ranah digital ini masih jauh panggang dari api. Bahkan dalam gempita kampanye, isu ini bagai angin, tak terdengar. Meski sudah ada relugasi yang menjamin tapi tak ada partai politik di musim kampanye Pemilu 2024 yang menyuarakan hak-hak digital.
Pakar Komunikasi Politik dari Universitas Padjajaran Kunto Adi Wibowo menyebutkan, kealfaan isu-isu terkait dunia digital karena tak menjamin elektabilitas bagi orang ataupun partai politik yang mengusungnya.
“Partai tidak melakukan itu, mereka pragmatis. Lihat isu paling relevan dengan pemilih, itu jauh,” kata Kunto, saat dihubungi BandungBergerak, Sabtu, 10 Februari 2024.
Tidak ada tokoh partai politik yang membicarakan topik dunia digital. “Mereka cenderung mengindari yang mereka tidak ketahui,” jelas Kunto.
Ketika isu-isu umum terkait hak-hak digital saja sangat minor disuarakan para elite, apalagi menyangkut hak-hak digital bagi kelompok minirotas rentan. Regulasi yang ada seharusnya melindungi minoritas tapi malah sebaliknya, melindungi elite sendiri.
Sebagai contoh, sebut Kunto, soal ujaran kebencian (hate speech) yang dipakai elite untuk mengukuhkan kekuasaannya, alih-alih melindungi kelompok minoritas rentan.
“Ancaman, penghilangan kemanusiaan itu menurut saya hate speech. Jadi hate speech akhirnya alat hukum yang dilakukan oleh kekuasaan, tidak melindungi minoritas tapi malah melindungi elite. Di sini kelihatan, bagaimana komitmen dan pemahaman yang dilakukan (terhadap) minoritas,” tutur Kunto.
Pangan Murah dan UU ITE
Kampanye partai politik masih berputar-putar pada persoalan pangan murah dan mudah, pekerjaan atau lowongan kerja, dan kesehatan. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merupakan salah satu partai yang berkampanye di seputar isu-isu tersebut. Meskipun begitu kampanye digital melalui media sosial menjadi bagian dari strategis PKS untuk meraih dukungan.
Dalam konteks dunia digital, partai yang kini menjadikan warna jeruk sebagai simbolnya mendorong kader-kadernya untuk meningkatkan literasi digital agar tidak mudah percaya pada informasi hoaks. “Termasuk memahamkan UU ITE agar menghindari konten-konten yang melanggar UU ITE,” kata Ketua DPW PKS Jawa Barat Haru Suandharu, saat dihubungi, Sabtu, 10 Februari 2024.
Haru Suandharu juga menekan pemerintah untuk meningkatkan pengamanan digital yang saat ini rentan mengalami peretasan atau pencurian data pribadi. “Sampai pada pinjol ilegal yang sudah cukup meresahkan,” tutur Haru.
Haru menekankan, keamanan digital menjadi perhatian partai. Terlebih beberapa kadernya ada yang pernah mengalami pencurian data pribadi dan pembajakan Whatsapp. Namun Haru mengaku tidak ada pendataan khusus mengenai berapa jumlah kader yang pernah dicuri datanya.
“Hanya ada klarifikasi saja dari yang bersangkutan kepada anggota terkait masalah tersebut,” jelas Haru.
Saat ditanyai mengenai keberpihakan pada minoritas dan hak digital, Haru mengatakan bahwa kelompok minoritas mendapatkan perhatian khusus. “PKS senantiasa melayani masyarakat termasuk kelompok minoritas terutama disabilitas, menjadi perhatian khusus bagi PKS,” ungkapnya.
Sementara pada minoritas keagamaan seperti Syiah dan Ahmadiyah, tidak menjadi bagian dari kampanye PKS. “Mangga tanya sama MUI saja dua hal tersebut, PKS mah urusannya pangan murah, kerja gampang, sehat mudah, dan Jakarta tetap Ibu Kota,” tegas Haru.
*Liputan ini Mendapatkan Dukungan Hibah dari Program Fellowship AJI Indonesia