• Berita
  • Pameran Menyoal Ruang, Identitas, dan Ekspresi di Pasar Antik Cikapundung

Pameran Menyoal Ruang, Identitas, dan Ekspresi di Pasar Antik Cikapundung

Mengusung tema Tarikan antara Akar dan Perjalanan, pameran RAWS Attack Cl Ass (RAC) Angkatan 21 memperkarakan identitas dan pengalaman sehari-hari.

Pameran tugas akhir RAWS Attack Cl Ass (RAC) Angkatan 21 bertajuk Tarikan antara Akar dan Perjalanan di Pasar Antik Cikapundung, Bandung, 20 September 2025. (Foto: Audrey Kayla/BandungBergerak)

Penulis Audrey Kayla Fachruddin9 Oktober 2025


BandungBergerakLorong-lorong lantai tiga Pasar Antik Cikapundung, Bandung terlihat lengang, hanya diisi sayup-sayup suara live music dari salah satu kios. Namun, suasana berbeda terasa di Galeri Red Raws Center. Ruang ini dipadati pengunjung yang menikmati pameran tugas akhir RAWS Attack Cl Ass (RAC) Angkatan 21 bertajuk “Tarikan antara Akar dan Perjalanan”. Pameran ini berlangsung dari 20 September hingga 5 Oktober, menampilkan karya lima pameris: Triwardana “Tuwi” Tegar Pramudya, M. Albi Fakhrul Fadillah, Ican Kami, Hanadia, dan Ananda Firmansyah.

Pameran RAWS Attack Cl Ass (RAC) Angkatan 21 merupakan pengembangan dari proyek sebelumnya berjudul "1 Km dari Cikapundung”, yang kemudian dikurasi ulang oleh Asep “Uloh” Saepuloh menjadi refleksi tentang tarikan antara akar (asal-usul) dan perjalanan (pengalaman hidup).

Uloh, alumni RAC Angkatan 2, melihat bahwa karya-karya para pameris membicarakan banyak hal, mulai dari ruang publik, komodifikasi, ekspresi personal, hingga pertarungan simbolik di ruang-ruang kota.

“Saya melihat garis merahnya untuk pameran ini adalah identitas di mana dalam identitas itu selalu ada tarikan antara akar dan perjalanan ( dilahirkan di mana dan perjalanan yang dilewati sampai detik ini ),” kata Uloh.

Pameran tugas akhir RAWS Attack Cl Ass (RAC) Angkatan 21 bertajuk Tarikan antara Akar dan Perjalanan di Pasar Antik Cikapundung, Bandung, 20 September 2025. (Foto: Audrey Kayla/BandungBergerak)
Pameran tugas akhir RAWS Attack Cl Ass (RAC) Angkatan 21 bertajuk Tarikan antara Akar dan Perjalanan di Pasar Antik Cikapundung, Bandung, 20 September 2025. (Foto: Audrey Kayla/BandungBergerak)

Ruang Publik, Tanda, dan Perjalanan Personal

Ican Kami, melalui karyanya berjudul "T(b)angga", menyuguhkan visual sederhana: foto tangga. Namun, huruf “b” kecil dalam judul menciptakan makna ganda: "tangga" dan "bangga". Ican menyebut karyanya sebagai representasi dari proses pengembangan diri yang penuh luka, namun pada akhirnya membawanya kembali pada penerimaan diri.

“Perjalanan aku itu panjang dan babak belur, tapi pada akhirnya, aku kayak kembali kepada diri aku sendiri dan berbangga dengan diri aku sendiri,” ujar Ican.

Ia bahkan sempat terkesan ketika seorang pengunjung mengaitkan karyanya dengan konsep "Spektrum Milikku", yaitu bagaimana tiap individu memiliki warna unik yang baru tampak saat dilihat dari dekat. Interpretasi itu sejalan dengan perjalanan Ican dalam menemukan dan menerima "warna"-nya sendiri.

Sementara itu, Hanadia, lewat karyanya “Space Available”, menggali relasi antara ruang publik dan ekspresi dalam perspektif feminin. Hana menyoroti praktik vandalisme di Bandung yang didominasi oleh narasi maskulin, seperti grafiti yang saling tindih antar pelaku. Namun, ia juga mengamati bagaimana grafiti bertarung dengan kepentingan komersial, seperti poster iklan atau plang usaha.

“Grafiti itu kan kayak kultur yang ngomongin tentang ekspresi diri dan bagaimana caranya mempromosikan hal-hal personal dalam kasus ini, dalam kasus ini, ya, kayak nama atau hal-hal sesimpel itu,” ungkap Hana.

Karya Hana tak hanya bisa dilihat, tapi juga direspon langsung. Ia menyediakan spidol untuk pengunjung yang ingin meninggalkan “jejak” di instalasinya—menjadi bagian dari ruang yang terus dinegosiasikan.

Ananda Firmansyah menampilkan karya “Serifoto CKPNDNG-01210105-200925”, yang terinspirasi dari pengalaman langsungnya di Cikapundung River Spot. Di sana, ia ditawari selembar kertas berisi doa oleh seseorang, praktik yang baginya merepresentasikan komodifikasi pengalaman spiritual.

“Buat aku pribadi, itu momen yang unik banget, gitu, karena mikrotransaksi yang barangnya unik banget,” ujar Ananda.

Instalasi Ananda meniru suasana pasar: lengkap dengan sistem barter dan label harga. Parodi ini menyoroti bagaimana segala hal, bahkan yang spiritual dan intim, bisa menjadi objek jual beli.

Baca Juga: Wisata Keramat di Pasar Antik Cikapundung, Mengunjungi Situs-situs Penggusuran di Kota Bandung dengan Bus Imajiner
Bernostalgia di Pasar Kenangan

Peserta pameran tugas akhir RAWS Attack Cl Ass (RAC) Angkatan 21 bertajuk Tarikan antara Akar dan Perjalanan di Pasar Antik Cikapundung, Bandung, 20 September 2025. (Foto: Audrey Kayla/BandungBergerak)
Peserta pameran tugas akhir RAWS Attack Cl Ass (RAC) Angkatan 21 bertajuk Tarikan antara Akar dan Perjalanan di Pasar Antik Cikapundung, Bandung, 20 September 2025. (Foto: Audrey Kayla/BandungBergerak)

Trauma, Kecemasan, dan Penemuan Diri

Triwardana “Tuwi” Tegar Pramudya mengangkat pengalaman personalnya saat mengunjungi Braga beberapa tahun lalu. Dalam karya “Riuh Mata, Hening Braga”, ia menghadirkan simbol mata sebagai bentuk kecemasan, pengalaman diawasi yang membuatnya mual dan tidak nyaman. Namun, seiring waktu, Tuwi mengaku telah mengalami “character development” dan mulai berdamai dengan ruang sosial.

“Seiring berjalannya waktu, aku ‘kan ada character development gitulah. Udah mulai banyak ngobrol sama orang baru, dan akhirnya, lambat laun, aku tuh udah mulai ‘gak terlalu cemas, gitu, sama orang lain,” jelas Tuwi.

Terakhir, M. Albi Fakhrul Fadillah menghadirkan karya yang paling eksplisit dan mengguncang secara emosional. “Boundary of The Body/Batas Tubuh” terinspirasi dari kejadian nyata saat ia dan temannya dihampiri pria tak dikenal yang secara mengejutkan mengacu rokok sebagai metafora alat kelamin. Peristiwa ini menjadi sumber trauma hingga membuatnya enggan keluar rumah selama tiga hari.

Foto karya Albi menampilkan bungkus rokok berisi objek berbulu halus dan headline berita kekerasan seksual. Ia mengaitkan pengalaman itu dengan teori psikoseksual Sigmund Freud—terutama fase phallic yang mungkin tak terselesaikan pada pelaku.

Ruang publik juga bisa menjadi tempat pelecehan. Dan ini bisa menimpa siapa saja, tanpa pandang gender. mahasiswa psikologi ini.
Bukan Sekadar Pameran

Pameran “Tarikan antara Akar dan Perjalanan” adalah ruang interaktif yang tidak hanya menyajikan karya visual, tapi juga narasi personal, refleksi sosial, dan respons emosional. Isu-isu seperti pengembangan diri, perebutan ruang, kekerasan seksual, dan komodifikasi nilai menjadi benang merah dari pengalaman kelima pameris.

Alih-alih mencari pujian, para pameris justru berharap karya mereka bisa mengundang pengakuan, bahwa apa yang mereka rasakan, pikirkan, dan alami benar-benar ada. Uloh, sebagai kurator, menekankan pentingnya terus bertanya, bahkan setelah pameran selesai.

“Pameran ini tidak hanya jadi informasi tapi bersintesis dengan apa yang sudah ada di dalam diri para pengunjung menjadi pengetahuan,” tulis Uloh.

Meski tampil sederhana di lorong pasar, pameran ini berhasil menyentuh titik-titik reflektif yang dalam. Di ruang publik yang kian sesak oleh komersialisasi dan simbol-simbol tanpa makna, para pameris RAC 21 menawarkan napas segar: ruang untuk berpikir, merasa, dan merespons.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//