Menyikapi Fatwa MUI tentang Perubahan Iklim di Tengah Ramalan Krisis Air Bersih dan Pangan di Indonesia
Naiknya temperatur bumi menimbulkan gangguan pada cadangan air, pertanian, dan lautan. Masyarakat kecil paling merasakan dampaknya.
Penulis Mochammad Arya Rizaldi4 April 2024
BandungBergerak.id - Indonesia tahun 2050 berada dalam ramalan suram: menurut laporan IPCC (28 Februari 2022), lebih dari 34 persen orang Indonesia akan hidup dengan kelangkaan air. Ini ironis karena selama ini Indonesia dikenal memiliki keanekaragaman hayati, alam melimpah, dan budaya lokal yang tumbuh di berbagi pulau.
“Kita itu akan menghadapi apa yang disebut dengan krisisi air. Ya, karena ketika temperatur naik hutan habis, air yang setiap hari kita konsumsi itu akan mengalami kelangkaan,” kata Manager Kampanye Pesisir Laut dan Pulau-pulau Kecil Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Parid Ridwanuddin di acara Ngobral (Ngobrol Lingkungan Akhir Bulan) dengan tema Fatwa MUI No. 86 Tahun 2023 Tentang Hukum Pengendalian Perubahan Iklim Global, di Bandung, Rabu, 4 Maret 2024.
Krisis air bersih yang diramalkan melanda Indonesia ini dampak dari krisis iklim, yaitu “masalah yang serius berupa perubahan cuaca dunia yang semakin hangat, sebagai akibat dari aktivitas manusia yang meningkatakan gas rumah kaca (karbon dioksida) di atmosfir” (Cambridge Dictionrity).
Tidak hanya kerisis air bersih, Parid menyatakan kelangkaan air akan diikuti dengan krisis pangan. Kenaikan suhu bumi akibat pemanasan global berdampak pada berkurangnya produksi pangan.
“Menurut penelitianya International Rice Research Institute di Filipina. 1 derajat suhu naik itu lebih dari 20 persen produksi pangan hilang,” ujar Parid.
Krisis iklim juga berdampak pada kepada masyarakat pesisi pantai dengan mata pencaharian sebagai nelayan. Indonesia sendiri merupakan negara kepulauan yang memiliki masyarakat nelayan. Laporan IPCC menyatakan, peningkatan suhu akan memaksa ikan berpindah dari wilayah tropis. Fenomena ini mengurangi pendapatan nelayan tradisional dan nelayan sekala kecil di Indonesia sebesar 24 persen.
“Artinya apa, nelayan harus melaut lebih jauh, kalau nelayan melaut lebih jauh itu risikonya akan mengalami ancaman kematian. Kami Walhi nasional mencatat dan membandingkan, tahun 2010 sampai dengan 2020 terjadi kenaikan jumlah nelayan meninggal di laut, kalau 2010 itu 87 orang. 2020 itu lebih dari 250 orang yang meninggal di laut karena cuaca gelombangnya tinggi,” kata Parid.
Laporan IPCC mengungkapkan, 95 persen ancaman di laut dengan kategori level tertinggi berdampak pada perikanan. Ikan-ikan di laut dengan suhu naik akan bermigrasi menuju air dengan suhu dingin.
“Kita di Indonesia yaa, karena kenaikan temperatur akan memanasakan air laut. Nah jadi yang akan terjadi ke depan tidak manusia hijrah tapi ikan juga hijrah. Jadi ikan akan mencari wilayah-wilayan air yang dingin,” terang Parid.
Baca Juga: Dampak Bencana Perubahan Iklim Diperkirakan Lebih Dahsyat dari Pandemi Covid-19
Petani Kopi Gagal Panen karena Terdampak Perubahan Iklim
Perubahan Iklim Melanda, Bagaimana Tanggapan yang Muda?
Kolaborasi Mencegah Krisis Iklim
Pemanasan global yang memicu perubahan iklim mendorong Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan sejumlah fatwa tentang lingkungan. Diharapkan fatwa-fatwa ini bisa mengurangi krisis iklim. Berikut ini 5 fatwa yang dikeluarkan MUI untuk mencegah krisis iklim:
Fatwa MUI Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pertambangan Ramah Lingkungan
Fatwa MUI Nomor 04 Tahun 2014 tentang Pelestarian Satwa Langka Untuk Menjaga Keseimbangan Ekosistem
Fatwa MUI Nomor 41 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Sampah untuk Mencegah Kerusakan Lingkungan
Fatwa MUI Nomor 30 Tahun 2016 tentang Hukum Pembakaran hutan dan Lahan serta Pengandaliannya
Fatwa MUI No. 86 Tahun 2023 tentang Hukum Pengendalian Perubahan Iklim Global
Fatwa ini diharapkan bisa dipahami negara dan masyarakat. Suatu fatwa membutuhkan dukungan kesadaran untuk menjaga iklim.
“Jadi harus bener-bener kita support bukan hanya pegiat lingkungan, para tokoh ulama, kita harus kolaborasi tidak bisa sendirian saja. Makanya perlu support dari semua pihak, dan proaktif terhadap isu lingkungan,” ujar Iman Setiawan Latief dari MUI Jawa Barat.
Kendati demikian, Parid Ridwanuddin mengatakan fatwa-fatwa MUI tersebut masih membutuhkan masukan terutama dari korban yang terdampak krisis iklim.
“Pihak-pihak yang terdampak tuh belum banyak dilibatkan, yang terdampak banjir atau terdampak krisis iklim itu yang saya tunjukan belum diajak dari mustafti (pihak yang meminta fatwa). Padahal mereka bisa menjadi pengaju,” ujar Parid.
Catatan untuk Fatwa MUI No. 86 Tahun 2023 tentang Hukum Pengendalian Perubahan Iklim Global
WALHI mengapresiasi terbitnya Fatwa MUI terbaru, yakni Fatwa MUI No. 86 Tahun 2023 tentang Hukum Pengendalian Perubahan Iklim Global.
“Ini adalah fatwa yang pertama di Indonesia, atau mungkin di dunia yang mengulas isu krisis iklim. Setelah ini semoga krisis iklim akan semakin luas dibahas dan dikaji oleh lembaga-lembaga keagamaan yang otoritatif di Indonesia,” kata Parid Ridwanuddin, dalam keterangan resmi.
Meski demikian, WALHI memiliki sejumlah catatan kritis terhadap fatwa tentang Hukum Pengendalian Perubahan Iklim Global, sebagai berikut:
Di dalam fatwa ini, MUI menggunakan istilah pengendalian perubahan iklim global. Kata pengendalian mengandaikan bahwa situasi krisis saat ini suatu kondisi yang mesti terjadi, tetapi kita diminta untuk mengendalikan situasi itu. Padahal krisis iklim global saat ini dihasilkan oleh sejarah panjang produksi emisi negara-negara industri serta ratusan perusahaan multinasional, terutama di bidang minyak, gas, batu bara, serta semen.
“Dapat dikatakan bahwa masyarakat di Indonesia tak punya kemampuan untuk mengendalikan krisis iklim saat ini. Masyarakat Indonesia adalah korban dari krisis iklim. Bagaimana mungkin masyarakat yang menjadi korban harus bekerja mengendalikan krisis iklim,” papar Parid.
Di dalam konsiderannya (poin c), MUI menyebut bahwa krisis iklim berakar pada keterkaitan faktor ekonomi, sosial, politik dan budaya, serta sistem kepercayaan, sikap dan persepsi sosial. Namun, MUI tidak menyebutkan lebih jelas faktor ekonomi, sosial, politik dan budaya, serta sistem kepercayaan, sikap dan persepsi sosial semacam apa yang menyebabkan krisis iklim saat ini.
Sebagaimana biasanya, Fatwa MUI selalu mengutip ayat-ayat, hadits-hadits, dan perkataan ulama dalam kitab-kitab terdahulu (turats), tetapi tidak ada penjelasan mengenai relevansi dan signifikansi ayat, hadits, serta perkataan ulama dalam situasi krisis saat ini. Akhirnya ayat, hadits, serta perkataan ulama itu hanya menjadi “pajangan” dalam fatwa.
Di dalam fatwa ini, MUI menyebut dua cara pengendalian krisis iklim, yaitu mitigasi dan adaptasi. MUI melupakan satu hal penting yang telah dibicarakan dalam COP 27 di Sharm el-Sheikh, Mesir, pada akhir 2022 lalu, yaitu loss and damage fund.
“Loss and damage fund adalah mekanisme yang didorong oleh gerakan lingkungan hidup global untuk meminta pertanggungjawaban korporasi yang menjadi produsen emisi serta mendapatkan keuntungan dari mengekstraksi sumber daya alam. Pada satu sisi, mitigasi masih dapat dijadikan cara melawan krisis iklim. Tetapi adaptasi semakin tidak relevan,” terangnya.
Sebagai contoh, Parid melanjutkan, bagaimana masyarakat pesisir yang desa atau pulau kecilnya tenggelam harus beradaptasi sementara rumah dan ruang hidupnya telah hilang tenggelam? Dengan demikian, fatwa ini tidak mempertimbangkan konsensus internasional, terutama soal loss and damage fund.
Di dalam ketentuan hukum, khususnya poin 2 disebutkan bahwa “deforestasi yang tidak terkendali……hukumnya haram.” Pertanyaannya, apakah jika deforestasi yang terkendali berarti hukumnya tidak haram? Ini sama dengan proposisi: tambang ilegal tidak boleh, sementara tambang legal boleh karena sudah dikendalikan.
Di dalam ketentuan hukum, khususnya poin 3 huruf c disebutkan semua pihak wajib melakukan upaya transisi energi yang berkeadilan. Sementara, di dalam poin 9 ketentuan umum, disebutkan makna transisi energi berkeadilan adalah transisi menuju sistem energi bersih nir karbon dengan mempertimbangkan sisi keadilan yang di dalamnya memasukan aspek sosial.
Definisi nir karbon ini harus dimaknai meluas mencakup upaya pengurangan drastis pada keseluruhan emisi gas rumah kaca yang berkontribusi pada krisis iklim sebagaimana ditetapkan oleh UNFCCC yaitu: Karbondioksida (CO2), Metana (CH4), Nitro Oksida (N2O), Hydrofluorocarbons (HFCs), Perfluorocarbons (PFCs) dan Sulfur hexafluoride (SF6).
Soal ajakan untuk mengurangi jejak karbon kepada semua pihak, sebagaimana terdapat dalam ketentuan hukum poin 3 huruf b, ini terlihat sangat tidak adil, karena hanya orang-orang yang memiliki kekayaan besar lah yang paling banyak menghasilkan jejak karbon.
Orang-orang kaya bisa memiliki konsesi sawit dan atau tambang di hutan dan atau laut dengan luasan yang sangat besar serta masa waktu yang sangat panjang. Soal ketimpangan penguasaan sumber daya alam tidak dilihat dan dirujuk dalam penyusunan fatwa ini. Dengan demikian, fatwa ini tidak mempertimbangkan prinsip Common But Differentiated Responsibilities.
Di dalam poin rekomendasi huruf b, MUI mendorong pemerintah untuk mengembangkan ekonomi hijau yang berkeadilan. Terkait hal ini, WALHI telah melakukan kritik terhadap sejumlah paradigma ekonomi yang selama ini berkembang di dunia, di antaranya kritik terhadap ekonomi hijau dan ekonomi biru.
WALHI melihat, baik ekonomi hijau maupun ekonomi biru, sama-sama merupakan bagian dari kapitalisme global yang mendorong eksploitasi sumber daya alam baik di darat maupun di laut. Oleh karena itu, WALHI Menyusun satu konsep ekonomi yang menjadi antitesis terhadap kedua paradigma ekonomi tersebut, yaitu ekonomi Nusantara. Dengan demikian, konsep ekonomi hijau penting untuk kembali dipertanyakan secara mendasar.
Di dalam rekomendasi kepada pemerintah pusat, MUI tidak memasukan poin yang mendesak pemerintah pusat untuk mengevaluasi seluruh peraturan perundangan yang memperburuk dan memperparah dampak krisis iklim bagi Masyarakat. Di antara peraturan perundangan yang dapat disebut adalah UU Cipta Kerja, UU Minerba, dan UU IKN. MUI hanya mendorong pemerintah pusat untuk melakukan percepatan dalam pembentukan regulasi yang berkaitan langsung dengan krisis iklim.
Dalam rekomendasi kepada legislatif, MUI tidak memasukan poin yang mendesak parlemen untuk mengevaluasi seluruh peraturan perundangan yang memperburuk dan memperparah dampak krisis iklim bagi Masyarakat. Di antara peraturan perundangan yang dapat disebut adalah UU Cipta Kerja, UU Minerba, dan UU Ibu Kota Negara (IKN).
“MUI hanya mendorong parlemen untuk melakukan percepatan dalam pembentukan regulasi yang berhubungan langsung dengan perubahan iklim dengan memuat prinsip-prinsip dan asas keadilan iklim. Anehnya MUI tidak menjelaskan secara detail apa itu prinsip dan asas-asas keadilan iklim,” papar Parid.
*Kawan-kawan bisa membaca tulisan lainnya dari Mochammad Arya Rizaldi atau artikel-artikel lain tentang Dampak Perubahan Iklim