• Opini
  • Adu Cepat Melawan Fast Fashion

Adu Cepat Melawan Fast Fashion

“Fast fashion” mendorong industri tekstil dan garmen menjadi salah satu kontributor gas rumah kaca dan jejak karbon yang lebih besar dari sektor industri lain.

Kayleen Jessica

Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan Bandung

Warga saat mengunjungi Trans Studio Mal, Bandung, di hari pertama kembali beroperasi setelah tutup selama PPKM level 4, Rabu (11/8/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

27 Oktober 2021


BandungBergerak.idPerkembangan zaman menghadirkan fast fashion yang mendobrak cara pandang konvensional terhadap busana, dan menghadirkan pilihan pakaian yang luas dan terjangkau bagi masyarakat. Sektor usaha ini menyediakan lapangan pekerjaan yang luas dan merupakan sumber keuntungan yang besar bagi industri busana, karena mendorong masyarakat untuk terus memperbarui koleksi pakaian agar tidak tertinggal tren.

Kehadiran digitalisasi dan media sosial memfasilitasi akses visual terhadap tren dan mode pakaian musiman yang cepat bergilir, dan online marketplace semakin mempermudah jalannya transaksi dan mendorong konsumerisme modern. Namun, di balik kenyamanan yang disediakan oleh fast fashion, terdapat kualitas pakaian yang harus dikompromi beserta praktik produksi yang menghasilkan limbah dalam laju tidak berkelanjutan. Fast fashion yang didorong oleh budaya konsumerisme menghasilkan peningkatan terhadap volume limbah tekstil yang mencemari lingkungan, dan dapat dikurangi melalui pendaurulangan limbah garmen.

Fast fashion menjadi solusi ekonomis dan efisien bagi era masyarakat yang semakin mengejar tren terkini dan gaya modis akibat pengaruh dari media sosial. Kemewahan busana high end yang sebelumnya ditujukan bagi masyarakat kalangan atas kini dapat diakses oleh masyarakat umum dengan cepat dan pada harga yang terjangkau.

Konsep pakaian terjangkau yang dibawakan oleh para pelaku retail mengandalkan produksi busana secara massal beserta volume penjualan yang besar. Namun, di balik harga yang terjangkau terdapat konsekuensi untuk menekan biaya produksi, yang sering kali dilakukan dengan mengeksploitasi pekerja serta mengorbankan kualitas bahan yang digunakan. Alhasil, produk yang dihasilkan memiliki umur simpan yang pendek, hampir setengah lamanya dari 15 tahun yang lalu dengan tingkat konsumsi baju yang meningkat 200 persen dari periode tahun 2000-2014 (Le, 2018).

Limbah, Daur Ulang, dan Dilema

Didorong oleh dampak fast fashion, industri tekstil dan garmen menjadi salah satu kontributor gas rumah kaca dan jejak karbon terbesar, menghasilkan hampir 1,7 miliar ton CO2 setiap tahunnya (Loetscher dkk, 2017). Proses produksi garmen yang dimulai dari budi daya kapas, threading serat dan kain, hingga treatment dan pewarnaan tekstil, memakan banyak bahan kimia, sumber daya alam (terutama air) dan energi. Selain itu, dihasilkan juga limbah pascaproduksi berupa potongan kain sisa dan baju yang dibuang seberat 2,1 miliar ton setiap tahunnya, di mana hanya 20 persen dikumpulkan untuk didaur ulang (Loetscher dkk, 2017).

Limbah kimia dapat meracuni badan air sedangkan limbah padat seperti kain sisa akan sukar terdekomposisi dan dapat juga menghasilkan mikro-plastik yang berbahaya bagi lingkungan. Hal ini mengkhawatirkan karena pencemaran tersebut terutama berisiko meracuni hewan laut dan mengganggu keseimbangan ekosistem kelautan, yang dampaknya juga merugikan kesehatan manusia dan ekonomi negara.

Diperkirakan bahwa setiap tahunnya, limbah senilai $100 miliar USD atau sekitar 80 persen dari limbah padat tekstil berakhir di penampungan sampah atau dibakar, 20 persen digunakan kembali atau didaur ulang, dan hanya 1 persen diolah kembali menjadi bahan baku pakaian (Le, 2018).

Pendaurulangan bahan tekstil sudah dilakukan sejak lama tetapi jarang ditemukan secara komersial karena model ekonomi yang kurang menguntungkan. Namun, peningkatan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap permasalahan lingkungan menciptakan demand, dan menjadikan konsep pengolahan ulang limbah tekstil menarik untuk dibenahi kembali.

Pemulihan bahan tekstil dan energi dengan bantuan teknologi berpotensi untuk menciptakan nilai tambah bagi limbah dan mewujudkan ekonomi sirkuler, yakni ekonomi yang bersifat restoratif dan regeneratif di mana nilai suatu benda dipertahankan selama mungkin dengan menghasilkan limbah yang minim (Rengel,2017).

Pencapaian cita-cita ekonomi sirkuler dapat dicapai melalui pendaurulangan limbah tekstil secara fisik atau kimia, yang masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihannya. Pengolahan limbah tekstil secara fisik atau sekunder melibatkan penghancuran kain sisa, yang dicacah, dilelehkan dan ditopang oleh serat tambahan untuk dijadikan serat baru. Metode ini lebih umum ditemukan ketimbang metode kimia karena proses yang terlibat cenderung lebih sederhana dan terjangkau, namun juga menghasilkan serat yang lebih lemah dan pendek. Sebagai akibatnya, nilai produk daur ulang sering kali turun 75 persen setelah pengolahan pertama (Le, 2018).

Namun, di sisi lainnya, kemajuan teknologi telah memungkinkan manusia untuk mendaur ulang limbah tekstil melalui proses kimia yang berpotensi menghasilkan produk akhir dengan daya tahan yang lebih baik dan sisa yang minim. Limbah tekstil padat yang diproses secara kimia mengalami depolimerisasi untuk menghancurkan struktur kimia, dan dipolimerisasi ulang untuk restrukturisasi monomer menjadi bahan yang seakan-akan baru (Le, 2018).

Produksi pengadopsian kedua metode pendaurulangan ini berpotensi menciptakan generasi pakaian dan bahan baku baru, yang dapat menghemat jumlah energi dan air hingga 20 persen (untuk bahan katun) daripada memproduksi bahan baku dari awal, mempertimbangkan pencemaran yang dihasilkan oleh rantai produksi panjang yang dimulai dari budi daya kapas (Le, 2018). Selain itu, ia dapat sekaligus mengurangi volume limbah pakaian yang sering kali dibuang dan berpotensi menghasilkan pencemaran tambahan.

Baca Juga: Fesyen Ramah Lingkungan versus Baju Lebaran
Berkaca dari Libur Lebaran
Dampak Bencana Perubahan Iklim Diperkirakan Lebih Dahsyat dari Pandemi Covid-19
Pemkot Bandung Jangan Kelola Sampah jadi Batubara RDF

Tantangan Ekonomi Sirkuler

Tantangan terbesar dari realisasi proyek ini merupakan biaya produk yang lebih tinggi (10-20 persen daripada bahan yang tidak didaur ulang) dan terhadap teknologi yang belum umum. Namun dengan perkembangan teknologi dan investasi yang tepat, serta dukungan dan komitmen dari masyarakat untuk menggunakan pakaian yang lebih ramah lingkungan, pengolahan dengan cara ini dapat merevolusionerkan sekali lagi sistem dan jejak industri busana dalam dunia.

Disadari atau tidak, industri tekstil dan busana yang didorong oleh fast fashion menghasilkan jejak karbon yang lebih besar daripada sektor industri lain yang dianggap lebih destruktif, bahkan lebih dari pencemaran transportasi udara dan laut digabung. Tanpa adanya tindakan untuk memberi tanggapan terhadap laju pencemaran industri sekarang, manusia berisiko mengalami penipisan sumber daya alam dan percepatan pemanasan global karena praktek produksi dan pengolahan limbah tekstil dan busana yang tidak berkelanjutan ataupun memadai.

Penimbunan limbah tekstil akan mencapai kapasitas maksimum, tetapi apabila ditangani dengan tepat, dapat didaur ulang menjadi bahan baku tekstil atau industri lainnya yang bermanfaat dan bernilai jual tambah. Pendaurulangan limbah tekstil kembali menjadi bahan baku tekstil dapat menciptakan ekonomi sirkuler, dan juga ramah lingkungan karena mengeliminasi sebagian sumber daya dan energi yang terlibat dalam produksi busana baru. Sehingga, diperlukan perhatian khusus dari negara-negara untuk membatasi dampak fast fashion dengan meningkatkan kesadaran masyarakat akan dampaknya terhadap lingkungan, sekaligus meregenerasi degradasi lingkungan yang ada dengan mengadopsi teknologi pendaurulangan tekstil.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//