Petaka Impor Tekstil Mencengkeram Tenun Bandung
Para buruh tenun atau tekstil lokal bekerja tanpa perlindungan dari pemerintah di tengah membanjirnya produk tekstil impor murah. Kebangkrutan dan PHK di depan mata.
Para buruh tenun atau tekstil lokal bekerja tanpa perlindungan dari pemerintah di tengah membanjirnya produk tekstil impor murah. Kebangkrutan dan PHK di depan mata.
BandungBergerak.id - Iring-iringan buruh dan pekerja di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dari Aliansi Pekerja Textile Garment dan IKM menutup Jalan Diponegoro, Bandung saat aksi unjuk rasa di depan gedung DPRD Provinsi Jawa Barat, 5 Juli 2024. Membanjirnya tenun impor murah yang menyulut aksi para pekerja tenun buatan lokal ini.
Mereka membawa banner, poster dan spanduk-spanduk besar. Buruh menuntut pemerintah untuk segera menyelamatkan industri TPT dari ancaman kebangkrutan dan PHK massal terkait derasnya produk tekstil impor yang masuk ke pasar dalam negeri. Sementara produk tenun lokal dibiarkan tanpa proteksi dari pemerintah.
Sekitar 20 kilometer dari pusat kota, derap suara alat tenun kayu tradisional bergema di sebuah lembah di Kampung Pacinaan, Desa Sukamantri, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung, pada 10 Juli 2024. Jika setahun kebelakang jumlah penenun perempuan dan laki-laki masih sama banyak, saat ini jumlah pekerja laki-laki yang dominan.
Asep Amar (46 tahun), generasi ke tiga pengrajin tenun Paseh mengeluhkan iklim bisnis di kampungnya masih belum pulih dari pandemi. Tahun ini saja penurunan produksinya antara 30 sampai 50 persen.
Asep mengoperasikan mesin tenun manual dan semi otomatis dalam memproduksi kain. Mesin-mesin di Paseh tentu jauh lebih tertinggal dibanding industri besar.
“Untuk memenuhi permintaan pasar kain tradisional seperti ulos dan songket kami banyak mengoperasikan mesin jangkar, yaitu mesin tenun manual semi otomatis, tapi kami juga masih mengoperasikan beberapa unit mesin tenun kayu manual," kata Asep Amar.
Sebaliknya, sebuah industri tenun tradisional di lembah Kampung Leuwinanggung, Desa Talun, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung pekerjanya didominasi oleh perempuan. Tanggal 10 Juli 2024, suara alat tenun kayu beradu berpadu dengan suara mesin-mesin tua buatan Jepang tahun 1950 di pabrik tenun yang bersisian dengan kolam pembibitan dan pembesaran ikan nila dan ikan mas.
Lolos dari jurang kebangkrutan di masa pandemi, lini produksi dan pemasaran di pabrik tenun tradisional ulos dan songket yang dikelola oleh Evi Sofyan, generasi ketiga dari pengusaha tenun Majalaya sejak masa Hindia Belanda tersebut saat ini relatif stabil, walau belum 100 persen pulih akibat pagebluk.
Ada puluhan alat tenun manual dan sekitar 10 alat tenun mesin yang beroperasi. Khusus alat tenun manual ada di lantai dua termasuk alat pemintal benang tradisional. Di lantai satu selain mesin tenun buatan Jepang tahun 50-an ada dua unit mesin pintal dan satu unit mesin mihane, satu lagi mesin mihane kayu antik yang sudah ada sejak pabrik dibuka di masa pemerintahan kolonial Belanda dulu.
Tanggal 11 Juli 2024, kaum perempuan peserta pelatihan membuat batik tulis kontemporer dan ecoprint di Rumah Batik Komar, Bandung, Jawa Barat, 11 Juli 2024. Sebanyak 40 pelaku industri kecil menengah di bidang busana dan kerajinan mendapat pelatihan pembuatan batik kontemporer dan ecoprint untuk peningkatan edukasi desain batik agar memiliki daya saing dan posisi tawar lebih baik di pasar lokal maupun internasional.
Tiga industri produk tekstil di atas adalah beberapa yang mampu bertahan ditengah gempuran produk TPT impor yang harganya lebih murah dari produk domestik dan membanjiri pasar TPT di Indonesia.
"Dua harilah bisa selesai satu lembar kain songket atau ulos," kata Adelia (18 tahun), penenun di Desa Talun.
Adelia adalah salah seorang perempuan penenun muda Desa Talun bersama dua rekan kerjanya yaitu Nay (20 tahun) dan Nina (25 tahun). Rata-rata mereka bisa mendapat upah antara 300.000 rupiah sampai 500.000 rupiah per pekan. Harga-harga kain songket dan ulos buatan tangan sekitar 800.000 rupiah per set, yang buatan mesin sekitar 600.000 rupiah, yang buatan mesin semi otomatis dihargai lebih tinggi, di atas satu juta rupiah.
Para pekerja ini juga mendengar gonjang ganjing tutupnya sejumlah pabrik besar di Kabupaten Bandung. Namun mereka mungkin tak was-was karena segmen pasar tenun atau kain tradisional berbeda dengan produk-produk tekstil impor. Iim bersyukur masih bisa kerja di pabrik tenun tradisional di Desa Talun.
"Biar nggak besar upahnya tapi masih kerja disini, sementara di pabrik-pabrik malah PHK," kata perempuan berusia 37 tahun ini.
Dampak PHK massal dan penutupan pabrik tekstil besar di Jawa Tengah dan Jawa Barat membuat Kementerian Keuangan bakal menerbitkan aturan soal pengenaan bea masuk anti-dumping sejumlah komoditas, terutama komoditas TPT. Saat ini produk tekstil domestik tak terserap karena stok barang di pasar berlimpah dan serbuan barang impor baik yang legal maupun ilegal.
Saat ini tak ada syarat teknis perizinan impor pakaian gara-gara Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Peraturan ini membuat importir produk tekstil mudah memasukan barang ke Indonesia.
Hal ini yang jadi pemicu ditutupnya pabrik-pabrik tekstil besar yang berbuah PHK massal. Dilansir dari bisnis.com, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia meminta pemerintah mencabut Permendag Nomor 8 Tahun 2024 dan kembali menjalankan kebijakan pengaturan impor yang diatur dalam Permendag Nomor 36 Tahun 2023. Unjuk rasa para buruh dan pekerja di sektor TPT semakin marak.
Salah satu serikat buruh, Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara melansir data sejak awal tahun 2024 sampai bulan Juni, setidaknya sekitar 13.800 orang pekerja kena PHK buntut dari penutupan enam pabrik dan empat pabrik melakukan efisiensi. Jumlah ini baru dari KSPN saja, dan diduga jumlah ini jauh lebih besar di lapangan karena tidak semua perusahaan mau terbuka.
Sebagian besar pabrik yang tutup PT Alenatex di Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung. Empat pabrik yang melakukan efisiensi berada di Jawa Tengah, salah satunya PT Pulomas dari Bandung. Dan seperti yang sudah-sudah, urusan pemberian pesangon dari perusahaan tak semuanya lancar, lagi-lagi pihak pekerja atau buruh yang semakin tersudut dan dirugikan.
*Foto dan Teks: Prima Mulia
COMMENTS