• Buku
  • Majalah Lentera dan Jejak Edisi Salatiga Kota Merah di Era Digital

Majalah Lentera dan Jejak Edisi Salatiga Kota Merah di Era Digital

Majalah Lentera edisi Salatiga Kota Merah terbitan Lembaga Pers Mahasiswa Fiskom UKSW pernah menjadi sasaran beredel.

Sampul majalah Lentera edisi Salatiga Kota Merah. (Foto: tangkapan layar dari Wikimedia Commons)

Penulis Farhan M Adyatma7 Oktober 2025


BandungBergerak.id – Apa yang Anda pikirkan ketika mendengar “pemberedelan pers”? Pemberedelan tiga majalah –Tempo, Editor, dan Detik– pada tahun 1994 (era Orde Baru)? Atau mungkin pemberedelan koran Sinar Harapan yang terjadi berkali-kali? Ingatan sebagian besar dari kita mengenai pemberedelan pers di Indonesia berada pada abad ke-20 di era Orde Lama dan khususnya lagi Orde Baru.

Namun, bagaimana jika tindakan pemberedelan pers terjadi di abad ke-21 pada masa ketika Indonesia sudah memasuki era Reformasi? Inilah yang pernah dialami salah satunya oleh majalah Lentera. Dikutip dari Tirto, majalah Lentera adalah majalah yang diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lentera. LPM Lentera sendiri adalah lembaga pers mahasiswa yang berada di bawah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana (Fiskom UKSW).

Baca Juga: Membincangkan Novel Menuai Badai di Toko Buku Pelagia, Kala Fiksi Menjadi Lensa untuk Membaca Luka Sejarah
Embun-embun Kemanusiaan di antara Huru-hara Revolusi Indonesia
Kisah Rahmah El Yunusiyah, Perempuan yang Menyalakan Api Merdeka di Sumatra

Edisi Salatiga Kota Merah

Pada 9 Oktober 2015 lalu, LPM Lentera menerbitkan majalah dengan judul Salatiga Kota Merah. Dikutip dari persma.id, edisi majalah Lentera dengan judul Salatiga Kota Merah itu disebarluaskan ke masyarakat Kota Salatiga dengan menitipkannya di kafe dan juga beberapa tempat yang memasang iklan di dalam majalah tersebut. Majalah ini dicetak sebanyak 500 eksemplar dengan harga jual  15 ribu rupiah per eksemplar. Selain disebarluaskan, LPM Lentera juga mendistribusikannya ke instansi pemerintahan di Salatiga serta ke berbagai organisasi masyarakat di Semarang, Jakarta, dan Yogyakarta.

Majalah ini memiliki tebal 42 halaman. Majalah ini membahas laporan investigasi jurnalistik mengenai pembantaian massal pasca-G30S 1965 di Salatiga. Artikel pertama akan diawali dengan editorial dengan judul Bukan Generasi Mbah yang membahas mengenai dampak secara fisik dan psikis terhadap orang-orang yang hidup pada zaman ketika G30S terjadi (hlm. 4). “Mereka hidup di zaman ketika tuduhan komunis terlontar, maka tertuduh akan hilang. Mereka hidup dalam ketakutan, bahkan ketika tirani telah tumbang, mereka masih takut.”

Dalam artikel editorial tersebut, redaksi juga menyatakan bahwa “berusaha untuk mencari fakta tentang peristiwa yang selama ini buram bagi generasi kami”. Selain itu, tidak semua redaksi LPM Lentera terlibat dalam edisi Salatiga Kota Merah ini dan hanya sebagian yang terlibat. Hal itu tidak menjadi masalah bagi redaksi karena setiap anggota redaksi punya hak untuk tidak terlibat.

Redaksi juga menyatakan bahwa mereka mencari informasi melalui literatur-literatur, melakukan observasi lapangan, dan mewawancarai para pelaku sejarah. Kebanyakan narasumber menolak diwawancarai (hlm. 4). “Sebagian takut, sebagian lagi memang enggan. Ada narasumber kami yang bercerita dengan mata berkaca-kaca,” begitulah pengalaman redaksi dalam menyusun edisi Salatiga Kota Merah ini.

Bagi saya, salah satu yang menarik dari majalah ini artikel liputan khusus yang berjudul Satu Bingkai Kosong oleh Arista Ayu Nanda dan Andri Setiawan. Artikel tersebut membahas seorang tokoh bernama Bakrie Wahab, ia adalah Walikota Salatiga (1961-1965) yang berafiliasi dengan PKI. Ia tidak menyatakan dukungannya secara terbuka terhadap peristiwa G30S. Namun, setelah tahun 1965, nasibnya tidak diketahui (hlm. 7).

LPM Lentera mengalami kebuntuan dalam mencari informasi mengenai Bakrie Wahab. Hal itu karena tidak mudah mencari informasi mengenai sosok Bakrie Wahab ini. “Keberadaannya tenggelam ke dalam memori masyarakat Salatiga,” begitulah bunyi salah satu kalimat yang ada di paragraf penutup artikel tersebut.

Selain itu, dalam artikel yang berjudul Melirik Washington: Pengaruh G30S terhadap Hubungan Ekonomi-Politik Indonesia dengan Barat, Gabriella Agmassini menyatakan bahwa kejatuhan PKI pada 1965 merupakan kejatuhan kelompok kiri terbesar pertama di dunia (hlm. 36). Kalau dilihat dari Asia sendiri, pada masa itu memang terjadi perang ideologi antara Blok Barat dan Blok Timur, hal itu sangat terlihat terutama pada Perang Korea (1950-1953) dan Perang Vietnam (1955-1975).

Dalam penutup untuk artikelnya, Gabriella Agmassini menyatakan bahwa peristiwa G30S sangat berpengaruh terhadap arah Indonesia ke depannya. Dalam bidang politik, Indonesia beralih kubu dari Blok Timur di era Sukarno ke Blok Barat di era Soeharto dengan Orde Baru-nya. Ideologi kiri pun juga menjadi hancur sehancur-hancurnya pasca-G30S. Jika dilihat dari bidang ekonomi, sistem ekonomi Indonesia mulai berubah menjadi bercorak liberal. G30S pada akhirnya menjadi sebuah kemenangan untuk kaum liberal dengan keterbukaan Indonesia terhadap pasar dan sumber daya alamnya (hlm. 37).

Dalam majalah Lentera edisi Salatiga Kota Merah ini, ada juga kolom sastra yang terletak mendekati halaman terakhir di majalah ini. Pada kolom sastra ini, pembaca akan disajikan cerpen berjudul Sipir Bertato Gagak karya Septi Dwi Astuti (hlm. 40). Setelah itu, dilanjutkan dengan empat puisi, yakni Arus karya Asmoro Rahman Hadi, Berperan Tuhan karya Priskilla Efatania Krispaty, Generasi Terbelakang karya Yashinta Purwaningrum, dan Bulan Lalu karya Altha Barasphati. Keempat puisi tersebut menjadi penutup untuk majalah Lentera edisi Salatiga Kota Merah ini.

Pemberedelan yang Gagal

Majalah Lentera edisi Salatiga Kota Merah itu pun kemudian diberedel pada sekitar tanggal 16-18 Oktober 2015. Dikutip dari Tempo, sejak 16 Oktober 2015, majalah Lentera edisi Salatiga Kota Merah mendapat respons negatif dari wali kota, kepolisian, dan tentara. Mereka memprotes konten yang ada di dalam majalah tersebut. Pada 18 Oktober 2015, polisi meminta untuk menghentikan distribusi majalah itu dan dikumpulkan lalu dibakar.

Walaupun begitu, LPM Lentera banyak mendapatkan dukungan. Dukungan datang dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), dan masih banyak lagi. AJI mendesak Komnas HAM untuk menyelidiki pelanggaran HAM yang terjadi dalam pemberedelan majalah Lentera.

Bagi saya, tindakan pemberedelan majalah Lentera ini adalah sebuah tindakan pemberedelan yang gagal. Hal itu karena pemberedelan terjadi di era digital. Untuk apa melakukan pemberedelan di era digital seperti sekarang ini? Toh sekarang publik bisa dengan mudah mencari serta mengarsipkan hal yang berusaha ditutup-tutupi itu secara digital dan memungkinkan untuk diakses secara lebih masif.

Dalam kasus pemberedelan majalah Lentera, walaupun edisi fisiknya mungkin sudah tersisa sedikit atau bahkan tidak ada, publik masih bisa mengakses atau mengunduhnya secara digital melalui Internet Archive dan Wikimedia Commons. Justru, pemberedelan yang dilakukan membuat publik semakin penasaran mengenai isi dari majalah yang diberedel dan mendorong mereka untuk mencari majalah tersebut melalui internet.

Inilah yang dinamakan efek Streisand (Streisand effect). Dilansir dari Britannica, efek Streisand merupakan sebuah fenomena di mana upaya menyensor, menyembunyikan, atau mengalihkan perhatian dari sesuatu justru akan menarik lebih banyak perhatian. Hal inilah yang terjadi pada majalah Lentera. Memang peredaran Salatiga Kota Merah secara fisik mungkin sudah tidak ada, tetapi dengan kekuatan dunia digital, membuat peredarannya semakin meluas karena dapat diakses hanya melalui gadget yang dimiliki oleh semua orang.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//