• Berita
  • Wisata Keramat di Pasar Antik Cikapundung, Mengunjungi Situs-situs Penggusuran di Kota Bandung dengan Bus Imajiner

Wisata Keramat di Pasar Antik Cikapundung, Mengunjungi Situs-situs Penggusuran di Kota Bandung dengan Bus Imajiner

Komunitas Teater Aruslaras menampilkan lakon Wisata Keramat di Red Raws Center, Pasar Antik Cikapundung, Bandung. Mengunjungi situs-situs penggusuran.

Pembagian karcis bus Teater Aruslaras di Red Raws Center, Pasar Antik Cikapundung, Bandung, Minggu, 14 September 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Penulis Rizki Anugrah17 September 2025


BandungBergerakTeater Aruslaras menyulap Red Raws Center, Pasar Antik Cikapundung, Bandung sebagai destinasi wisata imajiner, Minggu, 14 September 2025. Para pemain mengajak penonton naik bus khayalan untuk mengunjungi titik-titik konflik di Kota Bandung, mulai dari tragedi Mayday 2019, kasus PHK sepihak 10 pekerja CV Sandang Sari, penggusuran warga Kebon Jeruk oleh PT KAI, dan penggusuran Sukahaji.

Teater berjudul Wisata Keramat itu dipentaskan sebagai bagian dari penutupan pameran Echoes of Resistance yang digelar komunitas Raws Syndicate. Pertunjukan dengan konsep wisata imajinasi ini sebagai cara untuk merawat ingatan.

Mula-mula peserta diberikan sebuah karcis bus sebagai syarat mengikuti wisata imajinatif ini. Di lembar karcis juga tersedia kolom kosong. Kernet meminta peserta mengisinya dengan petunjuk pengalaman paling diingat bersama aparat. Setelah mengisinya dan memberikan karcis kepada seorang kernet, peserta diminta untuk duduk berjajar di koridor seakan-akan duduk dalam bus. Di ujung koridor sudah ada supir dan seorang pemandu.

"Ayo pak supir, kita jalan," ujar pemandu kepada sang sopir.

Karcis bus Wisata Keramat di Red Raws Center, Pasar Antik Cikapundung, Bandung, Minggu, 14 September 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Karcis bus Wisata Keramat di Red Raws Center, Pasar Antik Cikapundung, Bandung, Minggu, 14 September 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Di dalam bus imajiner, pemain teater, pengunjung atau penonton seakan-akan berkeliling kota untuk mengunjungi situs-situs bersejarah yang memiliki cerita kelam. Tur ini diisi cerita dari narator tentang pengalaman yang paling diingat saat berhadapan dengan aparat.

Layaknya wisata pada umumnya, pertunjukan ini menampilkan penjaja gorengan dan brownies tapi dengan nama 'No justice no cookies'. Ada pula selingan musik dan syair Wiji Thukul yang dibawakan seorang pengamen, lalu kegiatan karaoke.

Destinasi pertamanya adalah situs Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat (Monju) yang menjadi tempat kejadian May Day Bandung 2019. Pemandu menceritakan kejadian mencekam yang mengakibatkan 619 orang ditangkap, 293 orang di antaranya masih di bawah umur 18 tahun. Tak berhenti di penangkapan, aparat juga melakukan penganiayaan terhadap massa aksi yang ditangkap.

"619 orang ini bukan hanya angka, tapi mereka adalah manusia yang punya cerita dan masa depan, tetapi dijadikan angka dan statistik saja. Di monju ini teman-teman bisa lihat sebagaimana menakutkan dan menyeramkannya kejadian tahun 2019," ujar pemandu, lirih.

Untuk menegaskan cerita tersebut, sang kernet juga membacakan sebuah naskah tentang kekerasan aparat yang menimpa jurnalis. Mereka mendapatkan kekerasan berupa tendangan dan diinjak hingga cedera. Kamera mereka dirampas dan dipaksa dihapus.

"Sebelum kamera diambil juga udah ditendang-tendang. Saya mempertahankan kamera saya. Sambil bilang saya jurnalis," tutur Kernet menirukan kesaksian tersebut.

Destinasi kedua adalah situs Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang menceritakan kilas balik tahun 2021 ketika 10 buruh pabrik tekstil CV Sandangsari menggugat PHK sepihak. Meski gugatan tersebut dimenangkan secara hukum, tetapi upah mereka dipotong dan harus membayar ganti rugi. Belum lagi salah satu buruh bernama Aan mendapatkan tindak kriminalisasi.

Pemandu juga bercerita bahwa seorang kawannya menemui bu Aan pada momen International Women's Day tahun 2025. Hari itu kondisi Aan sedang tidak sehat. Aan masih dibayang-bayangi pemeriksaan-pemeriksaan oleh penyidik, dibentak, dan disuruh mengakui hal yang tidak ia lakukan.

"Ini adalah cerita, mungkin ada sedikit cerita. Namun, ada ratusan bahkan jutaan cerita yang tidak pernah diproses," ucap pemandu.

Situs ketiga adalah Stasiun Barat di kawasan Stasiun Bandung, Kelurahan Kebon Jeruk. Saat ini, daerah tersebut dipenuhi oleh café dan area komersial lainnya. Namun, tahun 2019 area tersebut masih dipenuhi puluhan KK yang berjuang mempertahankan lahannya dari penggusuran oleh PT KAI.

"Dari sini, kini kita belajar, kalau aksi massa selalu ditakuti negara dan berbagai cara mereka lakukan agar aksi massa dipadamkan," pungkas Pemandu.

Situs terakhir adalah kelurahan Sukahaji. Warga Sukahaji juga berjuang dalam kasus penggusuran yang belum selesai. Konflik tanah ini diwarnai kebakaran permukiman, intimidasi, dan teror terhadap warga. Perempuan dan anak-anak menjadi pihak yang paling rentan. Warga Sukahaji yang berjuang mempertahankan tanahnya kemudian ditetapkan sebagai tersangka.

Setelah menjelaskan tragedi tersebut, pemandu meminta peserta mengambil tempelan kertas di bawah kursi mereka dan mengangkatnya ke atas. Kertas tersebut bertuliskan 'Bebaskan seluruh warga Sukahaji' dan 'Lawan kriminalisasi warga Sukahaji'.

"Mungkin tidak perlu terlalu banyak cerita yang perlu disampaikan dalam situs kali ini, sebab keenam warga Sukahaji tersebut masih ditahan dan masih memerlukan solidaritas kita semua," kata pemandu Wisata Keramat.

Wisata ini ditutup dengan penampilan seorang pengamen yang membacakan puisi “Apa Guna” karya Wiji Thukul.

"Apa guna punya ilmu tinggi, kalau hanya untuk mengibuli. Di mana-mana moncong senjata berdiri gagah, kongkalikong dengan kaum cukong...," demikian syair Wiji Thukul.

Baca Juga: Teater Payung Hitam Dilarang Menampilkan Lakon Wawancara Dengan Mulyono, Kebebasan Berekpresi Kampus ISBI Dibungkam
Ketika Teater Gulamsaka Memungut Serpihan Tuhan

Suasana bus Wisata Keramat di Red Raws Center, Pasar Antik Cikapundung, Bandung, Minggu, 14 September 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Suasana bus Wisata Keramat di Red Raws Center, Pasar Antik Cikapundung, Bandung, Minggu, 14 September 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Pengalaman Penumpang Bus

Bus fiktif yang dibawakan dalam teater interaktif ini membutuhkan bahan bakar cerita dari peserta. Jika tidak, bus tidak akan melaju lancar. Di setiap situs yang dilalui, peserta diminta menceritakan pengalaman paling berkesan ketika berinteraksi dengan aparat negara.

Ada peserta yang kena tabrak oleh mobil aparat ketika mereka melintas di salah satu titik di Kota Bandung, ada pula peserta yang mendapatkan intimidasi.

Naufal, salah satu bagian dari Teater Aruslaras menceritakan latar belakang proses penciptaan lakon Wisata Keramat. Lakon ini berawal dari kegelisahan terkait Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). RUU KUHAP mengatur bagaimana proses dan tata cara penegakan hukum pidana. RUU KUHAP memberikan kerentanan atas kesewenang-wenangan aparat dalam melakukan proses penegakan hukum. Padahal RUU KUHAP dekat dengan masyarakat dan dapat menimpa siapa pun.

"Penangkapan sewenang-wenang, penangkapan acak, salah tangkap, segala macam itu banyak terjadi di mana-mana. Siapa pun bisa kena gitu. Kita berangkatnya dari situ," kata Naufal.

Meski KUHAP dekat dengan masyarakat, menurut Naufal isu ini cukup sulit dipahami karena berkaitan erat dengan ilmu hukum. Konsep teatrikal Wisata Keramat ini muncul karena praktik mengkeramatkan sesuatu yang masih umum di Jawa Barat dan usaha untuk mengkomunikasikan sesuatu yang berat dengan cara yang tidak biasa.

"Realitanya memang muram, tapi gimana sih hal yang muram itu nggak selalu pakai cara yang muram. Makannya Wisata Keramat ini kita pilih. Dengan ruang yang tidak konvensional juga ya. Kita merespons lorong-lorong ini, dan terinspirasilah gitu, kita imajinasi travelling keliling ke kasus-kasus yang ada di situs-situs tertentu di Bandung," ungkapnya.

Caca salah satu pengunjung mengapresiasi teater interaktif Wisata Keramat. Melalui cara tersebut, Caca mendapati detail-detail baru dari setiap kejadian di situ-situs yang diceritakan oleh pemandu. Baginya isu yang diangkat dalam kegiatan tersebut penting untuk diketahui dan disadari.

"Kesannya seru sih, karena baru kali ini juga aku ngerasain kayak gini dan ternyata dalam waktu kurang lebih satu jam tadi itu enggak terasa jadinya. Jadi nggak kayak nonton karena kita diajak buat interaksi bareng gitu dan aku pengen hal kayak gini tuh tetap berlanjut," kata Caca.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//