Bertahan dalam Gelombang Intoleran: Mendengarkan Cerita Jemaat Syiah di Bandung Raya
Jemaah Syiah di Bandung Raya selalu menghadapi aksi intoleran setiap kali memperingati Asyura . Terus membuka ruang dialog sambil bersolidaritas menjadi cara mereka
Penulis Awla Rajul10 Desember 2024
BandungBergerak.id - Sesuai rencana, perayaan puncak Asyura atau Haul Imam Husein di Grand Ballroom La Gardena Kopo Square, Bandung, Rabu, 17 Juli 2024 lalu dimulai sekitar pukul satu siang. Satu jam berjalan, ketika jatah tempat untuk laki-laki belum terisi penuh oleh jemaah, Hilmi D. Haq (31 tahun) mendapat kabar dari panitia keamanan yang berjaga di luar gedung bahwa telah datang sekelompok orang yang hendak “menyuarakan pendapat”. Hilmi merupakan bagian dari panitia yang bertanggung jawab atas jalannya acara.
Dibantu aparat kepolisian yang sudah berjaga di lokasi sejak pagi, panitia keamanan berusaha menahan massa penolak agar tidak masuk ke dalam gedung. Namun karena hanya ada satu pintu akses utama ke lokasi acara, massa penolak yang tertahan mengalihkan aksi untuk mengadang jemaah yang baru datang, baik yang menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat.
“Kalau menyuarakan pendapat aja sih gak masalah, tapi yang jadi masalah adalah ini melakukan intimidasi. Awalnya (kami) diteriakin orang yang datang dengan bahasa-bahasa yang kurang bagus, bahasa binatang yang harusnya gak diucapkan. Ya sesat, kemudian ada yang sampai ngomong, yang saya dengar, ‘anjing’,” tutur Hilmi, Jumat, 29 November 2024.
Di dalam gedung, kegiatan Asyura terus berlanjut khidmat, sementara panitia keamanan dan pihak kepolisian di luar gedung sibuk menahan massa penolak yang melafalkan makian, intimidasi, serta melempar botol ke arah gedung dan kendaraan jemaat yang baru tiba. Panitia keamanan merapalkan “Labbaika ya Husein” sebagai kobaran semangat. Menjelang pukul tiga, polisi mulai mendesak panitia Asyura untuk segera menyelesaikan acara. Panita bergeming.
“Kami punya hak konstitusi, dilindungi undang-undang, punya pemberitahuan ke polisi. Kemudian ini acara internal bukan mengundang orang dari luar. Ustaznya internal semuanya. Gak ada yang kita langgar secara hukum. Apa hak mereka membubarkan kami?” ungkap Hilmi.
Panitia melanjutkan perayaan Asyura hingga selesai pukul setengah empat sore. Lebih cepat 30 menit dari yang direncanakan. Meski mendapatkan penolakan, tak ada satu pun acara yang terpotong dan dihilangkan. Hanya beberapa bagiannya dipercepat atau dipangkas durasinya. Jemaah Syiah membubarkan diri dengan pengawalan polisi melalui jalur depan dan belakang.
Namun justru setelah selesai inilah kondisi memanas. Ketika panitia acara sedang bersih-bersih lokasi, merapikan gedung dari sisa-sisa sampah kegiatan, masuklah seorang anggota massa penolak ke dalam gedung dan mulai merekam video. Sontak panitia yang ada mengerubungi orang itu, menghalau upayanya sambil merekam video balik. Mereka meminta orang itu keluar gedung. Inilah awal serangan fisik, berupa pukulan dan tendangan ke salah satu jemaah Syiah.
“Anak saya yang kena tendang. Dia (massa itu) pake sepatu lars yang kayak sepatu satpam. Sampai biru kaki anak saya karena dipukul,” ujar Imas, bukan nama sebenarnya, (57 tahun), salah seorang panitia keamanan jemaah perempuan, Minggu, 30 November 2024.
Putri Imas itu berusia 28 tahun dengan postur tubuh yang tinggi kurus. Dia juga menjadi panitia perayaan Asyura dan saat itu sedang bersih-bersih gedung. Karena pemukulan itu, anaknya mengalami lebam di bagian kaki dan lengan atas. Selain anaknya, kata Imas, ada pula salah seorang jemaah perempuan lain yang diduga juga kena pukul oleh massa penolak ketika pulang.
“Kita tadinya mau balas, tapi menurut arahan ustaz, ‘ya udahlah, bukan kita kalah, tapi kita mengalah’. Karena yang diajarkan oleh Imam Husein adalah memperjuangkan kebenaran dengan pengorbanan dan penghargaan kepada yang berbeda keyakinan. Kasih sayang, toleransi, bahwa keyakinan tidak bisa dipaksakan,” ucap Imas mengikhlaskan.
Meski begitu, Imas geram: mengapa kelompok itu “mengganggu” perayaan Asyura, sementara dana serta penyewaan gedung bersumber dari jemaat Syiah? Ketika ustaz dari jemaat Syiah mengajak dialog, massa penolak lantas berdalih bahwa itu bukan waktunya berdialog, tetapi waktunya perang. Massa penolak menggambar-gemborkan bahwa Syiah adalah kafir dan sesat. Tetapi ketika ditanya di mana letak sesat dan kafirnya, massa penolak tak berkutik dan justru tersulut emosi.
Imas juga menyayangkan ada massa yang menyusup ke dalam gedung. Massa penolak perempuan yang menyusup berhasil diamankan oleh panitia keamanan. Tetapi massa penolak yang menyusup di jemaat laki-laki berhasil melakukan serangkaian aksi memproduksi informasi hoaks yang berbau fitnah kepada jemaat Syiah. Informasi yang diambil di dalam gedung ini disampaikan kepada massa di luar diduga untuk semakin menyulut emosi.
Di antara rangkauan Asyura ini, jemaat Syiah memainkan kabaret atau teater yang di dalamnya ada adegan pemenggalan Imam Husein, cucu Nabi Muhammad SAW, oleh musuh. Ada pula adegan perang. Imas menjelaskan, adegan tersebut merupakan bentuk simbolik yang bersumber dari sejarah.
Namun, anggota massa yang masuk bermaksud mengambil foto adegan-adegan kabaret tersebut untuk menyebarkannya. “”Cuplikan kabaret itu, yang diberitakan ke yang di luar, kalau yang di dalam lagi ada adegan orang Syiah lagi menyakiti diri. Kan itu lagi kabaret, kita ingin visualisasi ada adegan Imam Husein yang dipenggal kepalanya, terus ada adegan perang. Yang difoto itu ketika adegan perang. Pedangnya itu pedang-pedangan dari kayu,” lanjut Imas yang juga merupakan Ketua Pimpinan Wilayah Muslimah Ahlul Bait Indonesia (ABI) Jawa Barat.
Berharap Dialog dengan Kelompok Intoleran
Perayaan puncak Asyura di Kopo Square digelar oleh Komunitas Ahlul Bait Bandung Raya (KABAR) yang merupakan perkumpulan majelis ta’lim Syiah se-Bandung Raya. Kegiatan ini diselenggarakan untuk kalangan internal semata sejak hari pertama bulan Muharam. Selama sembilan hari, perayaan di masing-masing majelis taklim berjalan kondusif. Di hari ke-10, jemaah bersepakat merayakan puncak Asyura bersama-sama setelah terakhir kali dilakukan lima tahun lalu.
Penolakan asyura yang dialami KABAR pada Juli 2024 lalu bukan yang pertama kalinya terjadi di Bandung. Melalui pelacakan pemberitaan terdahulu, penolakan Asyura hampir terjadi setiap tahun di Bandung. Pertama kali terjadi pada tahun 2013, 23 ormas menolak peringatan Asyura di Gedung Istana Kana Kawaluyaan. Tahun 2014 pun terjadi, ratusan elemen ormas Islam membubarkan tiga kegiatan peringatan Asyura.
Melalui analisis pemberitaan media, terlihat pola yang dipakai kelompok massa yang melakukan penolakan Asyura. Mereka terlebih dahulu menyurati atau menemui aparat kepolisian dan pemerintahan setempat sebelum puncak 10 Muharam. Upaya itu dilakukan diduga untuk mendesak agar pemerintah dan aparat keamanan “mendukung” upaya penolakan maupun pembubaran yang mereka lakukan.
Penolakan Asyura pun bukan saja terjadi Bandung, tetapi juga terjadi di banyak tempat di Indonesia dalam kurun waktu lima tahun belakangan. Jemaat Syiah Solo mendapatkan penolakan, pembubaran, hingga tindakan represif pada perayaan Asyura 2018 lalu. Mundur setahun pada 2017, jemaat Syiah Jawa Tengah bersikukuh melangsungkan perayaan Asyura meski mendapatkan gelombang penolakan dari sejumlah ormas Islam di Semarang.
Sementara di Sulawesi Selatan, pada 2020, Forum Ummat Islam Bersatu (FUIB) Sulsel menyatakan penolakan terhadap perayaan Asyura. Ketua Aliansi Nasional Anti Syiah (Annas) Sulsel, Farid M. Nur, dilansir dari suaraislam.id, menyatakan tidak akan tinggal diam dan akan bersinergi dengan Ormas Islam dan aparat keamanan untuk melakukan pembubaran perayaan Asyura.
Itu baru sepotong kisah penolakan maupun pembubaran perayaan Asyura. Sebab, terdapat kisah penyerangan pesantren Syiah di Jawa Timur pada 2007, pembakaran pesantren Syiah di Sampang, Madura, Jawa Timur pada 2011 hingga 2013, hingga kisah fenomenal pengusiran dan penyerangan warga Syiah di Sampang.
Mereka yang terusir dari tanah kelahirannya ini, melalui dua gelombang, April 2022 dan Mei 2023, kembali ke Sampang setelah terlunta-lunta di pengungsian rumah susun di Sidoarjo, Jawa Timur selama lebih satu dekade. Sebelumnya pada 2020, sekitar 256 eks-Syiah dibaiat menjadi Ahlussunnah Wal Jama’ah (Sunni).
Imas Supriati (57 tahun), Panitia Keamanan Jemaat Perempuan menjadi penganut mazhab Syiah sejak 1997. Sebelumnya ia merupakan seorang Sunni, mempelajari ajaran NU, Muhammadiyah, hingga Persis. Imas juga pernah aktif di gerakan Negara Islam Indonesia (NII) ketika duduk di bangku sekolah menangah atas hingga ia memilih menjadi Syiah.
Setelah menjadi penganut mazhab Syiah, Imas tidak pernah terang-terangan maupun tertutup dengan cabang keyakinan yang dijalankan, tetapi sekadar tahu sama tahu (TST). Ketua Pimwil Muslimah ABI Jabar ini menerangkan, penolakan kepada kelompok Syiah, terutama di Bandung hanya dialami pada perayaan Asyura saja. Penolakan yang dialami, kata Imas, tidak menggoyahkan, tetapi malah meneguhkan keyakinannya.
“Ya karena keyakinan, terus spirit pengorbanan Imam Husein. Kita mah belum apa-apanya, baru didemo aja. Kalau Imam Husein udah dipenggal (kepalanya). Itu semangat yang membuat kita bertahan dan Insya Allah akan semakin kuat ke depannya,” kata Imas. “Ini bukan kita mencari masalah, mempertahankan keyakinan itu perlu. Gini misalnya, emas itu kan untuk menjadi emas tidak begitu saja menjadi emas. Harus ditempa kalau kita punya keyakinan.”
Menurut Imas, ada tiga golongan yang melakukan penolakan kepada jemaat Syiah. Pertama adalah golongan yang sama sekali tidak tahu menahu soal Syiah. Golongan kedua adalah orang yang hanya ikut-ikutan, mengikuti kata pemimpin, atau mereka yang punya “kepentingan” tertentu. Sementara golongan ketiga adalah “pentolan-pentolan”, yaitu mereka yang mengetahui tentang Syiah. Namun, mereka merasa kepentingannya terusik karena adanya Syiah.
Imas tak ambil pusing dan menyimpan dendam kepada kelompok penolak. Sebab, kelompok penolak ini masih saudara sesama muslim. Makanya ia akan senantiasa mendoakan agar mereka mendapatkan petunjuk, diberi pencerahan, bahwa sebenarnya Syiah merupakan bagian dari Islam yang hanya berbeda mazhab saja.
“Orang Syiah ini terbuka kalau mau diajak dialog, hayu. Kalau mau diluruskan kayak video yang viral peringatan Asyura yang katanya orang Syiah salatnya nepuk-nepuk dada, ya enggak begitu, makanya hayu liat salat kita seperti apa. Hanya bedanya kalau yang Sunni sedekap, kita lurus. Kan antara NU, Muhammadiyah, Persis juga ada perbedaan. Syiah juga ada perbedaan, itu hanya furu’iyah aja, kita masih bagian dari Islam,” tegasnya.
Imas menegaskan, jemaat Syiah sangat terbuka dengan dialog dan diskusi. Ia pun sangat berharap pemerintah membuat upaya tersebut. Ia menekankan agar pemerintah melakukan obrolan dua arah, dengan jemaat Syiah dan kelompok penolak, alih-alih langsung menerima laporan dari kelompok penolak dan mengamini tindakan intoleransi.
Hilmi D. Haq (31 tahun), Panitia Bidang Acara Perayaan Asyura, menjadi Syiah sekitar tahun 2000, setelah orang tuanya mulai mengikuti mazhab Ja’fari Syiah. Selain penolakan setiap Asyura, Hilmi juga pernah mengalami diskriminasi secara personal karena identitas keagamaannya itu.
Ia tidak pernah berpura-pura maupun terang-terangan. Waktu masih menjadi mahasiswa di ITB, Hilmi pernah menjabat sebagai wakil ketua pada organisasi kajian Islam di jurusannya. Ketua organisasi lantas pindah kampus ke luar negeri. Semestinya, sesuai anggaran rumah tangga organisasi itu, Hilmi naik menjadi ketua organisasi. Tetapi ia malah didepak karena diketahui Syiah dan organisasi itu melakukan forum pemilihan ketua baru tanpa memberitahu kepadanya.
Atas kejadian ini, Hilmi sempat dikucilkan. Beberapa temannya bahkan tak mau menjawab salam, karena Hilmi sudah dianggap keluar Islam. Ada pula seorang kakak tingkat yang dulu akrab dengan Hilmi, kini menjadi Ustaz terkenal dari salah satu aliran agama Islam. Mengetahui Hilmi adalah seorang Syiah, kakak tingkat itu tidak pernah mau diajak berdiskusi dan diajak bertemu.
“Kebetulan waktu itu dia sempat dirawat, saya mau datang, tapi enggak mau ditemui. Kata temannya, kakak itu gak mau ditemui karena takut dibunuh. Loh gimana kok bisa sampai begitu. Saya gak tau itu dapat pikiran dari mana, tapi sampai seperti itu. Ada perlakuan-perlakuan yang mungkin mereka juga gak sadar, akhirnya terjadi diskriminasi ke saya. Tapi itu bukan hal yang mengganggu, saya mah jalan-jalan aja,” ceritanya.
Hilmi berpendapat, biasanya bisa terjadi hingga ke fase itu lantaran menerima fitnah terkait Syiah, tidak mengklarifikasinya, dan mendapatkan doktrin yang begitu kuat. Tapi itu tidak membuat Hilmi gentar. Sebab banyak teman-teman yang mengenalnya sebagai Syiah masih mau berteman. Beberapa temannya yang berbeda mazhab bahkan terbuka dengan dialog dan diskusi terkait isu-isu keagamaan terkini.
Atas diskriminasi maupun intoleransi yang dialami oleh jemaat Syiah, bagi Hilmi, itu merupakan konsekuensi yang lahir dari keputusan berpikir dan konsekuensi dari keimanan yang dipilih. Ia meyakini mazhab Syiah berbekal dari pemahaman konsep, lantas mengimaninya.
“Pada dasarnya itu tidak menjadi lemah, tidak menjadi takut karena konsekuensi itu. Karena itu sudah satu produk berpikir. Sehingga ketika ada tekanan-tekanan, sifatnya adalah bagaimana merespons dari sisi bertawakal kepada Allah. Kondisinya memang seperti ini, kami minoritas dan ada yang salah paham, kita tidak menyimpan dendam kepada mereka, tidak juga kami menginginkan mereka dimusnahkan. Tapi kita ingin membuka ruang-ruang dialog, itu yang selalu kami upayakan,” tegasnya.
Melalui dialog dan forum diskusi yang ilmiah, lanjut Hilmi, sebenarnya telah melahirkan kesepakatan antara ulama-ulama besar Islam mengenai Syiah. Merujuk pada “Dinamika Syiah di Indonesia” yang diterbitkan Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Kementerian Agama pada 2017, kenyataan bahwa Syiah telah disahkan sebagai salah satu mazhab dalam Islam adalah dari hasil pertemuan tokoh Islam OKI pada 9 November 2006 yang melahirkan Deklarasi Amman.
Lantas pada 2011, lahir pula Risalah Amman yang ditandatangani 512 ulama dari 80 negara. Risalah Amman itu menyebutkan delapan mazhab yang sah dalam Islam, salah satunya adalah Syiah Imamiyah/Ja’fariyah. Selain pengakuan, risalah Amman juga melarang umat Islam melakukan takfir (mengkafirkan) kepada penganut teologi Asyariyah, Maturidiyah, dan kaum tasawuf. Bahkan apabila menghakimi salah satu mazhab fiqh dan teologi sebagai kafir, maka berarti pelaku takfir tersebut adalah kafir.
Bagi Hilmi, penolakan terhadap Asyura bukan suatu hal yang besar dan menyurutkan niat. Sebab, belakangan Syiah memiliki satu tujuan yang lebih besar, misalnya, membebaskan Palestina dari penjajahan yang dilakukan Zionis Israel. Lulusan ITB ini juga ingin melakukan dialog dan komunikasi kepada kelompok penolak.
“Mereka itu masih saudara kita sesama muslim. Itu dulu yang perlu digarisbawahi. Beda dengan zionis Israel yang jelas-jelas punya agenda khusus untuk menghancurkan Palestina dan negara lain. Ini tuh masih saudara sesama muslim, jadi kita dirangkul bagaimanapun caranya. Bahkan kalaupun bukan muslim, ada non-muslim yang menolak kita, mereka masih saudara kita sesama manusia yang masih bisa dirangkul. Sehingga ayo kita sama-sama diskusi,” katanya dengan tabah.
Hilmi bahkan menyebut, secara global, negara-negara Islam di dunia yang notabenenya berbeda mazhab sudah bersatu untuk melawan musuh yang sama, Israel. Sama seperti jemaat Syiah yang sejak 2023 lalu aktif melakukan aksi dan kampanye digital untuk pembebasan Palestina, kelompok penolak diketahui juga sering melakukan upaya yang sama.
“Kenapa kita gak sama-sama aja bikin aksi sih? Karena kita punya tujuan yang sama daripada mikirin hal-hal yang remeh, perbedaan antar mazhab yang sifatnya itu bukan satu hal yang menjadi agenda kita saat ini,” ungkapnya.
Peran Pemerintah: Mediasi
Di Indonesia, terdapat dua organisasi yang menaungi penganut mazhab Syiah. Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI) dideklarasikan pendiriannya pada 1 Juli 2000 di Gedung Merdeka, Kota Bandung. Pendirian organisasi ini, tak lepas dari sosok Jalaluddin Rahmat. Organisasi lainnya adalah Ahlul Bait Indonesia (ABI) yang pendiriannya didasari pada hasil Forum Rakernas pada perhelatan Silaturahmi Nasional (Silatnas) ke-9 pada Juli 2010. Sama seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Persatuan Islam (Persis), kedudukan dan legalitas IJABI dan ABI juga diakui pendiriannya melalui mekanisme administratif.
Masih membekas dalam ingatan Rustana Adi, Ketua DPD ABI Kota Bandung, ketika 2023 lalu, video perayaan Asyura jemaat Syiah dicap sebagai aliran sesat viral di media sosial. Rekaman video yang viral itu diambil dari sebuah kos-kosan di seberang sekretariat ABI di Gegerkalong, Kota Bandung. Potongan video itu menunjukkan ruangan yang berwarna merah dengan bayang-bayang orang yang memukul-mukul dada.
Adi menjelaskan, lampu ruangan sengaja dinyalakan yang berwarna merah untuk membangun suasana dan simbolis yang menggambarkan darahnya Husein, cucu Nabi Muhammad SAW. Sementara memukul dada, merupakan prosesi ketika pembacaan syair duka atau disebut maktam. Adi menegaskan, itu bukanlah upacara aliran sesat. Melainkan salah satu tata cara memperingati wafatnya Imam Husein yang meninggal dengan dipenggal kepalanya di Padang Karbala pada 10 Asyura.
Itu bukan yang pertama kali. Pada tahun 2014, sekelompok orang dengan membawa sekitar 20 sepeda motor datang dan memasang spanduk penolakan Syiah tepat di depan sekretariat ABI. Spanduk itu lantas dicabut, tetapi lalu dipasang lagi di tiang listrik oleh para pemuda yang diduga bukan warga sekitar Gegerkalong.
“Tapi empat tahun ke sini gak ada lagi, karena kalau mau dipasang ya kita hadapi. Selalu (penolakan) dari luar, gak ada dari masyarakat. Bahkan pak RW di sini, kalau ada orang luar yang persekusi ke sini, lebih dulu pasang badan. Karena di sini gak ada masalah, yang datang dari luar,” katanya ketika ditemui Jumat, 8 November 2024.
Adi menyebut, sejak sekitar 2013, kelompok yang melakukan penolakan kepada Syiah di Bandung selalu sama, yaitu Annas atau organisasi sayapnya, seperti PPNKRI, dan lainnya. Jemaat Syiah selalu terbuka untuk dialog, diskusi, maupun berunding. Sayangnya tidak dengan kelompok intoleran itu.
“Kita terbuka, mari dialog. Mereka tidak, maunya begitu (persekusi),” kata Adi yang menjadi Syiah sejak 1990an. “Kami mengusulkan ke Kesbangpol, mediasilah. Kami hadir, kami siap mengobrol, apa sih masalahnya, sesama warga, apa masalahnya kita obrolkan. Karena tidak ada masalah yang tidak bisa dibereskan ketika kita punya sama-sama iktikad dan niat baik. Belum ada (mediasi). Kesbangpol kota tidak siap.”
Adi juga menjelaskan, upaya mediasi pernah diupayakan dan didorong oleh Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (Jakatarub) kepada Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol). Tetapi, Kesbangpol belum pernah melangsungkan mediasi antara kedua belah pihak dan baru melakukan pertemuan secara parsial.
Kelompok intoleran dalam surat penolakannya sering mencantumkan salah satu dasar pelarangan Syiah karena adanya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 1984. Padahal yang dimaksud dari fatwa tersebut adalah MUI mengeluarkan rekomendasi yang berisikan perbedaan pokok-pokok ajaran Syiah dan Sunni.
Fatwa MUI Jawa Timur yang memberi label sesat kepada Syiah juga kerap menjadi dalih kelompok intoleran. Padahal dalam konteks Jawa Barat, MUI tidak pernah mengeluarkan fatwa sesat. Bahkan MUI Kota Bandung pada 2022 mengeluarkan himbauan terkait akan tibanya peringatan Asyura agar seluruh warga menghormati dan menghargai perbedaan, serta menjaga dan memelihara kerukunan beragama.
Adi menerangkan, baik MUI Jabar dan Kota Bandung masih terkesan abu-abu terhadap jemaat Syiah. Ambiguitas MUI ini, sayangnya menimbulkan dampak buruk bagi Syiah, lantaran menimbulkan keberanian bagi kelompok anti-Syiah untuk menjalankan aksi intoleransi.
“Jadi kalau toleransi ya harusnya toleransi, bahwa ada kelompok Syiah yang harus saling menghargai, itu mazhab yang jelas, itu gak ke situ. Mungkin karena takut juga. Harusnya kan tegas dan jelas,” ungkap Adi.
Meski begitu, Adi menegaskan, seharusnya umat Islam memiliki kesadaran akan sejarah Islam dan menerima adanya keberagaman pemahaman dan pendapat di dalam Islam sendiri. Sebab, sejarah pertikaian Sunni-Syiah, jika ditarik jauh, akarnya juga bermula sepeninggal Rasulullah pada masa Khulafaur Rasyidin, yang secara global baru meroket ketika suksesnya Revolusi Islam Iran pada 1979.
“Merujuk fatwanya Imam Ali bahwa saudaramu yang tidak seiman adalah saudara dalam kemanusiaan. Artinya, NU, Muhammadiyah, Persis dan mazhab lainnya itu saudara. Termasuk yang non-muslim itu saudara kemanusiaan. Harapan saya sebagaimana merujuk kata Imam Ali, kita bersaudara semuanya, yang dibangun ukhuwah (persaudaraan). Umat Islam yang dibangun Ukhuwah Islamiyah. Perbedaan itu kan hal yang biasa,” katanya.
Ketua Pengurus Wilayah IJABI Jawa Barat, Sutrasno, juga menerangkan mediasi konflik antara jemaat Syiah dan kelompok penolak belum pernah dilakukan. Senada dengan yang disampaikan Adi, Sutrasno juga menyayangkan, mediasi yang pernah difasilitasi pemerintah malahan parsial, belum menemukan kedua belah pihak yang ditengahi oleh pemerintah dan pihak-pihak terkait.
“Saya sudah sampaikan berkali-kali ke aparat, ketika saya mengurus perizinan atau yang lain, mari kita bermediasi. Sampai hari ini belum ada dari pemerintah. Bahkan pernah satu ketika di Pemkot Bandung, ingin diadakan itu (mediasi), tapi parsial, enggak (saling) bertemu, masing-masing. Jadi belum ada titik temunya,” katanya, Selasa, 12 November 2024.
Sutrasno mencermati, di Jawa Barat, diskriminasi dan penolakan yang terjadi tersisa di Bandung dan sedikit terjadi di Garut. Beberapa tindakan diskriminasi dan intoleransi yang dialami seperti pembuatan spanduk penolakan, mendatangi gedung-gedung untuk melarang memberikan izin kegiatan, hingga mempengaruhi aparat. Sementara yang sering menjadi stigma terhadap Syiah adalah perayaan Asyura, Muthahhari, dan Kang Jalal.
Berdasarkan informasi latar belakang yang diperoleh BandungBergerak, event organizer yang menyelenggarakan kegiatan Solidaritas Palestina di Dago Tea House, pada Juli lalu mengalami pemaksaan. Kegiatan itu memang merupakan acara Solidaritas Palestina yang diselenggarakan IJABI dengan pendekatan kebudayaan dan kesenian.
Menurut sumber yang tak mau disebutkan ini, EO kegiatan itu mendapatkan ancaman dan dipaksa menandatangani surat pernyataan yang menyatakan bahwa kegiatan itu tidak terafiliasi dengan jemaat Syiah. Jika terafiliasi dengan jemaat Syiah, maka EO itu harus bersedia ditahan untuk pemeriksaan.
Meski kerap mendapatkan tindakan intoleransi, IJABI akan tetap melangsungkan kegiatan, tidak pernah meninggalkan satu rutinitas ibadah pun dan tidak mengurangi niat beribadah. “Dengan mereka menekan begitu apa kita terus tidak melakukan acara? Kita tetap mengadakan acara. Ada celah, tetap kita bisa berjalan. Karena kalau kita bikin sesuatu pasti ada beberapa plan. Sudah terbiasa buat kita begitu,” kata Sutrasno yakin.
Sutrasno menegaskan, sebenarnya mudah untuk menghilangkan tindakan intoleransi. Negara memiliki sejumlah unsur dan perangkat yang bisa menyudahi intoleransi dan menjadikan pluralisme sebagai prinsip kehidupan. Pemerintah bisa memetakan mana yang intoleran dan mana yang toleran, lantas mempertemukan keduanya untuk saling memahami antara kedua belah pihak.
“Kalau kita fair play, pemerintah itu betul-betul momong, ngasuh kita semua, bahwa di UUD itu jelas kebebasan beragama itu betul-betul ditegakkan, gak akan terjadi seperti ini. Mudah kok, aparat maupun pemerintah itu mudah untuk membuat, tinggal bilang masing-masing, gak usah mengganggu, udah selesai,” ungkapnya.
Ia menyebut, seluruh pihak memiliki peran dan tinggal melakukan kerja sinergisnya masing-masing. Masyarakat perlu berdamai, merayakan, dan hidup berdampingan dalam perbedaan, tokoh agama dan pemerintah merangkul seluruh kelompok, serta menempuh mediasi jika terjadi konflik.
4 Tahapan Toleransi-Intoleransi
Ketua Pengurus Daerah IJABI Kota Bandung, Muhammad menambahkan, meski mengalami tindakan diskriminasi dan intoleransi, IJABI terus konsisten melakukan kegiatan pluralisme. IJABI bahkan kerap melakukan kegiatan dengan pendekatan kesenian dan kebudayaan, seperti konser Solidaritas Palestina yang dilakukan Juli lalu. Kelompok Syiah di Bandung termasuk salah satu komponen yang menyerukan tuntutan kemerdekaan Palestina dan menolak penjajahan yang dilakukan Israel. Selain dengan turun ke jalan, mereka menggalang soliodaritas untuk Palestina melalui pertunjukan musik yang diadakan November kemarin.
Departemen IJABI Perempuan (Fathimiyyah) bahkan Oktober lalu mengadakan bakti sosial pengobatan gratis di Sumedang yang berkolaborasi dengan teman-teman lintas iman, yaitu Paguyuban Ragi Borromeus dan Santa Yusuf. Di samping itu, dalam perayaan Maulid yang diselenggarakan oleh IJABI, tak jarang yang menjadi pembicara adalah tokoh lintas iman.
“Waktu muludan dengan pelantikan, saya bilang ke pak Robert (Pendeta), ngisi aja, apa aja, kita tidak membatasi pembicaraan, silakan bapak bicara apa aja. Beberapa tahun yang lalu, muludan juga kalau gak salah itu yang mengisi Bhante. Ada asas pluralisme di situ, kita percaya bahwa masing-masing punya jalan keselamatan,” ungkapnya, Selasa, 12 November 2024.
Muhammad menegaskan, bagi IJABI, asas pluralisme adalah pilar organisasi. Sementara irisan kesenian dan kebudayaan dipilih menjadi salah satu cara untuk merayakan perbedaan. “Kita kan IJABI, Ii terakhir itu Indonesia. Artinya kita hidup dan lahir di sini, punya tradisi di sini, kita sangat menghargai perbedaan di sini. Jadi kita manifestasikan di situ, seni budaya. Apalagi bersinggungan dengan toleransi, merayakan perbedaan,” kata Muhammad ketika ditemui bersama Sutrasno.
Muhammad menegaskan, bahwa intoleransi dan toleransi sama-sama memiliki empat tahapan. Intoleransi dimulai dengan stigmatisasi, diskriminasi, kriminalisasi, dan persekusi. Sementara toleransi dimulai dari penerimaan perbedaan (receiving), memahami perbedaan (understanding), menghargai perbedaan (valuing), dan merayakan perbedaan (enjoying).
“Intoleransi itu udah harus dihentikan. Mulai dari stigmatisasi itu udah harus berhenti, gak bisa ditawar, karena itu akan tereskalasi menjadi diskriminasi, kriminalisasi, persekusi, naik terus kalau dibiarkan. Sejak awal harus dihentikan. Tumbuhkanlah yang toleransi, mulai dari penerimaan. Beda kan ga papa. Nah itu perlu sosialisasi terus itu sampai bisa enjoy, bisa menikmati perbedaan,” ucapnya.
Memupuk Kebencian
Pemuka dari kelompok yang melakukan penolakan kepada Jemaat Syiah di Bandung adalah M. Roinul Balad yang saat ini menjabat sebagai Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Jawa Barat. Sosoknya tak hanya melakukan penolakan terhadap Syiah, tapi juga menolak perayaan terhadap ibadah Jemaat Kristiani, hingga diskusi tentang PKI.
Saat dikonfirmasi BandungBergerak melalui telepon, Selasa, 3 Desember 2024, Roin menerangkan, penolakan kepada Jemaat Syiah didasari pada pernyataan Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang menyatakan bahwa Syiah adalah ajaran yang mesti diwaspadai karena telah melakukan penyimpangan terhadap ajaran Islam.
Fatwa yang ia maksud dirujuk pada hasil Rapat Kerja Nasional MUI 1984 yang merekomendasikan tentang faham Syiah dan buku Panduan MUI berjudul “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia” yang terbit tahun 2013.
Menurut Roin, berkaitan dengan perayaan Asyura Juli lalu, jangankan kelompoknya, kepolisian dan Kesbangpol saja tidak tahu akan ada kegiatan tersebut. “Saya tanya pak polisi, tau gak ada acara ini, gak tau, Kesbang gak tau. Acaranya solidaritas Palestina kan, ya kita ke sana gak ada bendera Palestina satu lembar pun. Jadi ya itu taqiyah tadi,” katanya, yang menyebut bahwa taqiyah atau upaya menutupi keyakinan yang dilakukan oleh Syiah sebagai salah satu kesesatan.
BandungBergerak menanyakan kepadanya, jika ke depannya ada perayaan Asyura yang diselenggarakan Syiah, pihaknya akan melakukan dialog terlebih dahulu atau seperti apa, alih-alih langsung melakukan tindakan intoleransi. “Nanti aja kalau sudah ada begitu ya. Gak bisa kita tebak-tebakan. Kita kan sesuai dengan kondisi yang ada aja,” jawabnya.
Roin lantas menyebutkan, wacana dialog antara kedua belah pihak pernah akan dilakukan yang difasilitasi oleh Kesbangpol, tetapi belum pernah terjadi. Namun begitu, ia ragu Jemaat Syiah mau melakukan dialog terbuka dengan pihaknya, “Karena mereka juga mikirlah kalau mau dialog,” ucapnya.
Ketika ditanya, jika pihak Syiah mau melakukan dialog, apakah pihaknya mau melakukannya, ia lantas menekankan, dialog semestinya dilakukan dengan pihak terkait seperti Forkopimda, Kemenag, MUI, Kesbangpol, Bakorpakem Kejaksaan, maupun Kepolisian. Sebab, pihak-pihak inilah yang memiliki kewenangan terhadap menjaga keamanan, stabilitas, dan kondusivitas masyarakat.
“Kalau mau dialog jangan dengan kita atuh. Ai dialog jeung kita mah atuh mangga wae saya mah [kalau mau dialog dengan kita silakan saja], gak ada masalah. Tapi kan intinya ada di situ, kan keputusan hukumnya ada di pemerintah. Da hese atuh lamun di lapangan mah taqiyah-lah pokona mah [susah karena di lapangan (mereka) akan melakukan taqiyah]. Salah satu yang gak bisa diakomodatif kan kebohongan, susah,” katanya. “Yang harus diwawancara mah MUI, Kemenag, Kesbang. Datangin aja ke mereka semua, biar Syiahnya jadi ereun gitu,” katanya sambil terkekeh.
Roin lalu menegaskan, yang pihaknya inginkan terhadap Syiah adalah mengikuti fatwa MUI. Fatwa MUI itu perlu menjadi rujukan sebab organisasi itu merupakan representasi suara umat Islam. “MUI kan keputusannya itu. Kalau memang dia agama sendiri, bilang agama sendiri, jangan ngaku Islam,” katanya tegas.
BandungBergerak telah berupaya melakukan konfirmasi kepada Kesbangpol Kota Bandung. Bambang Sukardi, Kepala Kesbangpol Kota Bandung mengamini permohonan wawancara yang diajukan melalui pesan WA, Selasa, 3 Desember 2024. Ia meminta BandungBergerak mengirimkan surat permohonan secara tertulis.
BandungBergerak lantas mengirimkan surat permohonan resmi, Rabu, 4 Desember 2024. Namun hingga artikel ini ditayangkan, Bambang tidak memberikan tanggapan kapan wawancara dan konfirmasi bisa dilangsungkan.
Setidaknya diskriminasi dan intoleransi terhadap Jemaat Syiah di Bandung sudah terjadi selama satu dekade lebih, jika merujuk sejak tindakan pertamanya pada tahun 2013. Anik Farida dalam artikel yang berjudul “Respons Organisasi Massa Islam Terhadap Syiah di Bandung Jawa Barat” menemukan bahwa konsistensi kelompok anti-Syiah didasari pada dalil-dalil agama.
Artikel yang terbit dalam Jurnal PENAMAS Volume 27, Nomor 2, Juli-September 2014, Halaman 159-176 itu, meneliti tentang respons eksistensi Syiah dari dua ormas Islam, yaitu Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) dan Majelis Ukhuwah Sunni-Syiah Indonesia (Muhsin). FUUI menolak keberadaan Syiah, sementara Muhsin merupakan wadah aliansi berbagai ormas yang bersimpati terhadap kelompok Syiah.
FUUI yang diketuai oleh Athian Ali ini pernah mengeluarkan fatwa bahwa Syiah sesat pada 2011. Kelompok ini mengimplementasikan bentuk penolakan kepada Syiah dengan berbagai program dan kegiatan, seperti dakwah, kajian, dan fatwa, publikasi Anti-Syiah, pembentukan opini, dan menggalang solidaritas.
Sementara Muhsin diprakarsai oleh Jalaludin Rahmat yang dibentuk bukan untuk mencampurkan dua ajaran, melainkan bentuk aliansi kelompok-kelompok yang pro dan mendukung keberadaan Syiah. Dalam penelitian itu, Anik Farida menemukan bahwa jaringan yang dilakukan kelompok anti-Syiah jauh lebih massif dan beragam, sementara bentuk respons pro Syiah terkesan longgar.
Perbedaan bentuk respons terhadap kelompok anti-Syiah dan pro ini disebabkan basis nilai yang dipegang oleh kedua kelompok. FUUI berdasarkan pada nilai dan dalil agama, bahwa Syiah sesat. Sementara Muhsin menggunakan nilai-nilai pluralisme, toleransi, dan hak-hak kewarganegaraan. Muhsin yang berisikan aliansi kelompok Sunni-Syiah bukan mendukung ajaran, tetapi pada nilai-nilai kemanusian dan pluralisme.
“FUUI lebih kompak, seragam, fokus, dan terorganisasi dalam mengkampanyekan anti-Syiah di masyarakat. Salah satu penjelasannya, karena FUUI merupakan aliansi yang berdasarkan pada nilai agama. Sebaliknya, Muhsin lebih mendasarkan pada nilai-nilai yang lebih sekular dan universal, seperti pluralisme, toleransi, dan hak-hak kewarganegaraan. Landasan seperti ini mungkin tidak seabsolut nilai agama, sehingga ikatan terhadap kelompok pro ini juga cenderung longgar,” tulis Anik Furida.
Baca Juga: Menyikapi Viralnya Video "Aliran Sesat" di Bandung yang Menyudutkan Kelompok Syiah
Tak Ada Partai Politik yang Berkampanye Melindungi Hak-hak Digital Kelompok Minoritas
Insiden Penolakan Perayaan Asyura di Kopo Menegaskan Pentingnya Ruang Dialog Dua Kelompok Agama Ja
Intoleransi Menodai Program 100 Hari
Kebebasan memilih agama dan keyakinan merupakan salah satu hak dasar yang harus dilindungi negara. Negara yang tidak memberi perlindungan atau justru melakukan pembiaran terhadap diskriminasi dan intoleransi terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) termasuk pelanggaran.
Faktanya, pelanggaran demi pelanggaran terhadap KBB tidak hanya menimpa kelompok Syiah. Baru-baru ini, bertepatan dengan menjelang 100 hari pemerintahan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka, kelompok minoritas Ahmadiyah pun mendapatkan perlakuan diskriminasi saat hendak melaksanakan acara Jalsah Salanah atau kegiatan rutinan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Manislor, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Kamis malam, 5 Desember 2024.
Negara yang seharusnya melindungi justru menjadi pelaku pelanggaran KBB mengingat pelarangan dilakukan oleh Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) yang di dalamnya terdapat unsur kepala daerah Kuningan. Dalam laporan LBH Bandung disebutkan, Jalsah Salanah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Manislor rencananya akan dihadiri oleh 6.000 peserta yang terdiri dari 3.000 perempuan dan 1.000 anak-anak. Para peserta sudah menempuh perjalanan menuju lokasi. Namun akses menuju lokasi telah ditutup atau diblokade polisi. LBH Bandung menyebut, para peserta terlantar karena empat jalan utama menuju lokasi telah ditutup. Padahal acara ini sudah mendapat dukungan dari kepala desa setempat dan tanda tangan 2.000an warga.
Dalam sejarah diskriminasi dan intoleransi yang dialami Ahmadiyah, mereka juga dibelenggu berbagai peraturan diskriminatif di seluruh tingkat. Di Jawa Barat sendiri masih berlaku Pergub pelarangan Ahmadiyah.
Pelarangan kegiatan Ahmadiyah ini pun mencoreng awal pemerintahan Prabowo - Gibran yang baru akan genap 100 hari. Perlindungan negara terhadap kelompok minoritas seperti Syiah dan Ahmadiyah mutlak harus dilakukan. Kelompok minoritas Ahmadiyah, Syiah, dan lain-lain tidak akan mengalami diskriminasi dan intoleransi jika negara benar-benar menjaminnya.
Aktivis Dialog Antar Iman, Wawan Gunawan melihat, terjadinya tindakan diskriminasi dan intoleransi terkait erat dengan ketidakseriusan pemerintah yang tidak melindungi warga negaranya yang hendak mengekspresikan cara beribadah. Ia merujuk pada kasus intoleransi yang kerap menimpa kelompok Syiah ketika melakukan perayaan Asyura. Menurutnya, peringatan ini bisa dilaksanakan dengan aman pada rentang tahun 2010-2012. Setelahnya kerap terjadi tindakan diskriminasi dan intoleransi, hingga pelanggaran yang dilakukan oleh negara karena “membiarkan” atau diam saja.
“Yang terpenting adalah pemerintah mampu menjalankan tugasnya sebagai pihak yang melindungi hak asasi warga negara. Karena sebelum tahun 2012 ternyata bisa, kan Syiah di Bandung juga udah lama, berarti kan ada problem sejak 2012 ke sini. Pemerintah harus bersikap tegas untuk melindungi warga negaranya, kan punya hak kebebasan beragama. Karena pihak-pihak penyerang gak akan berani kalau pemerintahnya tegas,” ungkap Wawan, Kamis, 21 November 2024.
Pemerintah juga seharusnya mencegah lahirnya kelompok anti-Syiah, alih-alih melegitimasi pendiriannya. Wawan juga menyatakan, bahwa pemerintah seharusnya membuat forum-forum diskusi ilmiah agar kedua kelompok yang berkonflik saling memahami. Satu tugas penting negara lainnya adalah jangan sampai mengeluarkan peraturan diskriminatif terhadap Syiah, seperti yang terjadi terhadap Jemaat Ahmadiyah. Peraturan diskriminatif merupakan kesalahan fatal yang sangat mungkin dilakukan pemerintah.
“Masyarakat pun harus terbiasa dengan nilai-nilai perbedaan, jangan mudah terprovokasi. Karena urusan surga neraka kan itu urusan masing-masing. Hak dalam konteks sosial menurut saya ya saling menghormati saja. Toh perbedaan Sunni-Syiah juga bukan perbedaan yang sangat prinsipil, syahadatnya masih sama, salatnya hampir sama, puasa juga sama,” ungkapnya.
Senada dengan Wawan, Program Manager HAM dan Demokrasi International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Abdul Waidl, menolak dan mengkritik keras berbagai tindakan diskriminasi dan intoleransi yang dialami Syiah di Bandung Raya hampir setiap tahun. Waidl menegaskan, perlindungan hak beragama dan berkeyakinan bagi semua warga adalah tanggung jawab negara.
Waidl menyoroti, jika dirunut, diskriminasi dan intoleransi yang dialami Syiah disebabkan pembiaran negara terhadap berbagai kelompok masyarakat sipil yang “demam agama”. Alih-alih mencegah pertemuan kelompok minoritas yang akan berpotensi melakukan diskriminasi dan intoleransi, pemerintah malah mendukung kelompok intoleran untuk melakukan pelanggaran kepada kelompok minoritas beragama.
“Mereka yang bahkan teriak-teriak kafir, bakar, dan seterusnya dibiarkan. Jadi posisi negara itu sekarang memang terkait dengan kelompok ini relatif lemah. Pemerintah pun tidak cukup serius dan sungguh-sungguh untuk menghadapi kelompok yang begini. Jadi di kalangan Islam, Syiah, dan Ahmadiyah ini yang masih sampai sekarang menghadapi tekanan,” kata Waidl, Jumat, 6 Desember 2024.
Waidl juga berpendapat, bukan suatu hal yang aneh ketika pola yang dilakukan kelompok intoleran adalah memboyong negara untuk melakukan tindakan diskriminatif. Satu sisi, negara dan pihak keamanan didesak untuk tidak membiarkan kelompok intoleran menggunakan kekerasan secara langsung.
“Maka strategi kelompok intoleran itu, ya sudah, kami tidak turun langsung yang gebuk, tapi mereka bahkan membawa aparatur negara untuk gebuk, istilahnya. Yang kedua, sebagian aparat kita juga sudah punya cara pandang beragama yang kurang lebih sama, intoleran,” kata Waidl.
Poin kedua itu bisa terjadi karena aparat negara yang memiliki cara pandang beragama yang intoleran, bertemu dengan kelompok masyarakat sipil yang bersuara nyaring dengan cara pandang beragama yang sama. Waidl menyebut, sebenarnya mayoritas masyarakat bersifat toleran, tetapi mereka silent majority. Sementara yang kelompok intoleran ini sedikit, tapi nyaring suaranya.
“Negara dalam keadaan tidak tegas, lemah, lalu sebagian polisinya juga mendukung atau paling tidak membiarkan kelompok-kelompok intoleran, maka bertemulah semua sisi-sisi pikiran dan pandangan agama yang intoleran itu melalui gerakan masyarakat sipil dan gerakan negara untuk menyerang kelompok-kelompok yang dianggap sesat. Apalagi memang kelompok-kelompok (korban) ini minoritas, yang jumlahnya tidak banyak,” jelasnya.
Waidl lantas memberikan beberapa rekomendasi sebagai solusi dari persoalan ini. Pemerintah harus menegakkan hukum terhadap tindakan diskriminatif dan kekerasan. Pelaku intimidasi dan kekerasan harus dikenai sanksi tegas sesuai regulasi, seperti UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menjamin kebebasan beragama.
Pendidikan dan kesadaran publik tentang toleransi dan pluralisme harus dilakukan terus menerus. Masyarakat, dan terutama negara harus sungguh-sungguh menjalankan bahwa tindakan toleransi dan penghargaan terhadap keragaman harus ditegakkan dan harus bagian dari kewajiban bernegara. Rekomendasi lainnya adalah menggalakkan forum dialog antarumat beragama untuk menciptakan rasa dan pemahaman saling mengerti dan menghargai perbedaan.
Menurut Waidl, gerakan masyarakat sipil harus bekerja sama dalam advokasi HAM dan kebebasan beragama, termasuk mendukung hak-hak minoritas seperti Jamaah Syiah. Selain itu, perlu pula dibentuk tim pemantau independen untuk menjaga keamanan dalam perayaan keagamaan. Solidaritas menjaga keamanan perayaan keagamaan, bukan hanya perlu dilakukan lintas iman, tetapi juga perlu dilakukan lintas mazhab dalam Islam.
“Pas natal, umat Islam mau menjaga gereja kan. Masa ketika teman-teman sesama muslim mengadakan perayaan kita gak mau menjaga. Itu juga penting, ayo, kalau mau menjaga gereja padahal beda agamanya, kenapa ke Syiah yang sama-sama muslim kok gak mau,” kata Waidl. “Juga perlu mendekati teman-teman Syiah melakukan training untuk meningkatkan kapasitas, supaya mereka bisa memperjuangkan hak-haknya. Jadi eksternal itu ada advokasi, internal juga harus punya kompetensi seperti itu.”
Waidl juga menegaskan pentingnya peran mediasi konflik yang dilakukan oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). FKUB harus memastikan setiap pihak yang berkonflik mendapatkan keadilan untuk merayakan hari keagamaannya. FKUB di tingkat daerah juga harus turut aktif melakukan advokasi kebijakan untuk melindungi hak beragama setiap kelompok dan mendorong pemerintah daerah lebih aktif melindungi kelompok minoritas.
*Artikel ini merupakan kerja sama antara BandungBergerak dan INFID melalui program PREVENT x Konsorsium INKLUSI sebagai bagian dari kampanye menyebarkan nilai dan semangat toleransi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta inklusivitas. Tulisan ini juga dimuat di laman INFID.