• Berita
  • Ketika Teater Gulamsaka Memungut Serpihan Tuhan

Ketika Teater Gulamsaka Memungut Serpihan Tuhan

Komunitas Teater Gulamsaka mementaskan lakon yang menafsirkan makna Tuhan di Balai Rakyat, Tanjungsari, Sumedang.

Adegan dalam lakon Ekstase, Memungut Serpihan Tuhan garapan Teater Gulamsaka, di Balai Rakyat, Tanjungsari, Sumedang, Sabtu 10 Mei 2025. (Foto: Olivia A. Margareth/BandungBergerak)

Penulis Olivia A. Margareth15 Mei 2025


BandungBergerak.idDi Balai Rakyat, Tanjungsari, Sumedang, sosok-sosok berbincang tentang makna Tuhan. Bukan lewat doktrin atau tafsir agama, melainkan melalui pertunjukan teater berjudul "Ekstase: Memungut Serpihan Tuhan" garapan komunitas Teater Gulamsaka, Sabtu, 10 Mei 2025.

Para aktor Teater Gulamsaka, grup lakon yang berdiri sejak 2010 sebagai ekstrakulikuler di SMA Negeri Tanjungsari, menyajikan pencarian spiritual di atas panggung. Mereka bermain-main dengan absurditas, kontemplasi, dan simbol yang dibalut dalam dinamika pertunjukan yang cair dan tak terduga. Penonton diajak merenung tentang makna Tuhan.

Pertunjukan dibuka dalam kesunyian. Borgir, tokoh utama, hadir di atas panggung dengan kegelisahan yang kaku, seperti terjebak dalam ruang pikirannya sendiri. Ia mencari-cari sesuatu yang tak bisa disentuh, tetapi ingin dirasakan: Tuhan.

Beberapa saat kemudian, sosok Barkan muncul, diiringi alunan musik yang memecah hening. Dalam lakon ini Borgir dan Barkah berperan sebagai pegiat teater.

Terjadilan dialog antara Borgir dan Barkah tentang tentang duka dan bahagia—dua emosi yang kerap dianggap bertolak belakang. Di lakon ini justru dua rasa tak kasat mata itu dipertemukan sebagai pasangan yang saling menggugat dan menguji.

Dialog demi dialog berkembang menjadi refleksi hidup yang tidak tunggal. Mereka berbincang seputar eksistensi, ketakutan, dan kebingungan. Hal ini tercermin dalam ketegangan antara Borgir dan Barkan.

Tapi lakon tidak melulu berkutat pada perdebatan filosofis. Pada satu adegan, setelah Borgir berlatih puisi, tiba-tiba panggung tampak kacau. Asisten sutradara menyela. Kru naik ke atas panggung, memperbaiki lampu pentas, memberi minum aktor, dan merapikan riasan. Semua dilakukan dalam ritme realistis, seolah pertunjukan benar-benar berhenti.

Tapi justru di situ kekuatan lakon ini: menggoyahkan batas antara yang nyata dan yang diperankan.

Tiga menit kemudian, panggung kembali ‘tertata’. Lakon kembali mengalir.

Ketegangan Borgir dan Barkan perlahan mereda. Semula mereka berseberangan, kini menjadi dua tokoh yang saling menerima. Dari percakapan tentang Tuhan dan makna hidup, mereka bergerak menuju penerimaan akan eksistensi masing-masing.

Dalam klimaks pementasan, keduanya bermain “Tuhan-tuhanan”—bukan sebagai bentuk ejekan, melainkan sebuah fragmen ilahi yang hidup dalam batin setiap individu. Di dalam diri manusia tersimpan semangat mencipta, menata, dan memahami.

Pementasan ditutup dengan aliran musik yang tenang, menghantar penonton pada akhir berupa keheningan. Sejurus kemudian para penonton bertepuk tangan.

Ruangan pementasan Balai Rakyat terisi cukup penuh--lakon berdurasi satu jam ini dipentaskan dalam dua sesi terpisah. Para penonton dibagi berdasarkan kategori tiket, tamu undangan duduk bersila di area lantai dekat panggung, sementara penonton reguler menempati deretan kursi di bagian belakang.

Baca Juga: Merenungkan Pancasila dalam Sebuah Teater Musikal
Teater Payung Hitam Dilarang Menampilkan Lakon Wawancara Dengan Mulyono, Kebebasan Berekpresi Kampus ISBI Dibungkam
PROFIL KELUARGA MAHASISWA TEATER ISBI BANDUNG: Masih Pentingkah Ormawa Saat ini?

Adegan dalam lakon Ekstase, Memungut Serpihan Tuhan garapan Teater Gulamsaka, di Balai Rakyat, Tanjungsari, Sumedang, Sabtu 10 Mei 2025. (Foto: Olivia A. Margareth/BandungBergerak)
Adegan dalam lakon Ekstase, Memungut Serpihan Tuhan garapan Teater Gulamsaka, di Balai Rakyat, Tanjungsari, Sumedang, Sabtu 10 Mei 2025. (Foto: Olivia A. Margareth/BandungBergerak)

Kenapa Kita Percaya Tuhan?

Giga Giskia Galindra, sutradara sekaligus pemeran Borgir, menjelaskan bahwa lakon ini lahir dari kegelisahan pribadi yang ternyata juga dirasakan oleh anggota Teater Gulamsaka. “Kenapa kita percaya Tuhan? Kenapa kita hidup seperti ini? Kenapa kita ada,” ungkap Giga, kepada BandungBergerak, usai pementasan.

Menurut Giga, ekstase dalam lakon ini bukan dalam pengertian mistik, tapi sebagai puncak kontemplasi. “Biasanya ekstase itu diartikan sebagai kondisi transenden. Tapi kami menemukan ekstase itu justru di teater, saat kami membahas kamar yang ada dalam diri kita sendiri. Dan puncaknya, ejakulasinya, ya ketika pentas,” jelasnya.

Meski mengangkat tema spiritual dan filsafat, lakon ini tetap menyisakan ruang untuk keakraban khas generasi muda. Humor-humor populer muncul sesekali—salah satunya ketika tokoh meniru gaya “Kak Gem” sambil mengucap “Paham?!”, merujuk pada meme yang banyak beredar di media sosial. Di sinilah kekuatan Teater Gulamsaka: menyuguhkan tema berat tanpa kehilangan relevansi budaya pop yang dekat dengan audiensnya.

Pementasan ini tidak menawarkan kesimpulan. Tidak ada ajakan untuk percaya atau menyangkal. Sebaliknya, ia membuka ruang untuk bertanya, merenung, dan menemukan. Dalam masyarakat yang hari ini begitu akrab dengan teknologi digital dan banjir informasi, di mana pertanyaan tentang iman tidak lagi tabu, lakon ini terasa relevan.

Giga tidak memosisikan lakon ini sebagai kritik terhadap agama. Baginya, semua agama mengajarkan hal-hal baik. “Aku kira nggak berpengaruhlah orang agamanya apa. Tapi kita semua harus jadi orang baik,” tukasnya.

Giga berharap semua orang bisa bahagia, baik yang beragama ataupun tidak. “Tapi aku percaya bahwa Tuhan itu ada di masing-masing orang dan bersemayam di setiap jiwa dan pikiran,” ucapnya.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lainnya tentang KOMUNITAS ATAU TEATER dalam tautan tersebut 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//