Bandung Krisis Produksi Pangan, 97 Persen Suplai dari Luar di Saat Ruang Terbuka Hijau Terus Menyusut
Kota Bandung harus bisa mengoptimalkan sistem pangan berkelanjutan untuk bisa memenuhi kebutuhan masyarakat. Untuk mendukung pertumbuhan dan kesehatan masyarakat.
Penulis Yopi Muharam26 April 2025
BandungBergerak.id - Ketahanan pangan menjadi tantangan serius bagi Kota Bandung. Dengan luas wilayah yang terbatas dan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, kota ini hanya mampu memproduksi 3 hingga 4 persen dari total kebutuhan pangannya. Sisanya, sekitar 97 persen, disuplai dari luar kota.
Kondisi ini diperburuk oleh alih fungsi ruang terbuka hijau menjadi bangunan beton. Pembangunan yang masif menggerus lahan pertanian yang tersisa, mengakibatkan produktivitas petani kota kian menurun.
Situasi ini menjadi latar belakang digelarnya lokakarya “Orang Muda Peduli Sistem Pangan Kota Bandung Menjadi Agen Perubahan Lestari”, yang diselenggarakan oleh Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Kota Bandung bekerja sama dengan Humanis Urban Futures, Article 33, CRPG, dan Sinergantara. Acara yang digelar di Grand Arjuna Hotel, Kamis 24 April 2025 ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat—khususnya orang muda—tentang pentingnya sistem pangan berkelanjutan.
Kinan Kamilia, peneliti dari Article 33, menyampaikan fakta mengejutkan soal rendahnya produksi pangan Kota Bandung. Kota Bandung yang mampu produksi pangan sebesar 3-4 persen tidak akan cukup untuk memenuhi masyarakat. Ia juga menyoroti minimnya pemahaman masyarakat tentang sistem pangan dan pentingnya mengetahui asal-usul makanan yang dikonsumsi.
Dengan demikian, masyarakat tidak asal konsumsi yang nantinya berdampak pada kesehatan atau bahkan terjadinya pemborosan pangan atau food waste (sampah makanan). Masalah food waste pun menjadi sorotan tersendiri.
Data Pemerintah Kota Bandung mencatat, timbulan sampah harian mencapai 1.594,18 ton. Dari jumlah tersebut, 44 hingga 52 persen merupakan sampah sisa makanan. Sampah tersebut dihasilkan kota berpenduduk 2.530.448 jiwa (data Pemprov Jawa Barat 2022).
Maka dari itu, kata Kinan, masyarakat harus bisa membuat rencana dalam membeli produk atau bahan makanan untuk bisa dikonsumsi. Perencanaan konsumsi sangat penting untuk menekan volume sampah rumah tangga.
“Jadi nanti kan ketika teman-teman menghabiskan makanan tersebut sudah berkontribusi banyak terhadap pengurangan sampah pangan,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya mendukung petani lokal dan memperpendek rantai distribusi pangan. “Dan juga memilih makanan yang lebih rendah emisi,” tambahnya. “Jadi mulai dari kalian juga bisa melihat perencanaan diri mau makan apa.”
Mandradhitya Kusuma Putra, akademisi Poltekpar NHI Bandung sekaligus seorang juru masak, turut mengungkapkan bahwa banyak bahan makanan yang digunakan di Bandung berasal dari luar daerah.
“Saya kalau terjun langsung dan melihat memang brand-brandnya terutama bahan-bahan yang dipakai itu semua dari ya ada import,” ujarnya.
Ia menilai, ketergantungan ini harus diimbangi dengan perencanaan jangka panjang sistem pangan demi keberlanjutan. “Anak cucu kita nanti harus merasakan apa yang kita rasakan,” katanya.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencerminkan betapa cepatnya penyusutan lahan pertanian di Kota Bandung. Pada 2003, luas lahan sawah masih 2.104 hektare. Namun pada 2017 menyusut drastis menjadi 725 hektare, dan kembali berkurang menjadi 702 hektare pada 2024.
Penyusutan ini disebabkan alih fungsi lahan pertanian menjadi permukiman dan bangunan komersial. Akibatnya, para petani kota kehilangan lahan produksi, sementara kebutuhan pangan warga terus meningkat.
Baca Juga: Sistem Pangan Lokal, Alternatif Melawan Dominasi Sistem Pangan Globa
Menciptakan Ketahanan Pangan dengan Bioteknologi, Berkah atau Musibah?
Jawa Barat Menghadapi Kelangkaan Petani Pangan
Gerakan Akar Rumput
Di tengah keterbatasan tersebut, muncul gerakan akar rumput seperti komunitas Seni Tani yang berupaya menghidupkan kembali pertanian kota. Komunitas ini memanfaatkan lahan tidur di kawasan Arcanamik untuk ditanami hortikultura.
Vania Febriayantie, penggagas komunitas Seni Tani, mengungkapkan kegelisahannya melihat ruang terbuka hijau semakin sempit.
“Di sisi lain ruang terbuka hijau yang rendah otomatis untuk kita bertani, bercocok tanam, itu kan enggak ada wadahnya,” katanya.
Vania menyebut Seni Tani lahir dari kegelisahan orang-orang muda Kota Bandung terhadap keterputusan masyarakat dengan alam dan sumber makanannya. Komunitas ini mengubah lahan-lahan tidur menjadi kebun produktif sebagai upaya menjawab keterbatasan pangan kota. Baginya, lahan sempit sekalipun bisa memberi manfaat jika dimanfaatkan secara bijak.
“Karena kami merasa bahwa tanah itu bukan hanya sekedar yang kita injak tapi mereka adalah sumber kehidupan,” tegasnya. “Dan kita anti banget untuk memberikan hal-hal yang meracuni tanah tersebut karena dari tanah adalah sumber kehidupan kita.”
Kesadaran generasi muda akan pentingnya sistem pangan yang berkelanjutan juga ditekankan oleh Eddy Marwoto, Kepala Dispora Kota Bandung. Ia mendorong pemanfaatan ruang sempit di lingkungan warga untuk dijadikan kebun vertikal. “Tapi kalau itu sudah ada tingkat kesadaran masyarakat untuk menciptakan itu, saya rasa tidak jadi alasan dengan lahan pertanian terbatas,” katanya.
Ia juga menyoroti besarnya kontribusi sektor kafe, restoran, dan hotel terhadap volume sampah organik. “Sehingga ini juga bisa menciptakan cadangan pangan dan mengurangi pemborosan makanan terutama di kafe-kafe,” jelas Eddy.
Tantangan ketahanan pangan Kota Bandung tidak hanya soal produksi, tetapi juga soal kesadaran, kebijakan ruang, dan perubahan pola pikir masyarakat. Jika ruang hijau terus hilang dan ketergantungan pada suplai luar kota dibiarkan, krisis pangan bukan lagi ancaman masa depan, melainkan kenyataan yang semakin dekat.
*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Yopi Muharam, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Pangan