• Buku
  • Embun-embun Kemanusiaan di antara Huru-hara Revolusi Indonesia

Embun-embun Kemanusiaan di antara Huru-hara Revolusi Indonesia

Eveline Buchheim dkk. pada buku Meniti Arti (Sporen vol Betekenis) bercerita tentang revolusi Indonesia tahun 1945-1949 dari kaca mata veteran Belanda.

Sampul buku Meniti Arti/Sporen vol Betekenis karya Eveline Buchheim, Satrio Dwicahyo, Fridus Steijlen & Stephani Welvaart. (Foto Sumber: obor.or.id)

Penulis Ojel Sansan Yusandi12 Agustus 2025


BandungBergerak.id – Peperangan tak melulu tentang desingan peluru, dentuman bom, tembakan yang menyasar korban tak bersalah, cipratan darah, genangan air mata, dan kematian. Di antara kemelut batin, rentetan tembakan membabi buta, lolongan tangisan, dan percikan dendam, ada hal lain yang kerap menyeruak tak terduga dan membuat segala keributan itu senyap seketika. Hal lain itu bernama kemanusiaan.

Begitu banyak peristiwa yang diabaikan dalam sejarah, termasuk dalam sejarah revolusi Indonesia sepanjang 1945-1949. Masing-masing pihak –Belanda dan Indonesia– kerap memandangnya sebelah mata. Yang satu mengutuk yang lain –walau tak semua. Di Indonesia, masih jarang pembahasan tentang revolusi kemerdekaan yang menyangkut sudut pandang lawan, yaitu Belanda. Padahal, perspektif para veteran Belanda yang pernah bertugas di Indonesia semasa revolusi bisa membantu pihak Indonesia dalam memaknai masa-masa “Bersiap” tersebut lebih dalam, lebar, dan manusiawi.

Dalam kurun waktu 1945-1950, seperti disebutkan dalam buku Meniti Arti/Sporen vol Betekenis yang disusun oleh Eveline Buchheim, Satrio Dwicahyo, Fridus Steijlen & Stephani Welvaart, pihak  Belanda mencatat sebanyak 226-234 ratus sedadu wajib militer, namun hanya sekira 120.000 saja yang akhirnya berangkat ke Indonesia (Buchheim dkk., 2022: 37-38). Di samping yang menolak, ada juga yang memilih mengikuti wajib militer di Belanda namun berkebaratan untuk dikirim ke Indonesia. Beberapa yang lainnya memutuskan untuk berangkat, namun setiba di Indonesia mereka malah membelot. Keyakinan dan prinsip yang mereka pegang bersilangan dengan kenyataan di lapangan dan dengan segala kemungkinan yang terjadi.

Sebagian serdadu Belanda yakin bahwa Belanda punya peran untuk dimainkan, baik sebagai pengusir Jepang atau untuk mendirikan kembali kekuasaan kolonial. Seperti yang diutarakan oleh seorang mantan veteran perang Belanda yang pernah ditugaskan di Indonesia:

Selepas pembebasan Belanda, muncul seruan untuk mengusir Jepang dari Hindia—jadi jelas bahwa gagasan kolonial itu masih hidup. Amerika telah datang dan membebaskan kita, oleh karenanya kita harus pergi ke Hindia sekarang. Satu demi satu mulai mendaftar, dan aku tak mau ketinggalan. Kita semua belum menikah. Tigapuluh tiga dari kelompok perlawanan kami ikut mendaftar […] Tentu saja berangkat bukan untuk memerangi penduduk Hindia. Kami ke sana murni untuk memerdekakan Hindia dan mengusir Jepang. Kami tak berniat untuk menjajah mereka lagi, karena kami juga pernah mengalami penjajaha serupa. Kami tak ingin melakukan apa yang Jerman pernah lakukan kepada kita.

Tapi, ketika kelompok pasukan pertama masih berlatih dan baru akan diberangkatkan ke Indonesia, Jeang telah menyerah dan kemerdekaan Indonesia baru saja diumumkan. Sementara, pemerintah Belanda tak punya alasan untuk membatalkan pemberangkatan atau menahan pasukannya di pangkalan (Buchheim, dkk, 2022: 93).

Baca Juga: Membangun Kekuatan Narasi Geowisata Jawa Barat Melalui Buku
Ada Cerita Besar di Balik Obrolan Receh Seputar Pembatas Buku
Membincangkan Novel Menuai Badai di Toko Buku Pelagia, Kala Fiksi Menjadi Lensa untuk Membaca Luka Sejarah

Pamflet-pamflet Perlawanan Indonesia dan Kesaksian-kesaksian Serdadu Belanda

Saat tiba di Indonesia, dalam rangka “mengamankan para peloppers (pejuang)”, banyak di antara para serdadu Belanda menemukan pamflet-pamflet perlawanan. Di desa-desa, yang menjadi kerap menjadi medan pertempuran, sebagian pamflet revolusi itu memuat pernyataan yang menyejajarkan serdadu Belanda dengan serdadu Jerman semasa Perang Dunia II di mana warga sipil Belanda tak jarang menjadi korban keganasan para serdadu Jerman. Penyamaan pendudukan Jerman di Belanda selama Perang Dunia II dengan pengerahan serdadu Belanda di Indonesia ini terekam dalam sebuah pamflet yang terpaku di dinding kayu sebuah rumah di Jawa Barat (Buchheim, dkk, 2022: 89). Bunyinya: “Hai Belanda, ingatkah kalian akan Hitler? Ketahuiah, kalian adalah Hitler bagi kami di Indonesia!”

Pamflet ini difoto oleh seorang fotografer militer dan tersimpan di sebuah album foto milik J.H. van Eersel, seorang prajurit dari kesatuan 1-9-RI Batalyon Friesland yang sempat ditugaskan di Indonesia antara 1946-1949. Dalam pamflet tersebut, tampak seseorang mirip Hilter, yang dikenali dengan mudah dari kumis dan potongan rambutnya, serta gambar swastika besar di dadanya. Di pojok kanan atasnya, terdapat gelembung kata berisi tulisan: Vernietig Hollanders binen 5 dagen (Hancurkan orang-orang Belanda dalam lima hari). Di bagian bawahnya dibubuhkan tanda tangan “De Krater” (Kawah), diperkirakan merupakan sebuah kelompok perjuangan setempat.

Sebuah pamflet lain yang tersebar di wilayah Jawa Barat dan dicetak oleh salah satu kelompok perlawanan di daerah itu memuat tulisan:

Dari sudut pandang internasional, perang ini merupakan kebodohan terbesar Anda. Dunia kini mengenalmu sebagai “agresor” dan Anda tak bisa menyangkalnya. Mulanya, Jerman dan Jepang mencoba menantang dunia, tapi lihat akibat fatal yang diderita mereka. Padahal sebelumnya, mereka adalah negara adikuasa!!!! Anda cuma negara kecil, tak punya kekuatan. Jadi, mengapa harus menyakiti, merusak, dan menumpahkan darah? Tak tahukah Anda bahwa PBB sekarang sedang mengambil langkah untuk menghentikan Anda? Apakah Anda selalu membeo mereka yang mengaku pemimpin Anda?????

Kembalilah. Kami ingin Anda pulang ke negara Anda.

Tertanda: Pejuang Gerilya dari Lembah

(Buchheim, dkk, 2022: 95)

Tak hanya pamflet-pamflet buatan pejuang Indonesia, kesaksian para serdadu Belanda saat bertugas di lapangan kerap memuat perasaan tentang kehadiran mereka di tengah-tengah rakyat Indonesia, yang diasosiasikan dengan pendudukan Jerman di Belanda. Seorang serdadu Belanda lain yang ditempatkan di Sumatera Selatan mencatat perlakukan buruk dan pembantaian tahanan perang yang ia dengar dilakukan oleh dinas intelejen Belanda. Ia menulis di bulan November 1947. Ia menulis dengan reflektif tentang pengalamannya:

Serdadu Jerman selalu berdalih bahwa mereka nichts gewusst haben (tidak tahu apa-apa). Sepertinya, kami pun bersikap sama, tak tahu apa-apa, dan mungkin saja semua cerita itu cuma dusta semata. Tapi kini setelah kudengar kejadiannya, aku merasa bertanggung jawab karena aku selama ini menutup mulut dan tidak mencoba melawan. Aku merasa seolah-olah seperti serdadu Jerman brengsek. Padahal, sampai saat ini kami teramat membenci Jerman dan segala hal yang pernah mereka lakukan. Tapi, jika aku buka mulut, aku akan dituduh komunis dan aku takut dituduh demikian. Lagi pula, yang kumau, sekarang hanyalah untuk pulang ke rumah dengan selamat dan terbebas dari segala kekacauan ini. (Buchheim, dkk, 2022: 91)

Serdadu lain menulis dalam buku hariannya tentang situasi yang serupa yang terjadi di Jawa Barat. “Ketika tahanan diintegrogasi, biasanya mereka dipukul berulang-ulang sampai mereka berdarah. Kami seolah-olah mewujud seperti tentara Jerman. Hanya saja perlawanan bahwatanah di sini jauh lebih baik.”

Gerrits Pinkster, seorang veteran perang lainnya, di tahun 1990-an memberi kesaksikan mengenai pengalamannya menjad serdadu Belanda di Indonesia selama Revolusi. “Aku pernah mendengar sebuah kampung dibumihanguskan. Persis sama yang diperbuat Jerman di Woeste Voeve [yang menewaskan 117 tahanan di awal tahun 1945 sebagai aksi balas dendam atas serangan yang dilakukan oleh kelompok perlawanan]. Hal semacam ini takkan mungkin tertulis dalam buku peringatan yang mana pun” (Buchheim, dkk, 2022: 91).

“Aku Tak Menembak Anak Itu”

Masih dalam buku yang sama, veteran lain, bernama Bram Bruin (kelahiran 1928), ditugaskan di sekitar Bondowoso, Jawa Timur. Suatu hari ia ditugaskan menuju sebuah kampung di mana ada sebuah tumah penduduk terbakar. Ia bersama rekan satu regu dan seorang bintara polisi menuju ke sana, di mana telah hadir telebih dulu sepasukan KNIL. Semula, tiada kejadian penting di kampung itu. Ia mencatat: “Mobil berhenti. Aku duduk di depan melihat ke arah sawah. Betul memang, rumah itu terbakar. Tapi kami biarkan. Kami takkan melakukan apa pun sebelum diberi perintah. Seperti sudah otomatis begitu. Jika komandanku tidak memerintah kami, ‘Prajurit turun,’ maka kami akan diam saja. Kami hanya mengamati. Lalu kami diberi tahu bahwa penduduk yang tinggal dekat rumah yang sedang terbakar itu tidak diperbolehkan ke luar rumah.”

Tiba-tiba kulihat seorang bocah lelaki berjalan di pematang sawah. Usia sepuluh, delapan, mungkin sepuluh tahun. Sukar untuk mengira-ngira umur anak itu karena tubuh mereka kecil-kecil. Lalu komandanku memberi perintah, “Tembak!” Kami semua memegang senjata. Dia memerintahku, “Bruin, tembak!” Lalu aka mulai mengarahkan senapanku  pada anak itu. Aku tak kunjung menembaknya. Lalu komandanku berteriak lagi, “Komando, tembak!” Aku diam saja. Anak itu semakin jauh. Lalu, komandanku mengatakan, “Kini, kita berada di medan tempur dan kau kuperintahkan untuk, ‘tembak’;, kau akan tahu akibatnya jika tidak patuh.” Begitulah yang ia katakan kepadaku, mungkin tak persis sama. Aku tak menembak anak itu. Aku biarkan dia pergi. Aku katakan pada diriku sendiri, tak mungkin aku bisa tembak mata seorang anak kecil. Tak kulakukan. Anak itu kemudian hilang dari pandangan.” (Buchheim, dkk, 2022: 38-39)

Tanggal 19 Desember 1948, beberapa menit menjelang Agresi Militer II, seorang serdadu Belanda menulis bahwa ia: “harus tiba pagi ini di markas untuk mendengarkan taklimat dari Jenderal Spoor dan komandan pasukan di Sumatera Selatan, Kolonel Mollingen: ‘Kita harus paham bahwa kita bukanlah penjajah, melainkan pembebas’.” Ia lalu melanjutkan: “Sayangnya, mereka yang coba kita bebaskan justru berpikir sebaliknya.”

Delapan bulan kemudian, sang serdadu menulis pengalamannya diundang makan oleh kepala desa Gunung Sugih. Ia mengisahkan:

Makanannya enak semua dan sangat berkesan. Janggal rasanya bahwa aku diundang makan sebagai seorang ‘penjajah’. Padahal aku tak mungkin mengundang sedadu Jerman datang ke rumahku, begitu juga tetangga-tetanggaku. Tapi, entahlah, kami semua merasa senang dengan pengalaman ini. (Buchheim, dkk, 2022: 90)

Kita tak pernah tahu persis kapan detik-detik yang menegangkan dalam kehidupan kita yang tak jarang dilematis itu datang tetiba, namun begitu menentukan jalan hidup kita setelahnya. Yang kita tahu, manusia tak selama bisa disulap menjadi mesin perang yang hanya tahu kemenangan dan keagungan pemimpin yang sesungguhnya tak kita kenal dan pahami.

28 Juli 2025

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//