• Buku
  • Ada Cerita Besar di Balik Obrolan Receh Seputar Pembatas Buku

Ada Cerita Besar di Balik Obrolan Receh Seputar Pembatas Buku

Benda yang selalu dianggap angin lalu seperti pembatas buku ternyata memiliki konteks sosialnya, untuk melawan atau menggambarkan kondisi sekitar.

Siniar Hanya Wacana membahas pembatas buku di Toko Buku Bandung, Jalan Garut, Jumat, 17 Januari 2025. (Foto: Fauzan Rafles/BandungBergerak)

Penulis Fauzan Rafles 18 Januari 2025


BandungBergerak.idBagi beberapa orang, membicarakan buku barangkali bukan hal penting. Apalagi mendiskusikan benda yang disebut pembatas buku; terasa amat remeh, mungkin tak penting. Tetapi barang yang dianggap tak penting ini justru menjadi topik utama Siniar Hanya Wacana di Toko Buku Bandung, Jalan Garut, Jumat, 17 Januari 2025.

Mengusung slogan “membahas hal yang gak penting-penting amat”, Siniar Hanya Wacana menghadirkan pesinear penulis sejarah Hafidz Azhar, Wanggi Hoed, pemilik Toko Buku Bandung Deni Rachman, dan Kang Yadi dari toko Kenangan Asik. Mereka menjelaskan, maksud dari slogan “gak penting-penting amat” adalah untuk orang yang mungkin tidak tertarik pada buku. Sementara bagi pecinta buku, pembahasan pembatas buku justru bisa sangat penting dan memiliki makna mendalam.

Bagi masyarakat umum, mungkin pembatas buku bukanlah benda yang bisa dipikirkan sebegitu dalamnya. Namun, bagi para pecinta buku, pembatas buku hampir sama pentingnya dengan isi buku itu sendiri.

Hafidz Azhar yang juga dosen DKV di FISS Unpas Bandung, membuka obrolan dengan bertanya kepada tiga kawannya tentang pengalaman mereka masing-masing dengan pembatas buku.

Menurut Hafidz, jika mengacu pada sejarah, sebenarnya pembatas buku sudah ada sejak 6 Masehi dan munculnya dari Mesir yang gemar mencetak buku atau karya seni dari dedaunan atau juga kulit pohon. Di zaman reformasi Indonesia, pembatas buku justru bisa menjadi alat untuk komunikasi para aktivis.

“Pembatas buku bisa jadi konteks sosial atau juga bisa jadi alat pengantar kode-kode pergerakan rahasia, terutama pada era reformasi Indonesia dulu,” ucapnya.

Kalimat pembuka siniar dari Hafidz menunjukan betapa dalamnya hal yang menurut kebanyakan orang dianggap tidak terlalu penting. Pembatas buku lebih dari sekadar alat praktis untuk menandai halaman buku yang telah dibaca. Banyak pembaca merasa bahwa pembatas buku adalah perwujudan dari perjalanan mereka dalam sebuah cerita. Selain itu, pembatas buku sering kali menambah pengalaman membaca secara keseluruhan, menjadikannya sesuatu yang istimewa dan personal.

Wanggi Hoed, aktor pantomim, juga ikut memperdalam diskusi santai mengenai pembatas buku ini. Menurutnya, pembatas buku bagi segenap orang hanyalah alat penanda bacaan. Jika dibahas lebih dalam lagi, pembatas buku juga bisa dijadikan alat kampanye baik secara visual maupun tulisan. Banyak kampanye-kampanye pergerakan ataupun suara-suara orang kecil yang tercantum di pembatas buku. Ada juga pembatas buku yang menyuarakan kecilnya upah buruh di Indonesia.

Lain dengan pengalaman Deni Rachman, ia pernah mengalami hal yang tidak mengenakkan dengan temannya terkait pentingnya pembatas buku. Ketika ia meminjam buku temannya, ia melipat salah satu lembar bukunya sebagai pertanda bacaan terakhirnya. Bila ada pembatas, maka hal itu tidak akan terjadi. Bahkan sejak saat itu, ia malah menjadi pengoleksi dan juga banyak menjual pembatas buku melalui toko bukunya.

Koleksi-koleksinya sangat banyak dan beragam. Ada pembatas buku yang mencantumkan kutipan dari 235 buku di Indonesia. Menurutnya, menaruh kutipan pada pembatas buku juga bisa menjadi alat untuk menghargai pembaca. Dengan pembatas buku, pembaca dapat memiliki kenangan dari buku yang mereka baca.

Tidak sampai di situ, obrolan dari siniar yang katanya membahas hal yang tidak terlalu penting malah terkesan seperti hal yang memiliki urgensi tingkat tinggi di zaman ini.

“Waktu zaman saya sekolah dulu, pembatas buku sering dijadikan alat buat janjian sama orang yang kita suka,” ujar Kang Yadi.

Sebesar itu pengaruh hal yang jauh dari kata benda primer. Menurut pengalaman Yadi juga, di tahun 90-an banyak pembatas yang diolesi aroma terapi. Tujuannya agar sang pembaca bisa betah dan tidak mudah mengantuk saat membaca buku.

Obrolan berlanjut lebih dalam dan panjang. Siniar ini terus mengupas lebih dalam mengenai pembatas buku. Tidak hanya dari kertas, banyak bahan-bahan lain yang juga dapat dijadikan pembatas buku. Dari koleksi Deni sendiri, ia memiliki pembatas buku yang berbahan dasar kulit sapi, kain, magnet, bahkan tembaga. 

Baca Juga: Sikap Otodidak Serta Konsistensi dalam Buku-buku Ajip Rosidi
Kaleidoskop Buku Bandung 2021, Menggelar Lagi Pameran Buku
Pesta Buku Margin Kiri Berlangsung hingga 31 Mei, Meminjam Buku di Sarang Buku Ciwidey

Pembatas Buku Penyampai Hal-hal Krusial

Pembatas buku bisa dimanfaatkan sebagai penyampai sejarah untuk diteruskan sampai generasi berikutnya. Utamanya, sejarah dari buku tersebut atau sejarah proses kreatif dari sang penulis ketika menulis karyanya. Bila ditarik ke belakang, tepatnya saat era kemerdekaan, pembatas buku sering kali dijadikan alat penyampai kode rahasia yang hanya orang tertentu yang boleh menerimanya.

Kamp Tjihapit contohnya. Salah satu lokasi bersejarah di Bandung, menjadi saksi bisu masa pendudukan Jepang saat Perang Dunia II. Terletak di kawasan Cihapit, Kota Bandung, tempat ini dulunya merupakan kamp interniran yang digunakan untuk menahan warga sipil, khususnya orang-orang Belanda dan Eropa lainnya, yang dianggap musuh oleh pemerintah Jepang.

Pada zaman itu, masyarakat menjadikan surat semacam memo yang berisi kode-kode atau pesan rahasia sebagai pembatas buku yang nantinya akan diantarkan kepada orang-orang tertentu. Memo itu biasanya berisi nama, tanggal, jam, dan tempat. Masyarakat sering menaruhnya di dalam buku agar dianggap sebagai pembatas buku biasa. Dengan cara itu, tidak akan ada yang mencurigai pergerakan tersebut.

Buku yang dijadikan alat untuk mengantar ‘pembatas buku’-nya juga tidak boleh sembarangan. Biasanya, mereka menggunakan buku rohani agar terlihat seperti barang bawaan pribadi dan bukan benda yang mungkin akan ditukar seenaknya kepada orang lain.

Anggapan bahwa pembatas buku tidaklah penting ternyata mengacu pada zaman dahulu yang mana belum ada media sosial. Bagi masyarakat terdahulu, bukulah media sosial mereka. Buku adalah sumber informasi dan media masyarakat untuk menyampaikan keluh kesah di zaman itu. Selain buku-buku yang tebal, masyarakat zaman dulu tidak membutuhkan pembatas. Ini terjadi karena hampir semua orang menamatkan buku dalam sekali duduk. Maka dari itu, mereka sangat jarang menggunakan pembatas.

“Daya baca orang-orang zaman dulu tuh kuat. Khataman Al-Quran aja bisa mereka selesaikan dalam waktu 1-2 hari. Ya karena itu tadi, mereka semua tidak terdistraksi media sosial,” jelas Kang Yudi.

Perbincangan yang terjadi di siniar Hanya Wacana ini dapat didengarkan melalui kanal Youtube mereka, Hanya Wacana. Obrolannya yang santai namun mendalam membuktikan bahwa hal-hal kecil seperti pembatas buku dapat memiliki cerita dan makna yang mendalam. Dari alat praktis penanda halaman hingga medium kampanye dan penyampai pesan rahasia, pembatas buku ternyata menyimpan sejarah dan fungsi yang jauh lebih besar dari fungsi aslinya.

Di tangan para pesinear ini, pembahasan yang awalnya terdengar sepele justru menjadi pengingat bahwa setiap benda, sekecil apa pun, memiliki cerita dan perannya sendiri di tengah kehidupan manusia. Sedikit banyak, siniar ini dapat mengubah cara pikir masyarakat saat melihat pembatas buku nantinya. Masyarakat bisa berhenti sejenak dan bertanya: cerita apa yang sedang berusaha disampaikan pada pembatas buku tersebut?

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca artikel-artikel lain dari Fauzan Rafles, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Buku

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//