• Berita
  • Sistem Pangan Lokal, Alternatif Melawan Dominasi Sistem Pangan Global

Sistem Pangan Lokal, Alternatif Melawan Dominasi Sistem Pangan Global

Pangan bukan hanya komoditas, tetapi hak bagi seluruh warga negara. Begitu juga konsep lokal yang lebih dari sekadar batas administrasi.

Petani menyiapkan bibit padi yang akan ditanam di lahan sawah tersisa sisi rel kereta cepat, Desa Tegalluar, Kecamatan Bojongsoang, jelang akhir tahun 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul2 Januari 2025


BandungBergerak.idSistem pangan lokal yang dapat mewujudkan ketahanan pangan perlu dimasifkan. Inisiatif pangan lokal dengan berbagai pengemasan sudah banyak tersebar di Bandung Raya, baik yang dibentuk secara mandiri oleh masyarakat, maupun melalui program pemerintah. Sistem pangan lokal perlu lebih digalakkan sebagai salah satu narasi alternatif terhadap sistem pangan global.

Topik ini mengemuka pada Gelar Wicara: Community Supported Agriculture (CSA) sebagai Alternatif Sistem Pangan Perkotaan di Bandung Raya, yang diselenggarakan Konsorsium Paguyuban Pangan (PUPA) yang terdiri dari Yayasan Akatiga dan Perkumpulan Seni Tani, di CO&CO Hub, Rabu, 18 Desember 2024.

Dosen Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) ITB Angga Dwiartama dalam diskusi menyampaikan, selain definisi ketahanan pangan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan, ketahanan pangan perlu diartikan sebagai upaya mencapai keamanan dengan pangan. Ketahanan pangan lebih dari sekadar pangan yang cukup. Tapi sejauh mana masyarakat dapat mengakses pangan tersebut.

“Secara garis besar kita bisa bicara sistem pangan lokal adalah penyediaan pangan dari, oleh, untuk masyarakat lokal. Di sini yang ingin saya dorong dan perkenalkan juga adalah sistem pangan lokal itu lebih dari sekadar solusi untuk mencapai ketahanan pangan. Itu sesuatu yang lebih kompleks,” terangnya.

Angga menerangkan, konteks lokal bisa jadi ambigu, menaruhnya pada batas administratif atau kewilayahan. Lokal dalam konteks pangan adalah sesuatu yang bukan cuma sebatas lokasi, tapi cara berpikir, cara pandang, dan cara menaruh makna yang berbeda dengan pendekatan sistem pangan global. Sehingga, lanjut Angga, mengutip dari pandangan sosiolog, lokal setidaknya dilihat dari enam dimensi, yaitu spasial, ekologis, ekonomi, budaya, sosial, dan politik.

“Spasial jelas artinya jaraknya dekat. Soal konsep ekologis, sistemnya pasti akan memperhatikan biodiversitasnya. Secara ekonominya juga akan menguatkan ekonomi lokal masyarakat. Secara budaya juga, misal kita bicara pangan lokal yang diharapkan misalnya kita nanam yang eksotik yang tidak ada di daerah lain. Kemudian lokal secara sosial bagaimana dia menghidupi resiliensi komunitas. Dan lokal secara politis, yaitu lokal sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem pangan global,” jelasnya.

Peneliti urban farming ini menegaskan, sistem pangan lokal perlu menjadi narasi alternatif selain sistem pangan konvensional yang dijalankan sekarang. Sistem pangan lokal cenderung menerapkan sistem ekonomi berbasis moral yang tidak hanya fokus pada keuntungan, tetapi dorongan etika dan tata nilai. Ini berbeda apabila dibandingkan dengan sistem pangan global yang menggunakan ekonomi berbasis pasar dan keuntungan.

Sistem pangan lokal biasanya akan mengedepankan kesejahteraan komunitas, produksi jumlah kecil, menerapkan model “natural”, melindungi sumbernya, partisipasi demokratis, dan menjaga biodiversitas alam. Sistem ini tentu sangat jauh dengan sistem pangan global yang mengedepankan keuntungan perusahaan, produksi massal, model industri, eksploitasi sumber, penerapan teknokratik, serta monokultur.

Karena jauh perbedaannya ini, Angga sepakat dengan sistem pangan lokal dengan model pertanian berbasis komunitas (Community Supported Agriculture). CSA ini salah satunya dijalankan oleh Seni Tani melalui program CSA Tani Sauyunan.

“Kalau ditarik ke belakang ini sudah lama dan tumbuh di berbagai negara. Basic-nya adalah bagaimana tanggung jawab bertani itu tidak hanya diserahkan kepada produsen, di petani, tetapi tanggung jawab bersama. Di Jepang, masyarakat mau makanan sehat, jadi mereka bayar di depan ke petani. Petani lalu menghasilkan. Nah ini konsepnya membagi risiko. Ini juga sekarang sudah mulai tumbuh di Indonesia dan saya kira ini adalah satu hal yang sangat positif,” terangnya.

Makanya, Angga mengajak masyarakat agar tidak sekadar menjadi konsumen pangan, tetapi menjadi “Food Citizen”. Artinya masyarakat bukan hanya mengonsumsi pangan, tetapi turut aktif dalam upaya pangan perkotaan. Angga menyebut, di berbagai kota di dunia, telah terjadi transformasi dari inisiatif pangan ke jejaring pangan menjadi gerakan pangan.

“Masyarakat berubah dari sekadar konsumen pangan menjadi warga negara yang menjalankan perannya dalam mengelola sistem pangan secara kolektif dan demokratis,” katanya. “Pangan perlu dilihat bukan hanya sebagai komoditas, tetapi hak seluruh warga negara.”

Baca Juga: Menyikapi Fatwa MUI tentang Perubahan Iklim di Tengah Ramalan Krisis Air Bersih dan Pangan di Indonesia
IPB University: Hidroponik Menjadi Solusi Ketahanan Pangan di Masa Pandemi
NGULIK BANDUNG: Kasepuhan Ciptagelar, Merangkul Teknologi dan Mewujudkan Kemandirian Pangan (Bagian 4)

Pemberdayaan Petani Muda

Pergerakan mandiri masyarakat di bidang pangan sebenarnya sudah banyak dilakukan, dengan berbagai nama. Ada yang diwadahi melalui program pemerintah Kota Bandung yaitu Buruan Sae. Ada juga program CSA Tani Sauyunan yang mulai dijalankan oleh Seni Tani selama tiga tahun sejak berdiri pada tahun 2020.

Seni Tani adalah kebun pertanian urban yang mengusung konsep Community Supported Agriculture (CSA) dengan mengacu pada tiga kata kunci dasar, yaitu pemberdayaan, berkelanjutan, dan lokal. Seni Tani merupakan program pemberdayaan dari Komunitas 1000 Kebun.

Program CSA Tani Sauyunan dijalankan dengan sistem berlangganan bulanan. Program ini adalah sistem pangan lokal di mana petani dan konsumen saling mendukung dengan prinsip keadilan, transparansi, dan kepercayaan.

Direktur Seni Tani Vania Febriyantie menerangkan, Seni Tani memanfaatkan lahan tidur seluas 913 meter persegi di Sukamiskin. Sejak Januari 2021 hingga November 2024, Seni Tani telah memproduksi sebanyak 3.508 kilogram sayuran yang diserap dari 14 petani. Sayuran-sayuran itu setiap bulannya didistribusikan rata-rata setiap bulannya kepada 20 anggota CSA dengan total anggota berjumlah 197.

“Iya jumlahnya masih kecil dan dengan lahan kelola yang sekecil itu, tapi bisa kok memberikan manfaat untuk pangan secara lokal. Dan itu bisa ngasih koneksi dengan alam dan lingkungan sekitar,” kata Vania.

Persoalan koneksi dengan alam dan lingkungan disebut menjadi salah satu kekhawatiran Vania kepada anak-anak. Sebab dari program kunjungan anak-anak untuk berkebun, banyak anak-anak yang lebih hafal bahwa sayuran berasal dari supermarket daripada dari kebun. “Anak-anak enggak terkoneksi lagi dengan alam.”

Ia berharap dengan program CSA Tani Sauyunan ini, Bandung memiliki sistem pangan alternatif yang lokal dan berkelanjutan yang dapat berketahanan pangan hingga berdaulat pangan. Selain itu diharapkan tersedianya ruang bermakna bagi orang muda kota Bandung untuk berkontribusi dalam sistem pangan alternatif fan pengolahan sampah.

Vania juga menegaskan, CSA dinilai menjadi salah satu solusi karena memiliki prinsip yang baik, seperti gotong royong, sistem produksi yang tepat guna, keputusan harga disepakati bersama antara konsumen dan produsen, manajemen demokratis, saling belajar satu sama lain, perkembangan yang stabil, dan lainnya.

Ia lantas mengajak petani dan peternak muda se-Bandung Raya untuk bergabung dalam program CSA Tani Sauyunan yang akan dijalankan hingga 2027. Program yang dijalankan konsorsium PUPA dan didukung oleh program global Urban Futures ini akan memberikan pelatihan dan pendampingan kepada orang muda yang tertarik dengan sektor pertanian.

Program Manager Konsorsium PUPA dari Yayasan Akatiga, Aprilia Ambarwati menerangkan, kegiatan ini akan berlangsung dari tahun 2024 hingga 2027 mendatang. Rentang 2024-2025 akan dilakukan studi pemetaan tentang potensi lahan terlantar di Kota Bandung, studi produsen pangan muda, studi konsumen, dan sosialisasi konsep CSA Tani Sauyunan.

Rentang 2025-2026 akan dilakukan studi kebijakan pangan perkotaan, pendampingan kepada 15 petani muda terpilih, dan musyawarah produsen dan konsumen pangan.

“Konsorsium PUPA menawarkan pendekatan inovatif untuk memperkuat hubungan antara produsen pangan dan konsumen melalui pertanian ramah lingkungan. Konsep ini bertujuan menciptakan sistem pangan lokal yang sehat, berkelanjutan, dan berbasis komunitas. Dengan melibatkan generasi muda, CSA juga menjadi wadah untuk memperkenalkan praktik urban farming, mengembangkan pasar lokal yang adil, dan mendorong pertanian berkelanjutan sebagai bagian dari solusi jangka panjang,” ungkap Aprilia.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Awla Rajul atau artikel-artikel lain tentang Pangan

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//