Semangat Keberlanjutan Warnai Evolusia Fashion Show Mahasiswa Maranatha di NuArt Sculpture Park
Sebagai penyumbang limbah pakaian terbesar, produk tekstil memerlukan sentuhan desainer yang memiliki tanggung jawab pada lingkungan hidup.
Penulis Yopi Muharam11 Oktober 2025
BandungBergerak - Semangat keberlanjutan dan pelestarian budaya lokal menjadi sorotan utama dalam Evolusia Fashion Show 2025 yang digelar mahasiswa Universitas Kristen Maranatha di NuArt Sculpture Park, Bandung, Jumat, 10 Oktober 2025. Mengusung tema in.car.na.to yang berarti "terlahir kembali", gelaran ini memamerkan 69 karya busana dari 23 desainer muda sebagai bagian dari tugas akhir Program Studi Desain Mode.
Pagelaran ini tak hanya menjadi panggung presentasi kreativitas, tetapi juga refleksi atas perjalanan personal dan profesional para mahasiswa. Setiap koleksi dirancang dengan pendekatan unik yang sebagian mengangkat nilai-nilai lokal dan prinsip keberlanjutan dalam fashion.
Felicia Aurelia, menampilkan koleksi bertajuk Serat Loka, terinspirasi dari nilai-nilai keberlanjutan dalam proses pembuatan Tenun Gedog khas Tuban. Berpegang pada filosofi Jawa Memayu Hayuning Bawana yang berarti "memperindah keindahan dunia", Felicia menggunakan benang katun hasil tanam dan pintal masyarakat lokal yang ditenun secara manual.
“Konsep ini diterjemahkan menjadi karya-karya, menjadi koleksi yang memiliki makna pribadi maupun sosial. Karya ini juga budak sekadar proses kembali dalam arti, tapi juga tentang proses berkembang dan bertumbuh,” jelas mahasiswa semester enam tersebut.
Kepekaan terhadap kearifan lokal juga terlihat dalam karya Jesslyn Crystalia Kusno bertajuk The Threads of Sabu Sisters. Koleksi ini merayakan warisan tekstil dari Pulau Sabu, mengangkat kisah dua saudari perempuan pendiri klan Hubi. Tenun tradisional dengan hiasan pinggiran digunakan untuk memperkuat tekstur dan mempertegas karakter koleksi yang menyasar perempuan berusia 20–40 tahun yang percaya diri dan bangga akan budaya mereka.
Lewat proses ini ia bukan hanya mendesain, tapi juga meneliti, mengelola koleksi, hingga produksi langsung di lapangan.
“Bagi kami Evolusi ini sangat-sangat berharga karena menjadi kembatan anatar kita dari dunia akademik hingga ke dunia industri modelnya,” terangnya.
Sementara itu, Michelle Marieta Sidharta tampil berani dengan koleksi Dystopic, sebuah eksplorasi avant-garde dalam nuansa distopia. Gaun hitam pekat dengan potongan rombeng menciptakan atmosfer magis sekaligus kuat dalam menyuarakan kebebasan berekspresi.
“Jadi pelajaran yang paling berharga dalam perjalanan ini yaitu bagaimana menjadi desainer yang tidak hanya kreatif namun juga resilient, empatik dan juga siap menghadapi dinamika dunia sains dengan hati dan pikiran,” tuturnya.
Baca Juga: Petaka Impor Tekstil Mencengkeram Tenun Bandung
Adu Cepat Melawan Fast Fashion

Pameran Mode Berbasis Kesadaran Lingkungan
Tak hanya peragaan busana, gelaran ini juga menampilkan pameran desain yang memperlihatkan proses kreatif para mahasiswa sejak tahap riset hingga hasil akhir. Karya-karya tersebut dikurasi ke dalam tiga tema besar: self-expression, function, dan service, menunjukkan keragaman pendekatan dalam desain mode.
Kepala Program Studi D3 Seni Rupa dan Desain Grace Carolline menekankan, keberlanjutan bukan lagi sekadar tren, melainkan menjadi prinsip dasar dalam kurikulum.
Mahasiswa tidak hanya belajar memilih material ramah lingkungan, tapi juga teknik produksi berkelanjutan seperti zero waste pattern cutting agar tak ada kain yang terbuang.
Mahasiswa juga dikenalkan pada material organik dan melakukan kunjungan langsung ke industri tekstil. Beberapa kelas bahkan mengadopsi praktik upcycling dengan memanfaatkan limbah industri tekstil sebagai bahan baku karya baru.
“Kami juga aktif mengikuti lomba-lomba upcycle,” ungkapnya. “Memanfaatkan kain-kain bekas dan lain-lain sebagainya dan alhamdulillah selalu juara juga.”
Langkah ini menjadi penting mengingat industri fashion merupakan salah satu penyumbang limbah terbesar di dunia. Menurut Grace, penting bagi kampus untuk membentuk desainer muda yang bertanggung jawab terhadap dampak sosial dan lingkungan dari karya mereka.
Wakil Dekan Fakultas Humaniora dan Industri Kreatif, Erwin Ardianto, menambahkan bahwa peran mahasiswa desain mode kini tak lagi sekadar membuat pakaian. Mereka telah menjadi agen perubahan dalam ekosistem fashion nasional.
“Ide-ide yang inovatif dari anak-anak kita itu tidak hanya banyak, tapi juga sangat mempengaruhi ekosistem dari perkembangan fashion terutama di Indonesia,” jelas Wakil Dekan 1 Fakultas Humaniora dan Industri Kreatif.
Evolusia Fashion Show 2025 diharapkan bisa membuktikan bahwa regenerasi desainer muda Indonesia memiliki kesadaran lingkungan, peduli budaya, dan relevan dengan tantangan zaman. Fesyen bukan sekadar gaya, tapi juga bentuk tanggung jawab sosial dan ekologis.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB