ARTificial Reef dalam Bisikan Terumbu, Ungkapan Cinta Teguh Ostenrik Kepada Laut
Instalasi seni ARTificial Reef karya Teguh Ostenrik bukan hanya cermin realitas, tapi mampu berperan merestorasi laut yang dirusak aktivitas manusia.
Penulis Retna Gemilang6 Oktober 2025
BandungBergerak - Seni sering dipandang sebagai cerminan realitas, tapi tidak secara langsung menyelesaikan masalah konkret. Namun, Teguh Ostenrik, seniman lulusan Universität der Künste Berlin, menjawab semuanya. Ia merancang ARTificial Reef sebagai karya dengan fungsi ganda: instalasi seni sekaligus rumah terumbu karang buatan yang sejak 2015 telah ditenggelamkan di beberapa perairan Indonesia.
Dalam mengisahkan perjalanan Teguh Ostenrik dengan karya seninya ARTificial Reef, film dokumenter bertajuk "Bisikan Terumbu" lahir untuk membuka pengalaman visual baru kepada masyarakat. Selasar Sunaryo Art Space (SSAS) bekerja sama dengan Artopologi dan Yayasan Terumbu Rupa menyelenggarakan pemutaran dan diskusi film di Ampitheater Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Selasa, 30 September 2025.
Dalam diskusinya, Teguh menyoroti permasalahan ekosistem laut yang semakin memperihatinkan. Tak ayal, pelakunya sendiri adalah perbuatan manusia yang tidak bertanggung jawab sehingga ekosistem laut rusak. Padahal, laut memberikan banyak manfaat, termasuk produsen oksigen.
"Ternyata hampir 70 persen oksigen yang ada di tiap detik itu disumbang oleh biota-biota laut yang tinggal di coral reef," ujar Teguh.
ARTificial Reef merupakan rumah terumbu karang berbentuk penyu. Instalasi ini telah ditenggelamkan di delapan titik lokasi Indonesia. Di antaranya adalah Senggigi di Lombok, Sembiran dan Bondalem di Bali Utara, Kepulauan Seribu, Bangsring di Banyuwangi, Pulau Wanci di Wakatobi Sulawesi Tenggara, Pulau Bangka di Sulawesi Utara, dan Jimalamo di Ternate.
Bagi Teguh yang mencintai laut sejak kecil, menciptakan seni juga berarti berdampak ke lingkungan sekitar. ARTificial Reef menurutnya adalah bentuk cinta yang mendalam kepada laut yang memberikan sumber kehidupan.
"Gerakan yang lahir dari cinta yang dalam pada laut. Seni yang menyatu dengan sains dan kehidupan," ungkap Tegug, dalam kutipan film dokumenter Bisikan Terumbu.
Selama lebih dari satu dekade, Teguh bersama istrinya, Mira Tedja membuka ruang dialog dengan para ahli di bidangnya. Perjalanan seni ini menunjukkan bahwa karyanya dapat melampaui ranah seni rupa, menyeberangi batas-batas disiplin, dan melibatkan keorganisasian yang kompleks.
"ARTificial Reef tidak mungkin lahir dari satu tangan saja. Karya ini lahir dari sebuah ekosistem kolaboratif antara seniman, ilmuwan, kelautan, penyelam, masyarakat lokal, teknisi, hingga rohaniawan. Setiap orang membawa ilmu, intuisi, dan pengalamannya masing-masing," ucap Teguh.
Film Dokumenter Bisikan Terumbu
Bisikan Terumbu hadir sebagai film dokumenter yang disutradarai Arfan Sabran, produser Dion Pandu Dewantara, dan produser eksekutif Intan Wibisoni dan Mira Tedja. Dalam proses pembuatan film dokumenter ini, didukung oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia, LPDP, Dana Indonesiana, Artopologi, dan Yayasan Terumbu Rupa.
Intan yang juga Founder dan CEO Artopologi menjelaskan bahwa dokumenter ini menjadi karya visual yang menginspirasi khalayak untuk turut berkontribusi pada laut.
"Supaya lebih banyak orang yang mau menyembuhkan, menjaga laut, bisa memiliki ide-ide baru, inovasi baru untuk merehabilitasi coral reef di Indonesia," ujar Intan.
Satu hal yang jadi ikonik, dalam proses penggarapannya, kru tim berusaha mendokumentasikan dua ruang jadi padu. Di mana, ruang darat dan laut menjadi latarnya. Intan menceritakan tentang kru tim berupa juru kamera yang juga memiliki kecintaan terhadap laut.
"Jadi mereka diver juga, kecintaan dan passion-nya, atau skill-nya mereka juga bisa menerjemahkan filosofi yang dibawa Teguh ke dalam karya visual, sesuatu yang bisa kita dengar dan bisa kita pahami," ungkapnya.
Intan mengungkapkan bahwa semua tim bekerja sama dalam menangkap prosesnya dalam waktu yang cukup lama dan komplek menjadi sebuah narasi film yang mudah dimengerti oleh semua kalangan. Membuka arsip lama sejak tahun 2014, mulai dari film, video, foto, bahkan riset juga menjadi proses yang penting dilakukan.
"Jadi semuanya proses yang cukup panjang, merangkai menjadi sebuah sebuah cerita film dan kemudian ditampilkan secara baru," imbuhnya.
Baca Juga: Laut, Ombak, dan Susi Pudjiastuti
Sampah Mikroplastik tak Kasat Mata Banyak Ditemukan di Pantai Pangandaran
Seni yang Menembus Ruang Solusi
ARTificial Reef telah dipamerkan di Artjog pada tahun 2019 dengan menampilkan salah satu instalasinya bernama "Domus Frosiquilo".
Agung Hujatnika, kurator ARTificial Reef di Artjog, turut menuturkan bahwa ekosistem seni ini dapat menjadi representasi dari "Actor Network Theory" yang dicanangkan sosiolog Prancis, Bruno Latour. Teori ini membicarakan tentang jejaring sebagai pengganti dari konsep entitas sosial di mana aktornya selalu berpusat pada manusia.
Menurutnya, karya Teguh menawarkan satu alternatif dari teori jejaring aktor dengan pusat ekosistemnya tidak pada manusia, melainkan pada aktor noninsani.
"(Selain) aktor manusia yang sebenarnya dalam perubahan dunia ini perannya sangat banyak. Mau itu binatang, mau fisik, mau organik, maupun nonorganik, dan seterusnya," ungkap Agung.
Agung mendefinisikan bahwa karya Teguh termasuk ke dalam klasifikasi environmental art dengan spektrum yang lebih luas. Dalam hal ini, seni bukan hanya dinikmati dan representasi realitas saja, tapi juga merestorasi laut secara konkret dan memantik kesadaran kepada khalayak
"Karena ada alasan itu juga, (ARTificial Reef) bukan cuma objek, tapi juga kami ingin memantik kesadaran. Sehingga semua orang tahu bahwa daya jangkau seni bisa sejauh itu," ujarnya.
Dalam perkembangan dunia seni, Ignatius Bambang Sugiharto, seorang filsuf menilai bahwa karya Teguh menjadi narasi solutif yang tepat. Pada akhirnya, seni dapat memberi perhatian ke realitas yang lebih luas.
Seni sendiri, ungkap Bambang, tidak lagi berbicara "What's means?". Tapi sudah merambak ke dalam makna "What are does?" atau apa yang sudah seni lakukan hingga akhirnya memberi dampak pada sekitar.
"Karena (sejatinya) seni bukan teknologi yang bisa bikin bendungan dan lain sebagainya. Tapi seni itu berdampak, membuka kesadaran, mengetuk hati, membuka imajinasi," ujar Bambang.
"Pada akhirnya, (seni) di situ bukan hanya membuka kesadaran, itu mengubah kesadaran menjadi contagious, menjadi dokumen karena dialihwahanakan," imbuhnya.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB