• Berita
  • Menguak Tabu Lewat Panggung Teater Samana, Adaptasi Novel Duri dan Kutuk

Menguak Tabu Lewat Panggung Teater Samana, Adaptasi Novel Duri dan Kutuk

Rangkaian Bukan Jumahaan Akbar menghadirkan teater oleh komunitas Teater Samana yang mengangkat kisah tabu dari novel Duri dan Kutuk karya Cicilia Odai.

Penampilan teater oleh komunitas Teater Samana di panggung sederhana Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung, Jumat malam, 10 Oktober 2025. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam12 Oktober 2025


BandungBergerakDi hadapan penonton, enam pemeran duduk di bangku hitam, membaca lembaran naskah. Penampilan teater oleh komunitas Teater Samana ini mengangkat kisah yang menyoroti budaya tabu tentang seksualitas yang kerap disalahpahami, khususnya mengenai isu masturbasi dan tuduhan pelecehan seksual.

Teater ini diadaptasi dari novel Duri dan Kutuk karya Cicilia Odai yang dipentaskan dalam rangkaian acara Bukan Jumahaan Akbar di panggung sederhana Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung, Jumat malam, 10 Oktober 2025. Pertunjukan yang mengalir lugas dengan narator yang membacakan alur cerita ini dibagi menjadi tiga babak utama, masing-masing menyajikan sudut pandang berbeda.

Babak pertama dibuka dengan percakapan Sarah (diperankan oleh salah satu penampil), seorang ibu yang menyebar gosip bahwa Eva, guru les privat anaknya yang dikenal introvert, telah melakukan pelecehan seksual terhadap Adam. Kecurigaan Sarah muncul setelah melihat gelagat aneh anaknya, ditambah penemuan sobekan kertas bergambar Eva di kamar Adam.

"Adam menjadi korban pelecehan oleh Miss Eva," ujar Sarah, memantik obrolan di antara para tetangga. Kabar ini menyebar cepat setelah Sarah melapor ke saudaranya yang berprofesi jurnalis. Tanpa verifikasi silang yang memadai, sang jurnalis menjadikan kasus ini laporan utama dengan tajuk “Seorang Guru Les Privat Melecehkan Anak Didiknya”.

Meskipun para tetangga mengingatkan perlunya bukti yang cukup, Sarah bersikeras membawa kasus ini ke ranah hukum. "Pengakuan korban itu adalah bukti pelecehan seksual," kata Sarah, mengutip ucapan saudaranya, jurnalis tersebut.

Sikap dan keengganan Sarah untuk mendengarkan penjelasan Eva berujung pada penggunjingan massal dan persekusi.

Adam, Tabu, dan Kutukan

Pandangan kedua dari Adam, anak yang disangka korban pelecehan. Terungkap, Adam adalah bocah yang mesum, yang sering mengintip Eva dari luar rumahnya di malam hari dan berfantasi tentang gurunya.

Titik balik cerita terjadi ketika Adam tertangkap basah oleh sebuah pohon di halaman rumah Eva. Pohon, yang merupakan sahabat bicara Eva, murka karena Adam terus mengintip Eva. Pohon itu mengutuk Adam agar kemaluannya tidak bisa ereksi karena ditumbuhi duri. Kutukan inilah yang membuat Adam bersikap dingin dan dicurigai oleh Sarah sebagai tanda korban pelecehan.

Eva: Manusia Setengah Pohon dan Korban Persekusi

Babak terakhir menyajikan sudut pandang Eva, perempuan yang dituduh pelaku. Diperankan oleh Salwa Zamira, Eva digambarkan sebagai manusia setengah pohon yang memiliki kekuatan super menumbuhkan tanaman, namun dikucilkan dan dirundung (bully) karena keanehannya. Karena tidak percaya diri, Eva hidup dalam kesepian, bahkan melakukan rutinitas mencabuti kecambah yang tumbuh di sekujur tubuhnya setiap malam.

Pascakabar pelecehan menyebar, rumah Eva dihancurkan dan dirinya diseret serta dipersekusi warga. Padahal, Eva tak melakukan tindakan apa pun yang dituduhkan. Cerita ini ditutup dengan pembelaan Eva, yang menegaskan bahwa ia sering dituduh macam-macam dan menjadi fantasi kaum adam, serta menjadi korban persekusi karena kabar tak berdasar.

Baca Juga: Ketika Teater Gulamsaka Memungut Serpihan Tuhan
Teater Payung Hitam Dilarang Menampilkan Lakon Wawancara Dengan Mulyono, Kebebasan Berekpresi Kampus ISBI Dibungkam

Kritik terhadap Tabu Masturbasi

Feni Kusuma, narator dalam pementasan itu, menjelaskan bahwa pesan moral utama dari pertunjukan ini adalah untuk menunjukkan bagaimana masyarakat Indonesia masih menganggap masturbasi sebagai budaya yang tabu.

Adam, si 'korban', pada dasarnya enggan mengakui bahwa dirinya berfantasi tentang Eva, yang berujung pada tindakannya mengintip dan melakukan masturbasi.

"Karena tak mau mengakui, Adam akhirnya pasrah aja dianggap korban pelecehan seksual," ujar Feni usai pentas.

Feni menilai, novel Duri dan Kutuk mengajak penonton untuk kritis dalam menyikapi kasus pelecehan seksual.

"Siapa yang jahat, siapa yang baik, siapa korban, siapa pelaku gitu," terangnya.

Ia juga menyoroti bagaimana perempuan rentan dituduh macam-macam. Duri pada tubuh Eva dimaknai sebagai metafora tuntutan masyarakat terhadap perempuan.

Teater Samana berpesan agar publik tidak menelan mentah-mentah informasi yang belum terverifikasi, terutama di era viral media sosial yang mudah menggiring opini.

"Jangan sampai kita akhirnya menghakimi orang yang bersalah yang tidak bersalah gitu. Tanpa bukti-bukti yang jelas, tanpa ada pembelaan atau klarifikasi gitu dari orang tertuduh," tutup Feni.

Salwa Zamira, pemeran Eva, menambahkan, masyarakat sering kali berasumsi hanya dengan melihat tampilan luar seseorang.

"Seperti kasus Eva sebagai perempuan yang memang rentan sering dilecehkan dan dituduh macam-macam," katanya.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//