Lika-liku Jalan Penghayat Kepercayaan di Bandung Raya untuk Mendapatkan Pengakuan dari Negara
Diperlukan sosialisasi dan edukasi di lapangan bahwa para penghayat bagian dari keberagaman negeri ini. Mereka berhak atas pelayanan dari negara.
Penulis Yopi Muharam12 Desember 2024
BandungBergerak.id - “Dulu kan bapak sama mamah aku nikah, tapi beda agama. Dulunya aku ikutnya ke mamah yang muslim. Tapi pas kelas 3 SD pindah, ikut ke bapa yang penghayat kepercayaan,” ujar Ida Rosida (19 tahun) kepada BandungBergerak, Jumat, 15 November 2024.
Ida merupakan pelajar sekolah kejuruan tingkat akhir yang aktif berkegiatan di penghayat kepercayaan Budi Daya. Semasa kecil, Ida hidup di lingkungan penganut kepercayaan nenek moyang. Lingkungan yang mayoritas penghayat itu membawa ia untuk memeluk teguh kepercayaannya hingga sekarang.
Kendati demikian, Ida bersekolah di lingkungan mayoritas muslim. Banyak pengalaman Ida yang tidak mengenakkan semasa sekolah dari SMP hingga SMK.
Saat kelas 7 SMP, Ida dihadapkan dengan mata pelajaran agama. Saat itu gurunya sedang memberikan pelajaran tentang praktik kematian di agama Islam. Ida hanya diam di kelas. Menyaksikan gurunya menerangkan materi. Dia menjadi satu-satunya penghayat di kelasnya.
Setelah selesai menerangkan praktik pemakaian kain kafan, Ida dicecar berbagai pertanyaan oleh gurunya. “Ari di kepercayaan maotna dikumahakeun? (kalau di kepercayaan meninggalnya dibagaimanakan?)” tutur Ida, menirukan pertanyaan gurunya lima tahun yang lalu.
“Dipocongin, Pak,” waktu itu Ida menjawab polos.
Sang guru kemudian menyimpulkan bahwa prosesi kematian penghayat tetap saja memakai cara-cara yang dipakai agama mayoritas, yakni tubuh jenazah dikafani dengan bagian kepala dan kaki diikat (dipocong).
Peristiwa itu berlangsung di hadapan teman-teman sebaya Ida di dalam kelas. Ini merupakan pengalaman didiskriminasi perdana bagi Ida. Ingatan ini membekas di sanubarinya sampai sekarang. Ida kecil yang polos tidak tahu harus merespons pertanyaan dari gurunya. Setelah beranjak dewasa, ia baru sadar bahwa pertanyaan tersebut cenderung diskriminatif dan tidak bisa dibenarkan.
Namun pengalaman itu bukan yang terakhir. Ida melanjutkan sekolah di perhotelan di daerah Bandung Utara. Lagi-lagi pelaku diskriminasi verbal tersebut dilayangkan gurunya. Saat menginjak kelas 10, ia ditugaskan oleh sesepuh penghayat untuk mengirimkan surat undangan 17 Septemberan untuk mempringati hari kebatinan ke pihak sekolah.
Saat akan menghampiri kepala sekolah, Ida menanyakan kepada salah satu guru pelajarannya untuk menanyakan keberadaan kepala sekolah. Di saat itulah Ida mengalami tindakan diskriminasi verbal.
“Ibu apakah kepala sekolah ada?”
“Ada,” jawab gurunya. “Mau apa?”
“Mau ngasih surat undangan, bu.”
“Surat undangan apa?”
“Surat acara keagamaan.”
“Oh berarti ada ceramahnya, gitu?”
“Enggak, kok, bu. Saya bukan muslim.”
“Terus apa dong agamanya?”
“Kepercayaan, bu.”
“Zaman sekarang masih ada agama kepercayaan? Kan itu atheis.”
Dialog tersebut terjadi di depan kelas di hadapan banyak murid.
Ida menjawab bahwa keberadaan penghayat sudah diakui negara. Akan tetapi guru Ida keukeuh menafikan keberadaan penghayat kepercayaan.
“Enggak-enggak. Tapi kamu pecaya kan kalau alam semesta ini dicipatakan oleh Allah?” lanjut gurunya.
“Percayalah bu ka aku teh.”
Namun guru Ida menukas, bahwa konsep penciptaan alam semesta hanya ada di agama mayoritas.
Ida pulang dengan isak tangis. Padahal malamnya ia akan merayakan hari adat kepercayaan yang diharapkan dihadiri perwakilan sekolahnya. Ida kemudian melaporkan kejadian tersebut ke orang tuanya dan ke pengurus Budi Daya.
Besok harinya, Ida dan pengurus Budi Daya mendatangi sekolah dengan maksud untuk menyelesaikan permasalahan. Ida disuruh ke ruangan Bimbingan Konseling (BK) untuk menemui konselor sekolah. Bersama pengurus Budi Daya, di ruangan tersebut Ida mengeluarkan unek-uneknya.
“Kalau ini kan pelakunya guru. Dia tuh berpendidikan. Tapi kenapa sih bisa ngelakuin seperti itu. Itu kan yang bikin sakit hatinya,” jelas Ida, menyayangkan perlakuan diskriminasi yang dialaminya, kepada BandungBergerak.
Kejadian tersebut berakhir dengan perdamaian antara Ida dan pihak guru. Namun Ida berharap gurunya tersebut diberi sanksi.Namun konselor sekolah berharap perkara ini tak diperpanjang.
“Udah da kalau misalnya kamu kaya gitu, nantinya bisi manjang ke hukum dan lainnya,” lanjut Ida, menirukan konselor sekolah. Pengurus organisasi Budi Daya pun diminta legowo oleh pihak sekolah.
Hingga saat ini tidak ada perminta maafan secara langsung yang diutarakan oleh guru tersebut. Namun sebagai pelajar, Ida tetap bersikap sopan. Setiap guru tersebut ngajar Ida selalu masuk. Bahkan tiap berpapasan, dia selalu menyalami gurunya itu.
Lain Dulu Lain Sekarang
Pengalaman serupa dialami penghayat lainnya, Irma Gusriani (31 tahun) yang berprofesi guru. Irma merupakan masyarakat adat Kampung Adat Cireundeu. Ia mengajar di SDN Cireundeu.
Sama seperti Ida, di masa lalu Irma pernah mendapatkan perlakuan diskriminasi dari gurunya.
Kejadian tersebut berlangsung 17 tahun lalu. Irma masih duduk di bangku kelas 7. Saat itu Irma masih polos. Seketika guru seni rupa menanyakan agama yang dianut Irma di hadapan teman-teman kelasnya. Irma percaya diri dengan menjawab agamanya adalah kepercayaan. Akan tetapi respons yang diterima guru seakan merendahkan kepercayaan Irma.
“Kamu nyembahnya pohon-pohon, ya?” ungkap Irma, menirukan jawaban gurunya.
Irma kecil tak bisa berbuat banyak mendapati pertanyaan tersebut, kecuali menangis.
Irma pulang mengadukan kejadiannya itu ke nonoman (semacam penyuluh) di penghayat dan kepada orang tuanya. Hal yang sama seperti Ida juga diterima Irma, bahwa dia harus bisa memaafkan dengan legowo. Kendati demikian, dampak dari kejadian tersebut membuat Irma tidak mau sekolah, bahkan ada ketakutan untuk bertemu guru yang bersangkutan.
Terkait pelajaran agama, Irma terpaksa harus memilih agama mayoritas. Kendati dirinya tetap berpegang teguh dengan kepercayaan. Bukan tanpa alasan, sebab dulu kolom kepercayaan belum ada. Secara administrasi di sekolah kolom agama yang ditulis adalah agama mayoritas, yaitu Islam.
Di sisi lain, hal serupa juga dialami oleh Wiwin Windu (44 tahun), seorang perempuan penghayat kepercayaan Aliran Kebatinan Perjalanan (AKP). Wiwin bercerita, awal mula mendapat tindak diskriminasi terjadi saat duduk di bangku sekolah menengah kejuruan (SMK). Pelakunya adalah guru Pendidikan Moral Pancasila (PMP).
Tahun 1997. Wiwin masih menginjak kelas 11. Tindakan tak terduga justru datang dari seorang tenaga pendidikan yang mengajar mata pelajaran tentang Pancasila. Wiwin ditanyai di dalam kelas tentang kepercayaannya.
“Kamu teh yang bener agama tuh apa?” ujar Wiwin, menirukan kata-kata gurunya, kepada BandungBergerak, Kamis, 21 November 2024.
Pertanyaan gurunya tak berhenti sampai situ, melainkan disambung dengan pertanyaan yang lebih dalam, mengapa agama yang dipeluk Ida berbeda dengan agama yang tercantum di kolom KTP-nya?
Untungnya setelah Wiwin menjelaskan tentang keyakinannya, guru itu langsung mengerti.
Bukan hanya di lingkup sekolah saja Wiwin merasakan tindakan diskriminasi tersebut. Dua tahun lalu, Wiwin yang aktif di komunitas mendongeng Sunda pernah mendapatkan tindakan diskriminasi. Kali ini datangnya dari tetangga Wiwin.
Saat itu, ia dan beberapa komunitas akan melaksanakan sebuah perhelatan acara pentas. Izin dari RT/RW sudah dia kantongi. Namun justru tindakan itu datang dari warga yang menurut Wiwin adalah sesepuh kampungnya.
Saat perhelatan tersebut, diskriminasi berbentuk sabotase itu dirasakan Wiwin. Sound system dimatikan. Anak-anak dihasut untuk tidak menonton perhelatan acara tersebut.
“Sampai disabotase sound systemnya, sampai disabotase ke anak-anaknya yang bilang udah jangan nonton dongengnya si mbu dan segala macemnya,” ungkap Wiwin.
Bukan hanya sekadar pentas. Komunitas Wiwin pernah berkolaborasi dengan Gereja Kristen Pasundan (GKP). Dalam acaranya, GKP berniat akan mengirimkan beras untuk warga. Lagi-lagi ada hasutan agar warga tidak menerima beras tersebut.
“Terus kata orang-orang tuh bilang jangan diterima, bisi dikristenisasi,” terang Wiwin. “Mau duduk di kursi yang asalnya mau dipinjemi juga jadi enggak ada,” lanjutnya.
Lama-kelamaan Wiwin merasa “terbiasa” dengan tindakan tidak mengenakkan tersebut, sampai Wiwin merasa kebal. Bahkan umpatan verbal yang sering diterimanya seperti ucapan ‘kafir’ sudah terbiasa diterimanya. “Karena udah jadi makanan sehari-hari jadi udah biasa,” ucapnya.
Baca Juga: Cara Perempuan Syiah di Bandung Raya Menghadapi Diskriminasi, Menanam Kebaikan dan Saling Menguatkan
Bertahan dalam Gelombang Intoleran: Mendengarkan Cerita Jemaat Syiah di Bandung Raya
Menyoal Administrasi
Merujuk data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tahun 2022 ada 117.412 penduduk Indonesia yang menganut aliran kepercayaan. Jumlah tersebut setara dengan 0,04 persen dari populasi Indonesia (227,75 juta jiwa). Jumlah penghayat itu menyusut dibandingkan tahun 2021, 126.515 jiwa.
Di Jawa Barat angka penurunan penghayat kepercayaan sangat besar. Pada tahun 2013 jumlah penghayat kepercayaan mencapai 9.963 orang dan terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Tahun 2022 jumlah penghayat tingga 3.264 orang. Tahun 2023, jumlah penghayat memang mengalami kenaikan menjadi 3.275 orang, tetapi tidak signifikan.
Kendati begitu, menyoal tentang administrasi sejumlah permasalahan masih dialami para penghayat. Ida semasa mendaftar sekolah di SMK, kolom agamanya ditulis Islam oleh pihak sekolah. Dirinya sempat protes lantaran tidak sesuai dengan kepercayaannya.
Lalu pihak sekolah mengganti kolom agamanya dengan “Kepercayaan Tuhan”. Namun bagi Ida penulisan tersebut tetap salah karena beda arti. Seharusnya kolom itu diisi dengan “Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME”.
“Udah weh gini aja,” ujar tenaga kependidikan, saat Ida memerotes penulisan kolom agama tersebut.
“Terus sampai sekarang juga masih Kepercayaan Tuhan ditulisnya. Karena kan kalau ditulis Kepercayaan Tuhan aja beda arti, kan,” lanjut Ida.
Hal serupa juga dialami oleh Irma. Sejak tahun lalu, dia telah diangkat sebagai guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja atau P3K. Saat akan mengurusi formulir administrasi, lagi-lagi kolom agamanya dituliskan agama mayoritas. Surat tersebut dinamakan surat kuning sebagai syarat pengajuan P3K.
Hal tersebut tidak dapat diterima oleh Irma, karena bertolak belakang dengan kepercayaannya.
“Padahal kan dari KTP dan KK itu udah kepercayaan,” kata Irma, tetapi di surat kuning malah ditulis agama mayoritas.
Irma tidak ingin lagi kejadian semasa sekolah kembali terulang saat dirinya diangkat sebagai guru P3K. Atas kejadian tersebut, Irma mengadukan ke sang suami, Cakra, seorang penghayat kepercayaan Budi Daya. Irma dan sang suami mendatangi kantor Disdik Kota Cimahi untuk mengurusi permasalahan kolom agama tersebut. Perlu dua hari untuk Irma dan suaminya mengurusi permasalahan itu.
“Nah, di situ baru keluar bisa ditulis kepercayaan. Terus kan tes tuh, untungnya saya lolos,” ungkap Irma.
Permasalahan lagi-lagi ditemui Irma. Setelah lolos tes, tibalah hari pengukuhan untuk guru yang akan diangkat sebagai guru P3K. Dalam pengukuhan tersebut, setiap guru yang beragama disumpahi jabatan oleh pemangku agama masing-masing. Hal lain justru tidak diterima Irma sebagai masyarakat adat.
Irma menduga, kejadian tersebut lantaran masyarakat adat belum tercatat di Disdik sebagai agama. Irma tak ambil pusing. Dengan terpaksa dia mengikuti agama Kristen saat pengukuhan tersebut.
“Jadi pas yang Kristen berdiri menunggu antrean, saya ikut aja ke yang Kristen,” tuturnya, mengingat kejadian tahun 2023 lalu.
Sebetulnya ada rasa kekecewaan mendalam di hati Irma. Disdik seharusnya mengantisipasi hal tersebut. Kendati yang diangkat sebagai guru P3K yang berkeyakinan masyarakat adat, pemuka agamanya harus dilibatkan.
“Harusnya kan dari dinas itu ada informasi, gimana solusinya, kan. Ternyata pas hari H, ko saya engga dihubungi sih pemuka agamanya,” keluhanya. “Meskipun enggak ada, setidaknya konfirmasi dululah, bahwa saya memang kepercayaan. Tentunya beda kan disumpahnya seperti apa. Masa saya ikut ke yang lain,” lanjutnya.
Di sisi lain, BandungBergerak bekesempatan bertemu dengan Rela Susanti (48 tahun). Seorang ketua Puanhayati Jawa Barat. Sama seperti Ida, dia merupakan penghayat kepercayaan aliran Budi Daya. Melihat kiprahnya, Rela sudah malang melintang memperjuangkan hak-hak penghayat kepercayaan agar diakui negara.
Perjuangannya itu berawal saat dia menikah pada tahun 2001. Saat itu keberadaan kepercayaan belum diakui secara resmi oleh negara. Hal tersebut berdampak pada pernikahan Rela dan suaminya. Rela menikah dengan cara adat kepercayaan. Tetapi secara catatan sipil dirinya belum tercatat. Untuk bisa tercatat, Rela dan suaminya harus mengganti kolom agamanya menjadi agama mayoritas.
Pada tahun 2002 anak pertama Rela lahir. Karena secara catatan sipil belum terdaftar secara resmi, akte yang tertulis tidak atas nama bapak. Hal tersebut menyebabkan praduga anak Rela lahir di luar nikah. Dari sanalah pasangan suami istri tersebut mulai berjuang untuk menggugat kantor catatan sipil ke pengadilan.
Gugatan tersebut berbuah hasil kemenangan. Pada tahun 2006 terbit sebuah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang mengatur aliran kepercayaan.
Sebetulnya pengakuan tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan sudah di atur di dalam pasal 28E ayat (2) UUD 1945 menjadi yang berisi: “Setiap orang berhak untuk kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya,”. Akan tetapi pengakuan tersebut belum sepenuhnya dapat diimplementasikan.
Dalam buku berjudul ‘Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia’ yang ditulis Samsul Maarif pada tahun 2018 lalu, menyebutkan bahwa masyarakat dapat kehilangan haknya dalam masalah pengadministrasian saja. Seperti dalam; akta kelahiran, KTP, surat nikah, hingga akses pada pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan.
Lebih dari itu, adanya dinamika politik agama menurut Samsul berdampak pada perlakuan negara terhadap penghayat kepercayaan. “Politik agama hari ini adalah dampak dari rangkaian kontestasi politik yang telah berlangsung sejak masa penjajahan Belanda,” tulisnya dikutip BandungBergerak, Minggu 1 Desember 2024.
Menyoal masalah perkawinan, pencatatan bagi penghayat kepercayaan sudah dipersulit sejak akhir tahun 70-an. Seperti dalam Surat Menteri Agama kepada Menteri Dalam Negeri No. MA/650/1979 perihal Pencatatan Perkawinan bagi Para Penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam surat tersebut tertulis bahwa Pencatatan perkawinan bagi para Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa hendaknya didasarkan kepada agama yang mereka peluk. Setelah itu Kemendagri mengeluarkan surat edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 477/74054 tanggal 18 November 1979 yang mengakui bahwa hanya ada lima agama saja, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha.
Lebih dari itu, pada awal tahun 80-an lagi-lagi Kemenag mengeluarkan Surat Menteri Agama kepada Menteri Dalam Negeri No: B.VI/5996/1980 tanggal 7 Juli 1980 perihal Perkawinan, Kartu Penduduk dan Kematian para Penghayat Kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa. Di dalamnya tertulis dua poin yang mempersulit perihal pencatatan perkawinan.
Dalam surat tersebut tertuang pesan, pertama, pengisian kolom agama dalam KTP dengan tanda (-) berarti yang bersangkutan tidak beragama. Kedua, karena aliran kepercayaan/Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukan agama, juga tidak akan dijadikan agama baru, maka perkawinan menurut aliran kepercayaan tidak ada tata peraturan perundangan.
Lalu, pada tahun 2019, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada PP Nomor 40 tahun 2019 tentang pelaksanaan UU Nomor 2013 tentang perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Aturan terkait pencatatan pernikahan penghayat kepercayaan tertuang dalam Bab VI Pasal 40 ayat 1 tentang Tata Cara Perkawinan Bagi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pasa tersebut berisi sebagai berikut:
“Pencatatan perkawinan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dilakukan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota atau UPT Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota paling lambat 60 hari setelah dilakukan perkawinan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.”
Artinya, untuk saat ini perkawinan penghayat kepercayaan sudah diakui oleh negara. Para penghayat sudah tidak perlu lagi mengubah kolom agama seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, atau Konghucu. Hal tersebut juga ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 97/PUU-XIV/2016 yang menyatakan bahwa penghayat kepercayaan dapat dicantumkan dalam administrasi kependudukan, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK).
Masih Ada Ketakutan
Sejak 18 Oktober 2017 negara secara resmi mengakui penghayat kepercayaan sebagai keyakinan yang ditulis di kolom kepercayaan di KTP, KK, atau akta kelahiran. Kendati demikian, masih banyak penghayat kepercayaan yang enggan merubah kolom kepercayaannya dengan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Hal tersebut diungkap oleh Wiwin. Dia merasakan miris terhadap kerabatnya yang kepercayaan tetapi enggan mengubah kolom kepercayaannya. Alasannya menurut Wiwin adalah ketakutan ketika akan mengurus menyoal administrasi. Padahal, menurutnya dalam kesehariannya penghayat tersebut masih mempraktikkan kebiasaan sebagai penghayat.
“Alasannya karena trauma atau dipersulit ke depannya. Entah itu akses pendidikan atau kesehatannya,” ujar Wiwin. “Jadi kenapa warga penghayat tapi KTP dan KK-nya masih beda agama, karena ada ketakutan,” lanjutnya.
Di sisi lain, Rela mengkhawatirkan tindakan tersebut. Dalam pemarapan saat menjadi pembicara di acara Sosialisasi dan Pendidikan Pemilih Pilkada yang diselenggarakan di kampus Unpar, Kamis 21 November lalu, dia menekankan pada Puanhayati yang hadir untuk segera merubah kolom Kepercayaannya, agar tidak menjadi bumerang.
Rela menjelaskan hal yang ditakutkan ketika para penghayat masih menulis di kolom agamanya selain Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah akan dianggap sesat. Sebab akan dituduh melakukan ritual baru yang bertentangan dengan kolom agama yang ditulis di KTP.
“Karena kalau tidak akan menjadi bumerang bagi kita sendiri. Ketika kita menganut kepercayaan kemudian melakukan ritual penghayat kepercayaan tetapi di KTP masih Islam, itu kita akan terkena undang-undangan penodaan agama. Dikiranya kita akan menyebarkan aliran sesat,” tegasnya.
Meski begiru, Rela juga menyadari adanya ketakutan masyarakat untuk mengubah kolom kepercayaannya. Sehingga penghayat masih berlindung di tameng agama yang diakui pemerintah.
“Tapi kan itu berarti menyalahi ajaran kita sendiri. Kan katanya ajaran kita itu jujur,” lanjut Rela.
Terjadinya diskriminasi tersebut paling rentan dari dulu hingga saat ini menyasar pada pelajar di tingkat dasar hingga atas. Indra Anggara, Koordinator Jaringan Antar Umat Beragama (Jakatarub) membenarkan hal tersebut. Hingga saat ini sudah lebih dari satu permasalahan yang ditanganinya sejak tahun 2020 lalu.
Pada tahun 2022 lalu, dirinya membantu mengadvokasi siswa penghayat di tingkat SD di salah satu sekolah di Cimenyan, Kabupaten Bandung. Permasalahannya ialah, siswa penghayat dipaksa untuk mengikuti ajaran mayoritas, yaitu agama Islam.
Padahal hak pendidikan bagi penghayat kepercayaan di Indonesia sudah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 27 Tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Pada Satuan Pendidikan. Menurut Indra terjadinya kejadian tersebut adalah minimnya sosialisasi terhadap tenaga pendidik.
Tidak hanya siswa yang menjadi korban, Indra menyebut tenaga pendidik juga merupakan korban atas ketidaktahuannya terkait penghayat kepercayaan ini. “Nah, dalam kebebasan beragama berkeyakinan (KBB) sendiri memang ini sangat kompleks, bahkan yang jadi pelaku (tenaga pendidik) juga itu adalah korban karena ketidaktahuan terkait penghayat,” tutur Indra saat ditemui di kantor Jakatarub, Senin 25 November 2024.
Kejadian tersebut juga disebabkan karena kurang meratanya tentang sosialisasi penghayat kepercayaan di tingkat sekolah. Bahkan, minimnya berita tentang kebijakan tentang penghayat juga jarang diungkapkan. “Dalam konstruksi pendidikan juga itu tidak diberikan pemahaman terkait agama lokal,” lanjutnya.
Indra mengatakan idealnya dalam keputusan hingga implementasi di lapangan terkait kebijakan yang menyangkut penghayat adalah melibatkan secara keseluruhan masyarakat penghayat kepercayaan. Tujuan agar pengimplementasian itu bisa disebarkan secara merata. Salah satu paling dasarnya adalah dengan sosialisasi ke sekolah.
Lebih dari itu, berjejaring dengan masyarakat lintas iman juga turut menjadi kunci. Indra menuturkan, keaktifan penghayat di berbagai kegiatan di sosial harus mulai digerakan. Penghayat harus percaya diri mengakui bahwa dirinya juga penghayat. Tidak berlindung di balik label agama yang diakui saja. Terlebih kepekaan terhadap kebijakan politik harus juga ditingkatkan.
“Jadi kita harus punya pemahaman dan kesadaran politik ke arah sana. Takutnya ketika ada kebijakan yang membahayakan para penghayat bisa langsung paham. Jadi ada kesadaran ke sana,” tutupnya.
*Artikel ini merupakan kerja sama antara BandungBergerak dan INFID melalui program PREVENT x Konsorsium INKLUSI sebagai bagian dari kampanye menyebarkan nilai dan semangat toleransi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta inklusivitas. Tulisan ini juga dimuat di laman INFID.