• Buku
  • Kisah Rahmah El Yunusiyah, Perempuan yang Menyalakan Api Merdeka di Sumatra

Kisah Rahmah El Yunusiyah, Perempuan yang Menyalakan Api Merdeka di Sumatra

Buku Perempuan yang Mendahului Zaman karya Khairul Jasmi menceritakan tentang kisah Rahmah El Yunusiyah, pengibar Bendera Merah Putih pertama di Sumatra.

Sampul buku Perempuan yang Mendahului Zaman karya Khairul Jasmi. (Foto: Siti Resa Mutoharoh)

Penulis Siti Resa Mutoharoh17 Agustus 2025


BandungBergerak.id – Agustus selalu punya aroma yang berbeda di udara. Bulan ini seakan menjadi pengingat bersama bahwa Indonesia pernah berdiri di titik paling bersejarahnya. Pada 17 Agustus 1945, setelah konon katanya ratusan tahun dijajah, Merah Putih akhirnya berkibar sebagai tanda negeri ini merdeka.

Setiap tahun, ingatan kolektif kita kembali dihidupkan lewat upacara bendera, lomba tujuhbelasan, atau sekadar berkumpul di jalanan menyaksikan arak-arakan. Nama Soekarno, Hatta, dan para pejuang lainnya begitu lekat dalam narasi kemerdekaan yang kita kenal.

Namun bagi saya, kata merdeka justru membawa ingatan pada sosok perempuan yang jarang disebut dalam buku sejarah sekolah, yakni Rahmah El Yunusiyah. Kisahnya saya temukan dalam buku Perempuan yang Mendahului Zaman karya Khairul Jasmi. Di sana, Rahmah digambarkan bukan sekadar tokoh pendidikan, tetapi perempuan yang tak gentar melangkah di tengah medan perjuangan.

Rahmah adalah api yang tak pernah padam. Ia selalu berapi-api memperjuangkan kemerdekaan bangsa dengan caranya. Matanya menyala, suaranya tegas, ketika pada 19 Agustus 1945 mendengar kabar dari Ketua Chuo Sangi In, Engku Syafe’i, bahwa Indonesia telah merdeka. Keesokan harinya, persis tiga hari setelah Soekarno-Hatta Proklamasi di Jakarta.

Pagi itu, seperti biasanya, ia meraih selendang warna putih, setinggi teganya kira-kira, lalu melilitkannya di kepala. Peniti kecil mengunci lilitan itu di tempatnya, rapi dan tegak. Dalam hitungan detik, terbentuklah lilik yaitu penutup kepala yang menjulur hingga ke dada, terjuntai di punggung sampai di bawah bahu. Semua rambutnya lenyap di balik kain, hanya wajah tegasnya yang terlihat.

Busana yang dikenakan tak kalah khas baju kurung basiba longgar, modelnya perpaduan jubah Timur Tengah dan gaya Minangkabau, memberi keleluasaan bergerak. Di bawahnya, kodek dari kain lembut membungkus langkahnya yang cepat. Dari ujung kepala hingga ujung kaki, ia tampak seperti guru yang anggun, namun dari sorot mata dan gerakannya, jelas terlihat, ia juga seorang pejuang.

Ia bergegas mengumpulkan murid-muridnya. “Kita harus segera bertindak,” ujarnya lantang.

Ia memutuskan untuk mengibarkan Merah Putih. Namun masalahnya, bendera itu belum ada. Situasi saat itu memang sulit, sebab jangankan kain, beras saja susah didapat. Tapi Rahmah tak pernah kehabisan akal. Lagi-lagi, ia segera bertindak. Ia melihat sebuah alat tenun di ruangan sekolah Diniyyah Puteri dan menenun kain merah di sana. Untuk bagian putihnya, ia mengorbankan selendang milik Diniyyah Puteri, melipatnya dua agar tampak rapi.

Maka pada 20 Agustus 1945, berkibarlah Bendera Merah Putih pertama di Padang Panjang. Menurut beberapa catatan, bahkan di Sumatra.

Sorak “Merdeka!” menggema, kepalan tangan terangkat, dan semangat Rahmah pun menular. Awalnya memang rakyat masih takut mengibarkan Bendera Merah Putih. Tapi akhirnya, warga pun turut ikut mengibarkan bendera dari kain blacu, kertas minyak, bahkan dari apa saja yang ada, asal bisa menggantung di depan rumah atau masjid.

Kala itu, mengibarkan Bendera Merah Putih bukanlah perkara aman. Penjajah masih mengintai, siap menindak siapa saja yang berani menunjukkan simbol kemerdekaan. Tetapi Rahmah tak gentar. Keberaniannya bahkan terdengar hingga ke telinga Soekarno. Tak lama, ia diangkat menjadi anggota Komite Nasional Indonesia pada Sidang PPKI tanggal 22 Agustus 1945.

Tidak berhenti di sana, Ia dengan baju keulamaan perempuannya, kemudian maju menjadi seorang komandan perempuan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Pertama di Sumatra Barat, sebuah posisi yang jarang, bahkan nyaris mustahil, dipegang perempuan pada masa itu.  Ia memimpin pasukan yang menghadang Belanda dan mengelola pasukan intel.

Namun perjuangan Rahmah tidak berhenti hanya di tahun-tahun awal kemerdekaan. Saat Agresi Militer Belanda II meletus, ia kembali terjun dalam perjuangan fisik. Pada 7 Januari 1949, di lereng Gunung Singgalang, Rahmah tertangkap ketika turut bergerilya melawan pasukan Belanda. Ia dijebloskan ke rumah tahanan wanita di Padang selama tiga bulan, lalu dikenai tahanan kota selama lima bulan berikutnya. Meski terbelenggu, semangatnya tak pernah padam. Baginya, penjara hanyalah ruang sementara, kemerdekaan bangsa tetap tujuan utama.

Baca Juga: Ada Cerita Besar di Balik Obrolan Receh Seputar Pembatas Buku
Membincangkan Novel Menuai Badai di Toko Buku Pelagia, Kala Fiksi Menjadi Lensa untuk Membaca Luka Sejarah
Embun-embun Kemanusiaan di antara Huru-hara Revolusi Indonesia

Pelopor Pendidikan Islam bagi Perempuan

Rahmah bukan hanya pejuang di medan politik dan kemerdekaan, ia juga pelopor pendidikan Islam bagi perempuan. Ia menentang pandangan sempit bahwa perempuan hanya berkutat di sumur, dapur, dan kasur. Baginya, perempuan harus merdeka, baik secara fisik, pikiran, maupun kesempatan sesuai dengan aturan agama yang dianutnya.

Sejak 1935, Rahmah sudah menyuarakan ide tentang identitas busana perempuan Indonesia di Kongres Perempuan di Jakarta yakni selendang atau kerudung, sebagai simbol religius dan jati diri bangsa. Ia juga memimpin reformasi hukum yang membela hak-hak perempuan, termasuk dalam urusan pernikahan, talak, perkawinan anak, termasuk poligami.

Keberanian Rahmah mengajarkan bahwa hijab tak pernah menjadi penghalang untuk memimpin pasukan atau berdiri di garis depan. Ia membuktikan, perjuangan membela bangsa dan membela kaumnya bisa berjalan berdampingan. Rahmah El Yunusiyah, berjuang dengan mendirikan sekolah sekaligus mengangkat senjata. 

Hari ini, kita memang hidup di zaman yang berbeda. Tidak ada lagi penjajah berseragam yang berpatroli di jalan-jalan. Namun, tidakkah kita masih menyaksikan bentuk-bentuk penjajahan baru? Ketika pendidikan menjadi hak yang mahal, seakan hanya untuk mereka yang mampu membayar. Ketika pengangguran tinggi membuat banyak pemuda kehilangan harapan. Ketika kekerasan berbasis gender masih merenggut keamanan perempuan di ruang-ruang publik maupun privat. Dan ketika akses terhadap kesempatan mulai dari pendidikan, pekerjaan, hingga kepemimpinan, belum sepenuhnya adil bagi perempuan.

Inilah tantangan zaman yang, jika Rahmah masih ada, mungkin akan ia hadapi dengan semangat yang sama. Sebab baginya, kemerdekaan bukan sekadar terbebas dari penjajahan fisik, melainkan memastikan setiap manusia, laki-laki dan perempuan, dapat belajar, bekerja, dan berkarya tanpa dibatasi oleh apa pun, termasuk oleh pakaian yang ia kenakan.

Pakaian yang dikenakannya tak menghilangkan pemikiran dan pergerakannya yang jauh lebih besar. Justru dari balik kain yang menutup kepala itulah lahir keberanian, kecerdasan, dan langkah-langkah yang mengubah sejarah.

Di tengah semua itu, kita membutuhkan lebih banyak “Rahmah-Rahmah” baru, perempuan yang tak menunggu komando untuk bertindak, yang berani memegang kendali atas nasib bangsanya. Perempuan yang sadar bahwa kemerdekaan harus terus diperjuangkan, bahkan setelah bendera dikibarkan.

Rahmah telah menyalakan api merdeka yang melampaui zamannya. Kini, tugas kita menjaga agar api itu tak padam.

Seperti Rahmah, jangan diam. Segera bertindak, apa pun posisimu hari ini.

***

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//