• Lingkungan Hidup
  • PLTU Batu Bara Memperparah Dampak Krisis Iklim, Studi Kasus di Indramayu

PLTU Batu Bara Memperparah Dampak Krisis Iklim, Studi Kasus di Indramayu

PLTU berbasis batu bara menghasilkan emisi karbon dalam jumlah sangat besar, menyumbang krisis iklim.

Plang penanda di lahan PSN eks area PLTU Indramayu 2 yang urung dibangun di Desa Mekarsari Kecamatan Patrol, Indramayu, 22 Desember 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Penulis Iman Herdiana3 Juli 2025


BandungBergerak.idPembangunan dan operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara mengundang kritik keras terkait pengabaian prinsip kehati-hatian dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup. Meski membawa janji penyediaan listrik nasional, proyek ini dinilai memperparah kerusakan lingkungan dan mempercepat krisis iklim global.

Mengapa PLTU batu bara bisa memperparah krisis iklim? Dokumen Memadamkan Bara: Kepak JATAYU Menghalau PLTU di Desa Mekarsari, Indramayu dari WALHI Jawa Barat menyebutkan bahwa PLTU berbasis batu bara menghasilkan emisi karbon dalam jumlah sangat besar.

Dokumen ini merupakan hasil studi kasus pada PLTU Indramayu 1 x 1000 MW. Data menunjukkan bahwa PLTU Jawa Barat 1 yang berkapasitas 3 x 330 MW menghasilkan sekitar 4,44 juta ton karbon per tahun.

Emisi karbon yang terus dikeluarkan ke atmosfer menjadi salah satu penyebab utama pemanasan global dan perubahan iklim yang berdampak pada kondisi cuaca ekstrim, naiknya permukaan laut, dan bencana alam yang makin sering terjadi. PLTU batu bara dianggap sebagai salah satu kontributor terbesar krisis iklim yang sedang berlangsung.

Selain karbon dioksida, dokumen tersebut mencatat, PLTU juga menghasilkan berbagai polutan berbahaya seperti sulfur dioksida (SOx), nitrogen oksida (NOx), dan partikulat halus (PM10 dan PM2.5). Polutan ini berkontribusi terhadap pencemaran udara yang berdampak buruk pada kesehatan masyarakat sekitar, terutama anak-anak dan lansia.

Temuan studi kasus ini menyebutkan, dalam dokumen AMDAL PLTU Indramayu, cerobong asap dirancang setinggi lebih dari 200 meter untuk mengurangi konsentrasi polutan di permukaan. Namun, data dan observasi lapangan yang dikumpulkan oleh WALHI menunjukkan bahwa pencemaran tetap terjadi, terutama abu batu bara yang terbawa angin dan menempel pada permukaan tanaman dan rumah warga.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius tentang efektivitas pengelolaan lingkungan dalam proyek PLTU. WALHI menilai bahwa prinsip kehati-hatian dan asas keberlanjutan lingkungan tidak diterapkan secara optimal.

“Pemerintah dan perusahaan tampak lebih mengutamakan aspek teknis dan ekonomi tanpa memperhatikan dampak lingkungan dan sosial secara menyeluruh,” demikian temuan WALHI.

Proyek ini juga dinilai mengabaikan hak masyarakat untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat. Warga Desa Mekarsari dan sekitarnya, yang merupakan permukiman di sekitar PLTU, telah mengalami dampak langsung berupa gangguan kesehatan pernapasan, kerusakan lahan pertanian, dan penurunan kualitas hidup secara umum. Namun, suara mereka sering kali diabaikan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan proyek.

Pemerintah melalui program listrik nasional 35.000 MW tetap memprioritaskan PLTU batu bara sebagai sumber utama energi, meskipun ada risiko besar terhadap lingkungan dan kesehatan. WALHI dan berbagai organisasi lingkungan menyerukan agar pemerintah mengubah kebijakan energi menuju energi bersih dan terbarukan yang lebih ramah lingkungan dan berkeadilan.

Baca Juga: Dampak Buruk PLTU Batu Bara pada Lingkungan dan Manusia, Mencemari Udara dan Habitat Alami
Mempertanyakan Sejauh Mana Ketaatan Pengelola PLTU dalam Menjalankan Perlindungan Lingkungan Hidup

Dampak buruk PLTU batu bara ini bukan hanya persoalan lokal. Emisi yang dihasilkan berkontribusi pada krisis iklim global yang mempengaruhi seluruh umat manusia. Dengan demikian, pembangunan PLTU harus mempertimbangkan konsekuensi ekologis jangka panjang, bukan hanya kebutuhan energi sesaat.

Warga Desa Mekarsari melalui Jaringan Tanpa Asap Batu Bara Indramayu (JATAYU) terus mengingatkan bahwa pembangunan yang mengabaikan prinsip kehati-hatian lingkungan adalah pembangunan yang merugikan rakyat dan masa depan bangsa. Mereka menuntut agar pembangunan energi yang berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan menjadi prioritas.

Sementara itu, baru-baru ini pemerintah meresmikan sejumlah proyek strategis di bidang ketenagalistrikan di Indonesia dengan 3,2 Gigawatt (GW). Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyampaikan, dari total 3,2 GW pembangkit yang diresmikan, sebagian besar atau 89 persen bersumber dari energi bersih, yakni gabungan dari energi terbarukan dan gas. Pembangunan pembangkit energi bersih dilakukan sebagai upaya transisi energi.

"Dari total 3,2 gigawat tersebut 89 persen itu adalah energi bersih. Ini adalah gabungan antara gas kemudian energi terbarukan. Kenapa ini kita lakukan secara terus menerus? Karena ini dalam rangka menerjemahkan apa yang menjadi komitmen Pak Presiden baik dari dalam negeri maupun luar negeri untuk Indonesia melakukan transisi energi dari energi fosil PLTU kepada energi baru terbarukan," ungkap Bahlil, dalam keterangan resmi.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//