• Kampus
  • Menciptakan Ketahanan Pangan dengan Bioteknologi, Berkah atau Musibah?

Menciptakan Ketahanan Pangan dengan Bioteknologi, Berkah atau Musibah?

Bandung dan daerah lain di Indonesia menghadapi krisis harga beras. Rekayasa genetik atau bioteknologi diyakini bisa mendukung ketahanan pangan.

Warga menjemur padi dari sawah yang dilanda kekeringan di Rancaekek, Rabu, 11 Oktober 2023. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah22 Februari 2024


BandungBergerak.id – Krisis harga beras yang terjadi baru-baru ini menunjukkan ketahanan pangan Indonesia dalam posisi rapuh. Banyak faktor yang menyebabkan harga pangan melambung, antara lain tata kelola pertanian dan hasil panen yang masih bermasalah.

Belum lagi dengan sejumlah tantangan yang berdampak pada merosotnya produksi pertanian, mulai dari perubahan iklim hingga bencana alam. Mengantisipasi stok ketersedian pangan ini memerlukan pendekatan sains, salah satu yang ditawarkan ilmuwan adalah bioteknologi atau rekayasa genetik.

“Salah satu metode untuk untuk memuliakan atau memperbaiki tanaman atau membuat varietas baru itu adalah bioteknologi dan salah satu di dalamnya adalah rekayasa genetik,” ujar Guru Besar Fakultas Pertanian Univeristas Padjadjaran (Unpad) Suseno Amien, dikutip dari laman resmi, diakses Kamis, 22 Februari 2024. 

Pakar bidang pertanian ini menyebutkan, rekayasa genetik dapat menentukan kandungan spesifik dan sifat tanaman. Mereka bisa tumbuh untuk menghadapi perubahan cuaca, buahnya tidak gampang busuk, serta ukuran yang lebih besar. Metode rekayasa genetik sendiri bisa menjadi prototype tanaman spesifik masa depan. Namun, penetapan kebutuhan karakter baru, ketersediaan sumber gen, dan transfer metode gen harus juga disesuaikan.

Selain itu, penting juga adanya SOP produksi tanaman berbasis rekayasa genetik dan mitigasi risiko. Tingkat keamanan pangan dari hasil rekayasa genetik ini tidak akan menimbulkan bahaya selama proses penciptannya dijalani dengan prosedur yang benar.

Bioteknologi juga tidak boleh melupakan faktor lingkungan. Indonesia memiliki keragaman geografis yang sangat kaya dengan faktor spesifik yang membuat setiap daerah menjadi unik. Hal tersebut menjadi keunggulan dari setiap tanaman yang ada.

“Saya kira teman-teman (di bidang) pertanian kita juga menyadari bahwa wilayah itu sangat berbeda, spesifik, itu yang harus kita pertahankan dan itu menjadi keunggulan yang tidak bisa digantikan,” jelas Suseno.

Baca Juga: Mahasiswa UPI KKN di Bidang Pertanian, IPB Luncurkan 22 Website UMKM
Sektor Pertanian Jawa Barat Dianaktirikan Pembangunan, semakin Terpuruk karena Kekeringan
Sistem Pangan dan Pertanian Indonesia Semakin Rentan, Akses Warga Kian Menciut

Bioteknologi dan Rekayasa Pangan di Indonesia

Rekayasa genetik pangan merupakan ilmu modifikasi melibatkan genetik tumbuhan dan hewan. Penilisi dari Fakultas Teknik Kimia Universitas Diponegoro Semarang Alice Pramashinta, Listiyana Riska, dan Hadiyanto dalam jurnalnya “Bioteknologi Pangan : Sejarah, Manfaat, dan Potensi Risiko” mengguaraikan secara panjang dan detail rekayasa pangan ini.

Aplikasi teknik biologis untuk menghasilkan tanaman pangan, hewan, dan mikroorganisme yang disebut bioteknologi ini dibuat dengan tujuan meningkatkan sifat, kualitas, keamanan, dan kemudahan pada proses serta produksi makanan.

“Rekayasa genetik digambarkan sebagai ilmu di mana karakteristik suatu organisme yang sengaja dimodifikasi dengan manipulasi materi genetik, terutama DNA dan transformasi gen tertentu untuk menciptakan variasi yang baru,” jelas Alice dkk, dalam Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan Vol 3 No.1 2014, diakses Kamis, 22 Februari 2024.

Memanipulasi DNA serta memindahkannya dari satu organisme ke organisme lain memungkinkan untuk memasukkan sifat dari hampir semua organisme baik pada tanaman, bakteri, virus, atau hewan. Banyak tanaman pangan yang tumbuh dari rekayasa genetik untuk kekebalan terhadap herbisida, virus, serangga, dan penyakit.

Rekayasa ini sudah biasa terjadi di negara maju. Lebih dari setengah makanan di Amerika Serikat diolah dengan makanan hasil rekayasa genetik.

Sejarah awal mula bioteknologi, kata Alice dkk, dimulai dengan ferementasi seperti wine, roti, atau keju. “Baik pemanasan makanan dan aplikasi fermentasi menghasilkan peningkatan signifikan pada keamanan dan kualitas pangan,” jelasnya.

Proses frementasi ini terbilang tradisional untuk meningkatkan daya simpan hasil pertanian. Di negara berkembang seperti Indonesia makanan dan minuman fermentasi banyak sekali jenisnya tapi di Amerika dan Eropa sistem frementasi tidak digunakan lagi.

“Tren ini tidak berlangsung lama, lebih banyak orang dan perusahaan makanan tertarik pada makanan alami dan tradisional. Industri makanan dan minuman terus mengalami inovasi untuk memenuhi daya tahan dan kealamiannya,” tuturnya.

Cara fermentasi sendiri relatif mudah dan bisa meningkatkan vitamin pada makanan dan minuman. Aplikasi ini dilakukan juga pada produk peternakan dan pertanian agar meningkatkan secara alami. Di beberapa negara fermentasi digunakan untuk mencegah obesitas.

“Fermentasi akan mengurangi kalori dengan mengkonversi gula menjadi asam organik atau etanol, meskipun maksimum kalori yang dapat dikurangi tidak dapat lebih dari 25 persen,” tulis Alice dkk.

Alice dkk menjelaskan, hampir tidak ada produk makanan yang beredar di supermarket tidak dihasilkan dari hasil kemajuan teknologi. Contohnya, para petani sudah terbiasa melakukan perkembangbiakan tanaman melalui pembibitan silang tanaman dan hewan dengan maksud untuk meningkatkan atribut tertentu.

Namun penyilangan pembibitan dengan teknologi tradisional ini membutuhkan waktu 20 tahun supaya bisa menghasilkamn varietas baru yang komersial.

Pertama kali, makanan hasil rekayasa genetik muncul di pasaran pada tahun 1967 dengan ditemukannya varietas kentang baru yang disebut Lanape. Kentang ini memiliki kandungan padatan yang tinggi dan banyak dimanfaatkan menjadi kripik. Tetapi dalam perkembangannya produk ini ditarik kembali.

“Setelah dua tahun, ditemukan dalam varietas kentang baru ini terdapat racun Solanin. Akibatnya, kentang ini ditarik dari pasar oleh USDA. Adanya racun di dalam kentang ini menunjukkan bahwa perubahan rekayasa genetik tanaman atau hewan memiliki kemungkinan efek yang tidak terduga,” jelas Alice dkk.

Teknologi rekayasa genetik masih terbilang baru. Teknologi ini diyakini bisa meningkatkan ketersediaan pangan sepanjang tahun.

“Mereka percaya bahwa hal ini akan mengarah pada peningkatan secara umum dalam pertanian dan pangan, dan juga memberikan kesehatan, harga murah, lebih stabil, bernutrisi, rasa lebih enak dan aman dikonsumsi,” jelasnya.

Selain para pendukungnya, rekayasa genetik tidak luput dari para kritik yang menyoroti faktor keamanan, efek alergi, karsinogennitas, kualitas gizi, dan dampaknya pada lingkungan. Termasuk yang dikhawatirkan adalah kesalahan dari teknik transfer gen.

“Materi genetik yang baru terkadang tidak berhasil dipindahkan ke sel target, atau mungkin dipindahkan ke tempat yang salah pada rantai DNA dari organisme sasaran, atau gen baru kemungkinan secara tidak sengaja mengaktifkan gen didekatnya yang biasanya tidak aktif, atau mungkin mengubah atau menghambat fungsi gen yang lain dan menyebabkan mutasi yang tidak terduga sehingga membuat tanaman yang dihasilkan beracun, tidak subur, dan tidak layak,” bebernya.

Produk rekayasa genetic (PRG) pangan di Indonesia telah diatur peredarannya sejak tahun 1996 dengan disahkannya UU No 7 tahun 1996 tentang pangan kemudian direvisi menjadi UU No.18 tahun 2012 tentang pangan.

“Kebijakan terhadap peredaran/penggunaan pangan PRG adalah dengan menerapkan prinsip pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) dengan menetapkan ketentuan bahwa pangan PRG harus dikaji terlebih dahulu sebelum diedarkan untuk dikonsumsi oleh masyarakat,” demiian penjelaskan BPOM di laman resmi.

*Kawan-kawan dapat menikmati karya-karya lain Muhammad Akmal Firmansyah, atau juga artikel-artikel lain tentang Pertanian

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//