Polemik Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu, Masyarakat Jawa Barat Sudah Membantu Pemerintah dengan Membayar Pajak dan Zakat
Pemerintah sudah memiliki pendapatan dari pajak yang dibayar masyarakat. Ada juga instrumen zakat untuk mengurangi kemiskinan.
Penulis Ryan D.Afriliyana 9 Oktober 2025
BandungBergerak - Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (sumbangan sehari 1.000 rupiah) di Provinsi Jawa Barat mendapat tanggapan beragam. Gerakan ini dirasa menghimpit warga kelas mengengah ke bawah yang sedang kesulitan di tengah lesunya ekonomi. Di sisi lain, warga sudah taat membayar pajak langsung maupun pajak tidak langsung (konsumsi). Instrumen lain untuk mengurangi kemiskinan, yaitu zakat, juga selalu dibayarkan oleh masyarakat.
Tak heran jika mendengar Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu, meskipun sumbangan ini bersifat sukarela, beberapa warga menyambut dingin. Sejumlah Para pedagang kaki lima (PKL) di Kota Bandung yang ditemui BandungBergerak mereka psimis dengan gerakan ini. Sebaliknya, Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu dianggap membebani masyarakat menengah ke bawah.
Para PKL, yang menjadi sumber pendapatan utama bagi banyak warga di Bandung, merasa keberatan dengan kebijakan tersebut. Pendapatan mereka yang sebagian besar berasal dari sektor perdagangan, termasuk usaha mikro yang digeluti oleh PKL, sangat bergantung pada daya beli masyarakat. PKL turut berperan dalam menggerakkan ekonomi daerah dan menyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui pajak. Selain itu, mereka juga menciptakan lapangan pekerjaan yang seharusnya disediakan oleh pemerintah.
Lina Marlina, seorang pedagang asongan di Batununggal Indah, Bandung, mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap gerakan ini. Bagi Lina, meskipun nominal donasi hanya 1.000 rupiah, beban yang ditimbulkan terasa sangat berat.
"Karena buat saya 1.000 (rupiah) juga sekarang ini aduh, bagaimana ya? Mahal banget gitu," katanya saat ditemui pada Selasa, 7 Oktober 2025.
Lina mengungkapkan bahwa kehidupan saat ini sangat sulit, apalagi dengan biaya hidup yang semakin tinggi.
"Cari 100.000 (rupiah) sehari itu juga susah," tambahnya.
Meskipun pendapatannya hanya cukup untuk makan sehari-hari, Lina bersyukur bisa menghidupi keluarga kecilnya, tetapi sering kali ia bingung bagaimana menutupi biaya pendidikan anaknya yang terus meningkat.
Lina menegaskan bahwa pemerintah seharusnya tidak membebankan masyarakat yang sedang berjuang untuk bertahan hidup.
"Seharusnya bukan tanggung jawab masyarakat, kalau pun pemerintah ingin menyejahterakan masyarakat yang keadaan ekonominya di bawah, jangan lagi-lagi membebankan masyarakatlah," tegas Lina.
Ia juga menambahkan, gerakan ini seolah-olah dipaksakan, meskipun pemerintah menyebutnya sebagai ajakan sukarela.
Pengangguran dan Kemiskinan
Para pedagang kaki lima sering kali terpaksa memilih pekerjaan ini karena tidak ada pilihan lain. Faktor seperti pengangguran yang tinggi, pemutusan hubungan kerja (PHK), dan terbatasnya lapangan pekerjaan yang disediakan pemerintah menjadi alasan utama.
Berdasarkan data dari BPS Jawa Barat per Mei 2025, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Jawa Barat tercatat sebesar 6,74 persen, dengan jumlah pengangguran mencapai 1,81 juta orang. Hal ini menjadikan Jawa Barat sebagai provinsi dengan jumlah pengangguran terbanyak di Indonesia. Menurut data BPS Provinsi Jawa Barat, pada Maret 2025, penduduk miskin di Jawa Barat mencapai 3,65 juta orang atau sekitar 7,02 persen dari total penduduk.
Purwanto, pedagang lain di Bandung, juga mengkritik gerakan sumbangan 1.000 rupiah. Ia tidak mempermasalahkan nominalnya, tapi bagaimana nasib masyarakat yang tidak punya penghasilan tetap. Purwanto meminta pemerintah untuk lebih fokus pada penciptaan lapangan pekerjaan dan memastikan bantuan yang diberikan tepat sasaran.
Ia juga mengingatkan bahwa masyarakat sudah membayar pajak untuk membantu pembangunan negara. Seharusnya pajak tersebut digunakan untuk mengurangi kemiskinan, bukan justru membebani mereka lebih lanjut.
"Mending dikaji ulang lagilah, daripada ada demo besar-besaran nantinya. Takutnya ada penolakan besar-besaran," kata Purwanto saat ditemui BandungBergerak. "Gubernur harus tahu, banyak di kita itu bantuan-bantuan dari pusat itu enggak sesuai."
Pendapat serupa disampaikan pedagang lainnya, Faridudin Sayuti. Bagi kalangan menengah ke bawah ajakan donasi 1.000 rupiah dirasa tidak akan tepat sasaran. Ia bahkan menilai gerakan ini bisa menjadi masalah besar bagi mereka yang sudah kesulitan bertahan hidup. Menurutnya, bagi orang yang hidup serba terbatas, satu ribu rupiah bisa menjadi beban.
"Sasarannya ke siapa dulu. Orangnya yang gimana dulu. Gitu," tanya Faridudin.
Ia menilai, tidak ada kejelasan terkait siapa yang mengelola penggalangan dana, bagaimana mekanisme pengelolaannya, termasuk transparansi dan pendistribusiannya. Fokus pemerintah saat ini seharusnya menciptakan keadilan demi kesejahteraan masyarakatnya.
"Soalnya yang dilihat-lihat, rakyat kecil makin sengsara, rakyat gede tertawa hura-hura," ucap Faridudin.
Penjelasan Dedi Mulyadi Soal Gerakan Sapoe Sarebu
Gerakan donasi 1.000 rupiah digagas oleh Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat, mulai 1 Oktober 2025. Gerakan ini mengajak masyarakat untuk berdonasi sebesar 1.000 rupiah per hari. Gubernur yang juga politisi Partai Gerindra ini melalui Surat Edaran Nomor 147/PMD.03.04/KESRA mengimbau warga Jawa Barat untuk ikut berpartisipasi dalam gerakan ini.
Gubernur Dedi Mulyadi menegaskan bahwa gerakan ini hanya bersifat ajakan dan tidak ada pemaksaan. Ia berharap gerakan ini bisa menginspirasi masyarakat untuk saling menolong, dengan dana yang terkumpul akan digunakan untuk biaya pendidikan dan kesehatan warga Jawa Barat.
“Tidak ada kebijakan (pemaksaan) seperti itu. Yang ada hanyalah ajakan dari Gubernur kepada seluruh jajaran pemerintah, mulai dari rukun tetangga, rukun warga, kepala desa, lurah, camat, bupati, hingga wali kota untuk bersama-sama membangun solidaritas sosial,” kata Dedi Mulyadi, dalam keterangan resmi, Senin, 6 Oktober 2025.
KDM menambahkan, gerakan serupa sebenarnya sudah lama hidup di masyarakat Jawa Barat. Ia berharap daerah-daerah yang sudah menerapkannya dapat terus mengoptimalkan layanan, sementara wilayah lain bisa mencontohnya.
“Gerakan ini bukan kewajiban, hanya ajakan. Mari kita menolong sesama kita, barangkali hari ini kita memberikan sumbangsih kepada seseorang, bisa jadi suatu saat kita yang mengalami kesulitan dan akhirnya ada tempat pananggeuhan, ada tempat mengadu di mana kita bisa meminta pertolongan hanya itu saja,” kata pria yang akrab disapa KDM.
Rakyat Bantu Pemerintah dengan Membayar Pajak
Solidaritas sosial memang sudah lama tumbuh di masyarakat, dengan atau tanpa surat edaran sumbangan 1.000 rupiah sehari. Nilai ini dapat dilihat dari pembayaran pajak langsung dan tidak langsung oleh masyarakat. Bahkan, pajak konsumsi masyarakat menopak perekonomian nasional.
Menurut riset Eko Wicaksono, Sidiq Suryo Nugroho, dan Arti Dyah Woroutami dalam jurnal Kajian Ekonomi & Keuanganhttp: Pola Konsumsi dan Beban PPN Kelas Menengah Indonesia konsumsi masyarakat masih menjadi penggerak utama roda perekonomian Indonesia. Data menunjukkan bahwa pengeluaran rumah tangga secara konsisten menyumbang lebih dari separuh Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada periode 2010 hingga 2017, rata-rata kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap PDB mencapai 54,37 persen. Ini menjadikan konsumsi rumah tangga sebagai komponen terbesar dalam struktur ekonomi Indonesia.
Pertumbuhan konsumsi ini berjalan seiring dengan peningkatan kelas menengah, yang tidak hanya memperkuat daya beli masyarakat, tetapi juga menjadi motor pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Studi Wai-Poi et al. (2019) menyebutkan bahwa naiknya kelas menengah berperan besar dalam mendorong konsumsi domestik, sekaligus mendorong aktivitas kewirausahaan dan investasi dalam pengembangan sumber daya manusia.
Tak hanya itu, kelas menengah juga menjadi kontributor penting bagi penerimaan negara, khususnya melalui pajak tidak langsung yang dikenakan atas barang dan jasa yang mereka konsumsi.
Dengan posisi konsumsi rumah tangga sebagai penyumbang terbesar dalam PDB, setiap perubahan pada sektor ini, baik peningkatan maupun penurunan, akan berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karena itu, menjaga stabilitas dan daya beli masyarakat menjadi kunci dalam mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tugas ini ada di tangan pemerintah.
Dalam riset lainnya berjudul Kelas Menengah Indonesia Makin Terjepit yang disusun Faisol Riza, Ahmad Iman Sukri (Penasihat), Sugeng Bahagijo (Pemimpin Redaksi dan Penanggung Jawab), Sabiq Mubarok, Ngarto Februana, Mugiyanto disebutkan perhatian terhadap SDM di Indonesia dinilai masih kurang. Hal ini justru menghambat pertumbuhan ekonomi.
Riset yang dipublikasikan di Brefing RPK I No VI/Agustus 2024 RUMAH POLITIK memaparkan, kondisi ekonomi Indonesia belakangan ini menunjukkan kerentanan yang mendalam, salah satunya akibat kurangnya perhatian terhadap pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Kualitas SDM yang belum memadai membuat Indonesia sulit keluar dari tekanan ekonomi, dan cenderung rentan terhadap dampak resesi global.
Salah satu indikator yang mencemaskan adalah menyusutnya jumlah kelas menengah. Berdasarkan catatan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), sekitar 8,5 juta orang dari kelompok kelas menengah mengalami kemunduran ekonomi selama periode 2018 hingga 2023. Jumlah kelas menengah turun dari sekitar 60 juta orang pada 2018 menjadi hanya 52 juta pada 2023.
Peneliti LPEM UI, Teuku Riefky, menjelaskan bahwa banyak dari kelompok ini tidak berhasil mendapatkan pekerjaan layak dan masih bergantung pada sektor informal. Akibatnya, daya beli mereka sangat rentan dan mudah tergerus inflasi.
Situasi ini menegaskan bahwa pembangunan ekonomi tidak cukup hanya bertumpu pada infrastruktur atau investasi fisik. Pengembangan SDM perlu menjadi prioritas utama. Tanpa SDM yang kompeten dan adaptif, Indonesia akan terus menghadapi tantangan dalam menciptakan lapangan kerja berkualitas dan meningkatkan produktivitas nasional.
Pemerintah perlu segera memperkuat strategi pembangunan SDM—mulai dari akses pendidikan yang merata, pelatihan keterampilan yang sesuai kebutuhan industri, hingga jaminan perlindungan bagi pekerja sektor informal. Tanpa itu, target pertumbuhan ekonomi jangka panjang akan sulit tercapai.
Baca Juga: Meragukan Keberpihakan Konten Dedi Mulyadi pada Perempuan Selain Demi Mendulang Suara
Tragedi Makan Siang Gratis di Pernikahan Anak Dedi Mulyadi di Garut Berpotensi Hukum Pidana
Zakat Jawa Barat Memiliki Potensi Besar untuk Solidaritas Sosial
Sebagai provinsi dengan mayoritas penduduk muslim, Jawa Barat memiliki instrumen zakat sebagai pengentasan kemiskinan. Dana ini jika dikelola maksimal akan berdampak signifikan untuk membangun solidaritas sosial seperti yang menjadi tujuan gerakan sapoe sarebu.
Nirma Bhakti Pertiwi dari Institus Agama Islam Tazkia menulis jurnal bertajuk “Pengaruh Implementasi Indeks Literasi Zakat terhadap Strategi Pengumpulan Zakat di BAZNAS Provinsi Jawa Barat”. Menurutnya, Indonesia memiliki potensi zakat yang sangat besar. Berdasarkan data BPS tahun 2015, sebanyak 85 persen penduduk Indonesia beragama Islam. Dengan jumlah tersebut, zakat dapat menjadi salah satu sumber dana strategis untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, termasuk di Jawa Barat.
Zakat bukan hanya kewajiban keagamaan, tetapi juga instrumen ekonomi dan sosial. Menurut Abdul Ghafar dkk. (2013), zakat adalah alat yang dilembagakan Islam untuk memerangi kemiskinan. Hasan (2008) juga menekankan bahwa zakat berfungsi sebagai mekanisme transfer kekayaan dari masyarakat yang mampu kepada yang membutuhkan, serta berperan dalam mempersempit kesenjangan ekonomi.
Studi dari Pusat Kajian Strategis BAZNAS (PUSKAS-BAZNAS) tahun 2018 menunjukkan, zakat mampu menurunkan kesenjangan pendapatan mustahik hingga 78 persen. Lebih jauh lagi, zakat terbukti dapat mempercepat waktu keluar dari kemiskinan hingga 3,68 tahun lebih cepat dibanding tanpa intervensi.
Secara nasional, potensi zakat Indonesia diperkirakan mencapai 213,3 triliun rupiah pada tahun 2017, atau sekitar 1,57 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Bahkan, dengan diberlakukannya regulasi yang menjadikan zakat sebagai pengurang pajak, potensi tersebut melonjak hingga 462 triliun rupiah atau 3,46 persen dari PDB.
Namun, realisasi penghimpunannya masih jauh dari potensi. Pada tahun 2017, zakat yang berhasil dikumpulkan oleh BAZNAS dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) hanya sebesar 6,2 triliun rupiah. Jumlah ini baru mencapai 47 persen dari potensi terendah (13 triliun rupiah) dan hanya sekitar 2,8 persen dari potensi tertinggi.
Rincian potensi zakat berdasarkan jenisnya antara lain: zakat penghasilan 139,07 triliun rupiah, zakat uang 58,76 triliun rupiah, zakat pertanian 19,79 triliun rupiah, zakat peternakan 9,51 triliun rupiah, dan zakat perusahaan 6,71 triliun rupiah (IIPZ PUSKAS-BAZNAS, 2016–2018).
Jawa Barat: Potensi Besar, Realisasi Masih Jauh dari Harapan
Jawa Barat menjadi salah satu provinsi dengan potensi zakat terbesar di Indonesia. Berdasarkan perhitungan Indikator Pemetaan Potensi Zakat (IPPZ), selama periode 2016–2018, total potensi zakat di Jawa Barat mencapai 26,8 triliun rupiah.
Potensi tersebut terdiri dari: zakat penghasilan 18,8 triliun rupiah, zakat uang 4,3 triliun rupiah, zakat pertanian 2,5 triliun rupiah, zakat peternakan 1 triliun rupiah, zakat perusahaan 87 miliar rupiah.
Namun sayangnya, Nirma Bhakti Pertiwi mencatat, realisasi penghimpunan masih sangat rendah dibandingkan potensi yang ada. Berdasarkan data BAZNAS Provinsi Jawa Barat, tahun 2016 terkumpul 16,9 miliar rupiah, tahun 2017 terkumpul 15,4 miliar rupiah, tahun 2018 terkumpul 24 miliar rupiah.
Nirma menyatakan, kesenjangan antara potensi dan realisasi menunjukkan bahwa optimalisasi penghimpunan zakat di Jawa Barat masih menjadi tantangan besar. Dengan potensi yang begitu besar, Nirma menyatakan zakat seharusnya bisa menjadi pilar penting dalam mendukung program pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Jawa Barat.
Pemerintah daerah, lembaga zakat, dan tokoh masyarakat perlu bekerja sama lebih erat untuk meningkatkan literasi zakat, membangun kepercayaan publik terhadap pengelola zakat, serta memperkuat sistem penghimpunan dan distribusi yang lebih transparan dan akuntabel.
Nirma mengingatkan, zakat bukan sekadar kewajiban personal, melainkan aset sosial yang strategis. Jika dikelola secara maksimal, zakat bisa menjadi solusi berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat Jawa Barat, khususnya mereka yang masih hidup dalam keterbatasan.
Jika pengelolaan zakat di Jawa Barat sudah maksimal, mungkinkah diperlukan gerakan sapoe sarebu?