• Liputan Khusus
  • Susah Payah Kaum Penghayat Bandung dan Cimahi dalam Meraih Kesetaraan

Susah Payah Kaum Penghayat Bandung dan Cimahi dalam Meraih Kesetaraan

Para penghayat harus menempuh bermacam rintangan demi memperoleh pelayanan dari negara. Mereka harus tegar meski dibayang-bayangi diskriminasi.

Penghayat kepercayaan sedang berdoa, Bandung, 30 April 2023. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

Penulis Nabila Eva Hilfani 14 Desember 2024


BandungBergerak.id - Aula Gedung 3 FISIP Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Kota Bandung mendadak penuh. Puluhan perempuan  berpakaian merah muda keluar dari ruangan audio visual. Mereka berbaris menunggu giliran untuk mengisi daftar hadir dan mengambil bingkisan yang berisi satu kotak makanan berat serta satu kotak kecil makanan ringan.

Perempuan-perempuan itu adalah anggota Puanhayati Jawa Barat. Mereka baru saja menyelesaikan agenda Sosialisasi dan Pendidikan Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2024. Di antara yang lainnya, ada seorang perempuan yang keluar dengan baju hangatnya yang berwarna cerah dan rambutnya yang tergulung rapih. Berdiri terpisah di samping meja daftar hadir sambil memastikan semua anggota menyelesaikan urusan administrasi dan mendapatkan bingkisan. Perempuan itu Rela Susanti, Ketua Puanhayati Jawa Barat, organisasi perempuan penghayat.

Perempuan kelahiran Kabupaten Bandung 48 tahun ini merupakan penghayat kepercayaan yang sudah lama tinggal di Kota Bandung. Selain bertugas di Puanhayati Jawa Barat, ia adalah seorang ibu rumah tangga yang memiliki dua orang anak. Di tengah kesibukannya, Rela baru saja berhasil menyelesaikan studi S2-nya di Unpar.

Setelah memastikan semua urusannya selesai di agenda yang diselenggarakan pada Kamis, 21 November 2024 itu, Rela langsung meluangkan waktunya, menghampiri meja yang ada di depan ruangan audio visual, duduk, lalu bercerita kepada BandungBergerak.id soal perjalanan hidupnya sebagai perempuan penghayat kepercayaan.

Bukan sebuah perjalanan hidup yang mulus. Banyak tantangan yang harus Rela hadapi sebagai seorang penghayat kepercayaan hingga bahkan ia sempat merasa tidak merdeka.

“Sedih. Gak enak. Ko saya gak bisa semerdeka orang lain ya di negara saya sendiri,” tutur Rela dengan raut wajahnya yang mendadak sedikit murung mengingat perasaan itu.

Semasa sekolahnya, dari SD hingga kuliah, memang ia tidak pernah menjadi korban perundungan akibat perbedaan agama. Namun, hal itu terjadi karena ia menutupi identitasnya. Ketakutan karena merasa berbeda sendiri dan ketidakcukupan memahami keyakinannya menjadi dasar Rela menutupinya.

Ikut belajar agama lain, mempraktikkan cara peribadatannya demi meraih nilai, hingga mencantumkan agama lain dalam kartu identitas selama bertahun-tahun, terpaksa Rela lakukan karena keterbatasan pilihan. ‘Kebohongan’ itu tentu mencederai hati kecil Rela. Pada akhirnya, ia berani membuka identitasnya ketika menikah dengan suaminya. Di luar dugaan, ia diterima dengan baik, bahkan ditegur karena tidak jujur sejak awal.

Perjuangannya berlanjut kala Rela memutuskan menikah di tahun 2001. Rela harus bersusah payah mendapatkan pengesahan perkawinan secara negara hingga 7 tahun lamanya.

Dua minggu setelah menikah, Rela dan suami berniat mencatatkan pernikahannya ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil). Hasilnya, ditolak. Penolakan itu tercantum dalam surat penolakan yang diterimanya pada bulan Desember 2001.

Awal tahun 2002, Rela dan suami memutuskan untuk mengajukan gugatan atas penolakan tersebut ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Satu tahun proses berjalan. Di tahun 2003, gugatan keduanya menang. Namun, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil naik banding ke tingkat Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN). Lagi-lagi Rela dan suami memenangkan gugatan setelah menjalani proses satu tahun.

Belum berhenti sampai di situ. Kasusnya kembali naik ke tingkat yang lebih tinggi yaitu peradilan Mahkamah Agung (MA). Lebih panjang lagi, Rela dan suami harus menunggu selama dua tahun tanpa adanya kejelasan.

Akhirnya, Rela dan suami memutuskan untuk mengambil jalur nonlitigasi. Menjangkau jejaring hingga media. Berangkat ke Jakarta menghadiri acara televisi. Hasilnya sesuai dengan yang diharapkan. Persoalanya dilirik oleh pemerintah, bahkan hingga tingkat pemerintah pusat. Di tahun 2006, Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan disahkan.

Tahun 2007, akhirnya Rela dan suami mendapatkan kejelasan peradilan di tingkat MA yang sebelumnya menggantung selama dua tahun. Keputusan itu menjadi kabar gembira. Rela akhirnya dapat mendaftarkan pernikahannya dan dapat mencantumkan dirinya sebagai penghayat kepercayaan di database kependudukan.

Tujuh tahun Rela berjuang demi mendapatkan pengakuan secara hukum negara atas pernikahannya. Perjuangannya itu bahkan berhasil mendorong disahkannya Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang di dalamnya mengatur penghayat kepercayaan dapat terdaftar dalam database kependudukan.

Namun sayang, meski UU Adminduk telah disahkan, tidak serta merta para Penghayat Kepercayaan di seluruh daerah mendapatkan kemudahan itu. Bahkan setelah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 soal pencantuman penghayat kepercayaan dalam kolom agama di KTP disahkan pun, kesulitan itu masih dirasa oleh masyarakat penghayat kepercayaan di beberapa daerah. Sosialisasi ke setiap instansi pemerintahan yang tidak merata menjadi akar penyebabnya.

Cakra (37 tahun), pria penghayat kepercayaan yang tinggal di Kampung Adat Cireundeu, Kota Cimahi menjadi salah satu penganut keyakinan leluhur mengalami hal serupa dengan Rela. Meskipun pengalamannya itu terjadi di tahun 2023 yang berarti tepat 17 tahun dari pertama kalinya disahkan Undang Undang Administrasi Kependudukan hingga saat ini telah mengalami perubahan. Tahun 2023 juga menjadi tahun ke-6 putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 disahkan.

Cakra merupakan guru di salah satu lembaga pendidikan yang ada di Kabupaten Bandung Barat. Ia telah menikah dengan seorang perempuan kelahiran Cireundeu Kota Cimahi pada tahun 2023 dan kini telah dikaruniai seorang anak laki-laki. Istrinya juga adalah seorang tenaga pendidik di salah satu lembaga pendidikan di Kota CImahi.

Pria berbadan tinggi dengan potongan rambut pendek dan kacamata yang tidak pernah lepas terpasang itu begitu ramah ketika ditemui di kediamannya di Kampung Adat CIreundeu, Kota Cimahi pada Minggu, 24 November 2024. Duduk di saung belakang rumahnya sambil menyilangkan salah satu kakinya, ia bercerita begitu terbuka soal perjalanan hidupnya sebagai penganut kepercayaan nenek moyang.

Masa sekolah Cakra layaknya masa-masa sekolah Rela. Cakra tidak pernah mengungkapkan agama apa yang ia anut. Ketakutan menjadi satu satunya yang berbeda di antara teman-teman lain dan ketakutan akan tidak dapat menjelaskan keyakinannya jika ditanyakan oleh orang lain menjadi alasan dasar akhirnya ia menutupi keyakinannya.

Namun, identitasnya itu mulai dibuka kala Cakra menginjak bangku kuliah. Sejauh pengalamannya, ia merasa tidak pernah menjadi korban perundungan akibat perbedaan agama, karena identitasnya yang disembunyikan itu. Namun, keterbatasan akses administrasi layaknya yang dialami Rela pun Cakra alami, ketika menikah dengan istrinya di tahun 2023 lalu.

Meski para penghayat kepercayaan Kampung Adat Cireundeu telah dikenal oleh masyarakat Kota Cimahi lainnya, hal itu tidak serta merta membuat akses urusan administrasi lebih terbuka bagi para penghayat kepercayaan di Kota Cimahi. Cakra menjadi orang pertama yang memperjuangkan pencatatan perkawinan bagi penghayat kepercayaan di Kampung Adat Cireundeu.

“‘Oh, bapak dari Cireundeu? dari Cirendeu mah gak bisa pak’ tahunya Cireundeu nikahnya memang secara adat. Dari dulu memang begitu. Nikah adat dicatat (secara hukum negara) tuh gak bisa di sini tuh,” tutur Cakra, ketika menceritakan respons pertama salah satu kepala bidang di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Cimahi kala ia ingin mencatat pernikahannya.

Ketika penolakan dilontarkan oleh salah satu kepala bidang di Disdukcapil Kota Cimahi, berbekal pengetahuan yang begitu tebal, Cakra membantah dengan menjelaskan undang-undang yang saat itu hingga kini berlaku untuk mengatur pencatatan perkawinan bagi para penghayat kepercayaan.

Penghayat kepercayaan sedang berdoa, Bandung, 30 April 2023. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)
Penghayat kepercayaan sedang berdoa, Bandung, 30 April 2023. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

Beberapa hari setelah penolakan, Cakra datang kembali sambil membawa beberapa buku untuk menjelaskan undang-undang yang mengatur pencatatan perkawinan penghayat kepercayaan.

Setelah menunjukkan dan menjelaskan undang-undang tersebut, lagi-lagi ditolak. Alasan selanjutnya karena belum adanya petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis.

“Bolak balik tuh saya kaya gitu terus. Kadang kalau datangnya siang, ditunggu sampai makan siang selesai,” ungkap cakra sambil sedikit tertawa mengingat masa itu.

Tidak menyerah, Cakra datang kembali dan memboyong pemuka penghayat kepercayaan yang mencatat pernikahannya. Belum juga terkabul, kali selanjutnya ia juga mengajak pemuka penghayat kepercayaan dari Lembang untuk ikut dan menjelaskan proses pencatatan perkawinan penghayat kepercayaan yang selama ini bisa dilakukan di Kabupaten Bandung Barat.

Hasilnya, keinginan Cakra masih belum bisa dikabulkan dengan alasan-alasan terkait prosedural. Bahkan penolakan itu juga terlontar dari kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Cimahi yang akhirnya Cakra temui.

Inisiatif baru justru datang dari pemuka penghayat kepercayaan Lembang. Ia meminta kepala Disdukcapil Kota Cimahi menghubungi Disdukcapil yang ada di Kabupaten Bandung Barat untuk mempelajari pelaksanaan dan teknis pencatatan perkawinan penghayat kepercayaan.

Heran dan dongkol yang digambarkan Cakra ketika ia yang justru menyampaikan inisiatif itu. “Kok, harus saya yang ngasih tau semuanya. Ini kan institusi dia (kepala Diskukcapil Kota Cimahi),” ucapnya.

Dari upayanya yang terakhir bertemu Kepala Disdukcapil Kota Cimahi, Cakra menunggu berhari-hari hingga akhirnya pencatatan bisa dilakukan. Ia kembali ke kantor Disdukcapil dengan membawa istri, pemuka penghayat kepercayaan, orang tua, dan pihak lainnya yang perlu hadir untuk memenuhi syarat pencatatan.

Baca Juga: Lika-liku Jalan Penghayat Kepercayaan di Bandung Raya untuk Mendapatkan Pengakuan dari Negara
Cara Perempuan Syiah di Bandung Raya Menghadapi Diskriminasi, Menanam Kebaikan dan Saling Menguatkan
Bertahan dalam Gelombang Intoleran: Mendengarkan Cerita Jemaat Syiah di Bandung Raya 

Penghayat kepercayaan sedang berdoa, Bandung, 30 April 2023. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)
Penghayat kepercayaan sedang berdoa, Bandung, 30 April 2023. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

Sumber Semangat Juang

Dengan raut wajahnya yang sedikit serius, Cakra menegaskan bahwa dirinya tidak pernah ingin lagi menutupi identitasnya sebagai penghayat kepercayaan. Keinginan itulah yang menjadi bahan bakar api perjuangannya yang tidak pernah padam. Lebih-lebih dirinya pun tahu apa yang ia perjuangkan tidaklah menyalahi undang-undang.

Keteguhan perjuangan kedua orang tua dan keluarga Cakra sebagai penghayat kepercayaan tersisipkan dalam catatan sumber semangat juangnya.

“Saya tahu jerih payahnya penghayat itu karena melihat lingkungan sekitar saya begitu keukeuh memperjuangkan penghayat kepercayaan. Kepercayaan dirinya kuat dan modal gak nyerah. Itu yang jadi dasar saya,” ujar Cakra.

Tidak jauh berbeda dengan Cakra, Rela Susanti memiliki sumber-sumber penyemangat yang mendorongnya belum berhenti berjuang setelah 7 tahun bertarung mendapatkan catatan sah pernikahannya. Orang-orang terdekatnya menjadi sumber semangat juangnya selama ini. Selama memperjuangkan pencatatan untuk pernikahannya, Rela tidak sendirian. Orang di sekitarnya bersama-sama turun untuk persoalan yang sebenarnya besar berdampak bagi semua penghayat kepercayaan.

“Keluarga saya juga termasuk keluarga yang siap berjuang untuk kebaikan bersama. Karena ini dampaknya kan akan meluas ke penghayat seluruh Indonesia. Jadi, saya pikir, kenapa tidak saya mengabdi untuk yang lain,” ujar Rela.

Tidak sebatas kepentingan pribadi. Dampak luas bagi semua penghayat kepercayaan terhitung dalam dasar motivasi dirinya terus bertahan. Memperkenalkan penghayat kepercayaan pada masyarakat luas menjadi sisi lainnya dari apa yang menjadi alasan ia terus bergerak.

Meski hari ini hal-hal yang diperjuangkan Rela dan Cakra sudah mereka raih dalam genggaman, jalan para penghayat kepercayaan meraih kesetaraan masih panjang. Hak-hak sebagai warga negara belum sepenuhnya dapat diperoleh dengan mudah layaknya kelompok masyarakat agama lain.

“Tidak hanya di situ ternyata pelayanan yang belum disetarakan dengan yang lain (kelompok masyarakat agama lain). Terkait layanan pendidikan, terkait rancangan peraturan presiden tentang PKUB yang belum mengakomodir kepercayaan. Undang Undang Sisdiknas yang sedang direvisi juga tidak mencantumkan kartu kepercayaan,” tutur Rela, yang juga bertugas sebagai sekretaris di Puanhayati Indonesia.

Intensif guru penghayat kepercayaan dan minimnya pemenuhan pelayanan murid penghayat kepercayaan tidak lewat disebutkan dalam catatan panjang hal-hal yang belum dapat diperoleh secara setara. Tidak meratanya implementasi undang-undang yang mengatur hak-hak penghayat kepercayaan di banyak daerah juga masuk tersisipkan.

Bahkan perundungan kelompok masyarakat penghayat kepercayaan yang masih sering kali terjadi di masyarakat menjadi catatan tambahan bahwa perjuangan mereka masih panjang dan berliku. 

“Ya harapan gak muluk-muluk sih. Kita ingin setara aja. Tidak ada lagi perbedaan, apalagi regulasi yang mendiskriminasi,“ harap Rela, soal nasib penghayat kepercayaan. 

 

*Artikel ini merupakan kerja sama antara BandungBergerak dan INFID melalui program PREVENT x Konsorsium INKLUSI sebagai bagian dari kampanye menyebarkan nilai dan semangat toleransi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta inklusivitas. Tulisan ini juga dimuat di laman INFID.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//