• Berita
  • Warga Bandung Diajak Berkebun di Lahan Tidur dan Teras Rumah untuk Mengurangi Dampak Ketergantungan Pangan

Warga Bandung Diajak Berkebun di Lahan Tidur dan Teras Rumah untuk Mengurangi Dampak Ketergantungan Pangan

Bandung kota konsumen. Lebih dari 97 persen kebutuhan pangannya dipenuhi dari luar kota.

Lokakarya yang diselenggarakan Urban Futures di Teras Gloya, Kota Bandung, Kamis, 9 Oktober 2025. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam10 Oktober 2025


BandungBergerakKetergantungan Kota Bandung terhadap pasokan pangan dari luar daerah terus menjadi persoalan krusial. Dengan lebih dari 97 persen kebutuhan pangannya dipenuhi dari luar kota, harga bahan pokok di Bandung cenderung tinggi karena beban distribusi yang harus ditanggung konsumen.

Untuk mengurangi ketergantungan ini, komunitas Majelis Simpang Muda (MSM) mendorong kemandirian pangan warga dengan cara memanfaatkan ruang-ruang kosong, mulai dari lahan tidur hingga teras rumah. Inisiatif ini menjadi gerakan kolektif orang muda yang peduli terhadap sistem pangan yang adil, sehat, dan berkelanjutan.

Salah satu anggota MSM, Said Rendika, pemuda asal Bandung Selatan, memanfaatkan lahan tidur di bawah jembatan tol dan rel kereta cepat sebagai kebun hortikultura. Lahan seluas 980 meter persegi itu dulunya terbengkalai dan menjadi sarang hewan liar, seperti tikus dan ular. Kini, ia mengubahnya menjadi sumber pangan yang produktif.

“Daripada tidak terpakai lagi, nanti menimbulkan banyak hewan-hewan liar, lebih baik kami pergunakan lagi,” ujar Said, di sela-sela lokakarya yang diselenggarakan Urban Futures di Teras Gloya, Kota Bandung, Kamis, 9 Oktober 2025.

Kebun yang diberi nama Kebun Tepi Kota itu menghasilkan beragam tanaman seperti singkong, kacang tanah, dan jagung. Setiap minggu, Said bisa memanen hingga 50 kilogram hasil kebun, yang sebagian besar dikonsumsi sendiri dan dibagikan ke tetangga. Sisanya ia jual ke komunitas seperti Seni Tani.

“Karena kan memang kebunnya bukan kebun milik kami ya, kebun pemerintah jadi biar bisa masyarakat juga menikmati,” terangnya.

Selain itu, Said juga menekankan pentingnya pangan sehat. Dengan memproduksi pangan sendiri, ia jadi tidak takut dengan paparan pukuk kimia dan sejenisnya.

“Kami yang makan, kami tahu cara ngelolanya, karena semuanya organik,” jelasnya.

Melalui komunitas Majelis Simpang Muda, Said berharap bisa memperluas jejaring dan mengajak lebih banyak orang muda untuk terlibat dalam pertanian kota.

“Jadi saya berharap kepinginnya dengan masuk ke sini, saya bisa ketemu anak muda yang memang punya ide gagasan yang sama dan mengajak anak muda untuk bertani,” harapnya.

Lokakarya yang diselenggarakan Urban Futures di Teras Gloya, Kota Bandung, Kamis, 9 Oktober 2025. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)
Lokakarya yang diselenggarakan Urban Futures di Teras Gloya, Kota Bandung, Kamis, 9 Oktober 2025. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Bertani di Teras Rumah

Tak hanya di lahan terbuka, kemandirian pangan juga bisa dimulai dari rumah. Andri Fitriyadi, pemuda 24 tahun, memilih cara bertani dengan sistem hidroponik di teras rumahnya.

“Karena ketika hidroponik kan pangannya sehat, sayuran yang hidroponik juga sehat,” terangnya.

Saat ini ia rutin menanam pakcoy dan kangkung, dengan hasil panen sekitar 5 kilogram setiap bulan. Selain untuk kebutuhan sendiri, ia juga membagikannya kepada tetangga.

Sebagai bagian dari komunitas Majelis Simpang Muda, Andri juga ingin menginspirasi anak muda lain untuk memulai langkah kecil dari rumah.

“Harapan saya pastinya Majelis Simpang Muda bisa menjadi motor penggerak dan menjadi inspirasi juga bisa menjadi wadah-wadah kita semua untuk melaksanakan inisiatif tentang sistem pangan di Kota Bandung,” terangnya.

Kota Konsumen dengan Tantangan Lahan

Data Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kota Bandung menyebutkan, hanya sekitar 702 hektar atau 4 persen wilayah kota yang masih berupa lahan sawah. Angka ini terus menyusut setiap tahun akibat pembangunan. Padahal, jumlah penduduk terus bertambah, memperbesar kebutuhan pangan.

Kondisi ini menjadikan Bandung sebagai kota konsumen, dengan harga pangan yang cenderung lebih tinggi. Misalnya, harga bawang putih di Kota Bandung tercatat 37.167 rupiah per kilogram, naik 2,5 persen dari hari sebelumnya. Sementara di Kabupaten Bandung, harganya justru turun menjadi 32.000 rupiah.

Menurut Laily Himayati dari Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial, tingginya harga pangan tak lepas dari sistem distribusi yang tidak berkeadilan. Konsumen di Kota Bandung menanggung beban distribusi. Maka, diperlukan upaya memperpendek rantai pasokan dari produsen ke konsumen

“Itulah kenapa kita perlu memperjuangkan untuk sistem pangan yang lebih pendek menuju tingkatkan dari produksi ke konsumsi,” ujar Laily.

Laily yang juga aktivis lingkungan menambahkan bahwa krisis iklim turut memperparah situasi.

“Kalau iklimnya makin berat, makin susah, memproduksi pangan juga makin susah,” terangnya.

Baca Juga: Bandung Krisis Produksi Pangan, 97 Persen Suplai dari Luar di Saat Ruang Terbuka Hijau Terus Menyusut
MBG Memicu Kekhawatiran Orang Tua, Negera Didesak Melindungi dan Memulihkan Korban Keracunan Massal

Majelis Simpang Muda, Gerakan Kolektif Orang Muda

Majelis Simpang Muda (MSM) hadir sebagai upaya mengatasi persoalan sistem pangan di Bandung. Nama “Simpang” sendiri merupakan singkatan dari “sistem pangan”. Komunitas ini menjadi ruang kolaborasi anak-anak muda yang bergerak di bidang produksi, distribusi, konsumsi, pengolahan pangan, hingga pengelolaan limbah.

Pipih Puspita Dewi dari Bandung Independent Living Center (Bilic), organisasi pendampingan untuk kawan difabel, menjelaskan MSM menjadi wadah strategis untuk memperjuangkan sistem pangan yang berkelanjutan dan inklusif.

“Nah, kalau dari saya perwakilan di tim advokasi Bilic tentu saja saya menyuarakan hak-hak disabilitas untuk mengakses pangan yang layak,” jelasnya.

Ia mencontohkan, Bilic kini sedang memperjuangkan aksesibilitas pasar bagi difabel. Selama ini banyak pasar yang tidak ramah bagi difabel. Dengan bergabung di MSM, ia ingin suara kawan difabel lebih didengar pemerintah.

“Kalau satu orang mungkin tidak terlalu didengar, tapi kalau mungkin bentuknya majelis bisa kan diperhatikan sama pemerintah gitu,” ungkap Pipih.

Menurut Pipih, meskipun Bandung disebut sebagai kota konsumen, masyarakat tetap punya potensi menjadi produsen. “Kalau pasokan luar terganggu, kita bisa kelimpungan. Karena itu, kemandirian pangan penting,” tegasnya.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//