Rekomendasi Rhizoma Indonesia untuk Asian Development Bank, Investor yang Akan Mempensiunkan PLTU Cirebon 1
Program transisi energi dinilai mengesampingkan nelayan kecil, pencari kerang, petambak, dan petani sebagai pihak yang terdampak langsung PLTU batu bara.
Penulis Awla Rajul10 Oktober 2025
BandungBergerak - Rhizoma Indonesia menyerahkan dokumen kebijakan (policy brief) kepada Asian Development Bank (ADB), Rabu, 13 Agustus 2025 lalu. Rekomendasi kebijakan bertajuk “Bisnis Energi ADB Berkedok Mekanisme Transisi Energi Berkeadilan” itu mendokumentasikan kelemahan proyek Enegy Transition Mechanism (ETM) untuk memensiunkan operasional PLTU Cirebon 1 dengan pemberian pinjaman senilai 325 juta USD.
Rhizoma merangkum beberapa hal, di antaranya seputar mekanisme transisi energi berkeadilan yang cacat melakukan penilaian awal dampak lingkungan, analisis sosial dan kemiskinan yang cacat, partisipasi publik dan potensi konflik, tidak ada pensiun dini PLTU batu bara dalam kebijakan transisi energi Indonesia, dan lemahnya keterlibatan dan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan kelayakan lingkungan.
Rekomendasi kebijakan ini disusun dengan menelaah dokumen-dokumen ADB, kebijakan Indonesia, dan wawancara dengan masyarakat terdampak PLTU Cirebon 1, yaitu Kanci Kulon, Waruduwur, dan Citemu. Rhizoma Indonesia menemukan, masyarakat dari tiga wilayah ini merasakan dampak kehilangan akses atas sumber daya laut dan pesisir yang berdampak pada kurangnya penghasilan bahkan kehilangan mata pencaharian.
“Sayangnya, proses penilaian awal transisi energy berkeadilan (ETM) yang dilakukan ADB sepanjang tahun 2023-2024 tidak mengakui dan mengesampingkan nelayan kecil, pencari kerang, petambak kerang hijau, petani, dan petambak garam sebagai pihak yang terdampak langsung,” mengutip rekomendasi kebijakan Rhizoma Indonesia yang ditulis oleh Dany Setiawan dan Wahyu Widiarto.
Warga Cirebon yang terdampak PLTU memiliki sejarah panjang penolakan, sejak 2007 ketika rencana pembangunan PLTU unit 1, hingga penolakan ekspansi PLTU unit 2. Warga terdampak pernah diundang oleh ADB untuk sosialisasi dan informasi awal mekanisme transisi energy ADB yang dilaksanakan pada 13-15 Juli 2024. Beberapa warga yang diwawancara Rhizoma, mengaku tidak mendapatkan penjelasan secara rinci mengenai proyek ETM.
Hasil wawancara Rhizoma Indonesia menunjukkan, tidak satu pun dari masyarakat mengetahui rencana mekanisme transisi energi Asian Development Bank. Mereka tidak tahu apakah PLTU Cirebon 1 akan dipensiunkan sepenuhnya atau dimanfaatkan kembali menggunakan bahan bakar pengganti.
“Dalam bayangan sebagian masyarakat, rencana pensiun dini berarti PLTU akan dihentikan dan dilakukan restorasi atau dikembalikan seperti semula. Hasil survey yang kami lakukan mengungkapkan keinginan masyarakat pasca-penghentian, ada dari mereka yang berharap bekas PLTU nantinya dijadikan tempat wisata, pemancingan, bahkan usaha yang membuka lapangan kerja baru yang tidak merusak lingkungan,” tulis Rhizoma Indonesia.
Masyarakat terdampak PLTU Cirebon sudah melakukan berbagai upaya, mulai audiensi, melayangkan surat keberatan, hingga aksi demonstrasi di lokasi proyek maupun kantor pemerintahan. Rhizoma menyatakan, mempertimbangkan catatan sejarah konflik dan penolakan PLTU batubara masa lalu dan analisis potensi konflik ke depan, seharusnya keterlibatan dan konsultasi dengan masyarakat dilakukan secara terbuka dan bermakna.
Rhizoma Indonesia merekomendasikan, keputusan membiayai proyek pensiun dini PLTU batubara Cirebon 1 sebaiknya dilakukan dengan melibatkan seluruh pihak terdampak. ADB juga harus memastikan penilaian keseluruhan setelah adanya kepastian opsi dan analisis dampak dari opsi pensiun dan pemanfaatan kembali.
Absen Kebijakan Pensiun Dini
Di samping itu, Rhizoma Indonesia menilai absennya skema pensiun dini PLTU batu bara dalam kebijakan transisi energi Indonesia. Ini menjadi soal lantaran sebagai aturan yang mengikat, agar pemerintah menjalankan mandat dari regulasi. Kebijakan yang terbaru seputar energy, yaitu Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2025 dan Peraturan Menteri No. 10 tahun 2025 tentang Peta Jalan Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan tidak memuat skema pensiun dini PLTU.
Rhizoma menilai, dalam rancangan kebijakan energi nasional, strategi transisi energi Indonesia untuk mengurangi energi fosil banyak menggunakan “solusi palsu”, seperti pemanfaatan Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture Storage Utilities (CCSU). Strategi kebijakan utama dekarbonisasi RUKN 2025 pun tidak memuat peta jalan percepatan pengakhiran masa operasional PLTU batubara.
Strategi pencapaian target dekarbonisasi di dalam RUKN 2025 menggunakan pendekatan seperti co-firing, fuel switching biomassa, ammonia, dan implementasi teknologi pembangkit seperti retrofitting dan CCS. Adapun Permen No. 10 Tahun 2025 hanya berisi tahapan implementasi kebijakan strategi transisi energi dan dekarbonisasi dalam rancangan peraturan pemerintah tentang kebijakan energi nasional (RPP KEN) dan RUKN 2025.
“Tidak ada pensiun dini PLTU dan peta jalan percepatan pengakhiran masa operasional PLTU batubara secara bertahap dalam kebijakan energi di Indonesia,” mengutip rekomendasi kebijakan Rhizoma Indonesia.
Baca Juga: Rhizoma Indonesia Beraudiensi dengan ADB Membahas Masyarakat Terdampak PLTU Cirebon 1
PLTU Batu Bara Memperparah Dampak Krisis Iklim, Studi Kasus di Indramayu
Cacat Analisis Dampak Lingkungan, Sosial, dan Kemiskinan
Asian Development Bank membagi empat tahap proses transisi berkeadilan untuk PLTU Cirebon 1 sebagai pendekatan untuk menghindari dampak. Tahap pertama fokus pada proses transaksi dan menargetkan “financial close” (2023-2024); Tahap kedua melakukan penilaian implikasi transisi yang adil dari opsi pemanfaatan kembali dalam studi kelayakan teknis dan pengumpulan data lanjutan (2024-2030).
Tahap ketiga melakukan identifikasi dan analisis dampak opsi penghentian operasional atau pemanfaatan kembali dan bahan bakar pengganti dengan pemerintah, penyusunan rencana transisi berkeadilan, konfirmasi dan konsultasi dengan pemangku kepentingan utama (2030-2032); tahap keempat implementasi proses transisi berkeadilan pasca berakhirnya perjanjian jual beli listrik (2033 ke depan).
Rhizoma Indonesia menyorot secara kritis pendekatan ADB di tahap pertama yang fokus pada transaksi dan target financial close. ADB memang menyatakan tidak akan melakukan detail penilaian dampak di tahap pertama, karena belum ada kepastian opsi untuk pemensiunan pemanfaatan kembali dan bahan bakar pengganti.
“Namun ADB telah menetapkan kategori B untuk perlindungan lingkungan proyek percontohan mekanisme transisi energy Cirebon berdasarkan hasil laporan penilaian kepatuhan lingkungan dan sosial Cirebon Energi Power (CEP),” tulis Rhizoma.
Kategori B artinya potensi dampak lingkungan merugikan terbatas dan bersifat spesifik lokasi. Sementara kategori A memiliki dampak lingkungan merugikan signifikan dan mempengaruhi dampak yang lebih luas. Rhizoma menyatakan, harusnya kategorisasi perlindungan lingkungan ini ditetapkan setelah adanya penetapan opsi penonaktifan atau pemanfaatan kembali.
CEP direkomendasikan untuk menilai dampak lingkungan dan sosial terkait penghentian operasional PLTU serta langkah mitigasinya yang dituangkan dalam rencana ETM. Jika tidak ditangani maka berpotensi menjadi masalah berisiko tinggi. Demikian pula terhadap opsi penggantian bahan bakar. Penting pula untuk mengidentifikasi dan menganalisis dampak lingkungan dan sosial secara terperinci berdasarkan pilihan teknologi dan bahan bakar pengganti sebagai pertimbangan kategorisasi perlindungan lingkungan.
Selain itu, ADB juga menargetkan financial close di tahap pertama ini. Sayangnya tahap penilaiannya dibatasi dan hanya fokus pada pemangku kepentingan yang terdampak langsung dari pension PLTU, seperti para pekerja dan pemasok. Sementara kelompok rentan dan terpinggirkan, masyarakat terdampak PLTU seperti nelayan, pencari kerang, keramba kerang hijau dan petani sebagai pemangku kepentingan utama tidak diidentifikasi sebagai pihak yang terhadap proses transaksi.
Karena itulah Rhizoma Indonesia merekomendasikan penundaan financial close tidak dilakukan dan perlu dilakukan penilaian ulang. Jika tidak dilakukan, Rhizoma memprediksi proyek ini akan memperburuk dampak perubahan iklim, melanggengkan kemiskinan struktural, dan mempertajam ketimpangan sosial yang terjadi.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB