Menengok Potret Pekerja Anak di Pabrik-pabrik Tekstil Majalaya
Bekerja 42 jam seminggu, pekerja anak di Majalaya diupah sebesar Rp 2.000 per hari. Angka ini jauh di bawah upah harian minimum di Jawa Barat sebesar Rp 4.600.
Penulis Tri Joko Her Riadi7 Mei 2021
BandungBergerak.id - Pernah ada masa ketika tidak sedikit anak menjadi pekerja di pabrik-pabrik tekstil Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Bocah-bocah lelaki bekerja sebagai operator mesin tenun, sementara bocah-bocah perempuan di bagian pengemasan.
Riset oleh Akatiga, sebuah lembaga penelitian independen yang berkantor di Bandung, pada 1996 mengungkap para pekerja anak di pabrik tekstil umumnya bekerja 42 jam setiap pekan. Tidak ada tunjangan atau fasilitas yang diterima selain upah Rp 12 ribu per pekan atau sekitar Rp 2 ribu per hari. Angka ini jauh di bawah upah harian minimum yang berlaku di Jawa Barat ketika itu, yakni Rp 4.600.
Meski jauh di bawah upah harian minimum versi pemerintah, upah bekerja di pabrik lebih tinggi dibandingkan pendapatan bekerja di sektor informal, seperti pedagang kaki lima atau pencuci baju.
“Tidak mengherankan, kerja di pabrik jauh lebih disukai jika memang ada peluangnya,” demikian salah satu simpulan riset yang diterbitkan menjadi buku “Child Workers in Indonesia” (1998).
Riset Akatiga didasarkan pada wawancara terhadap enam pekerja anak di Majalaya. Semuanya berumur di bawah 15 tahun. Sebagian bekerja di pabrik tekstik atau pengolahan makanan, sebagian lagi menjadi pedagang asongan. Latar pendidikannya beragam dari yang tidak lulus sekolah dasar (SD) hingga lulusan sekolah menengah pertama (SMP).
Keenam pekerja anak berasal dari Majalaya atau kawasan sekitarnya. Latar belakang orang tua mereka beragam, mulai dari pengangguran hingga buruh pabrik. Bagi anak-anak yang lahir di keluarga-keluarga seperti ini, bekerja merupakan kegiatan alamiah untuk bertahan hidup.
“Beberapa anak mengatakan bahwa orang tua mereka meminta agar mereka berhenti sekolah dan mulia mencari uang. Anak-anak yang lain berhenti bersekolah karena kemauannya sendiri,” tulis laporan riset dalam buku yang ditulis oleh Ben White dan Indrasari Tjandraningsih itu.
Salah satu temuan menarik dari riset ini adalah pernyataan para pekerja anak yang menyebut bekerja di pabrik bukan sebuah beban karena selain upah, mereka juga mendapatkan persahabatan. Ada sedikit rasa bosan, tapi mereka tidak pernah kelelahan. Para pekerja anak itu tidak paham tentang aturan yang melarang anak-anak bekerja.
Bagi anak-anak yang menjadi pekerja asongan, tantangannya lebih berat. Mereka dihadapkan pada orang-orang di lapangan yang sering membeli tanpa pernah mau membayar. Atau juga permintaan uang secara memaksa oleh preman setempat. Tantangan lain, atau lebih tepatnya ancaman, adalah kondisi lalu lintas di jalan raya berikut polusi udaranya.
Baca Juga: Perda Kawasan Tanpa Rokok Bandung Jangan Hanya demi Predikat Kota Layak Anak
Ramadan di Tahun Pagebluk (9): Ira Marlina dan Empat Anaknya
Sembilan Rekomendasi
Selain di pabrik-pabrik tekstil Majalaya, riset tentang pekerja anak juga dilakukan di Yogyakarta dan Sumatera Utara. Di Yogyakarta, lampu sorot penelitian diberikan pada fenomena anak jalanan, sementara di Sumatera Utara, yang dijadikan pusat penelitian adalah para pekerja anak di pencarian ikan lepas pantai.
Direktur Eksekutif Akatiga Isono Sadoko dalam sambutannya di buku “Child Workers in Indonesia” menyatakan, tiga studi kasus pekerja anak di Majalaya, Yogyakarta, dan Sumatera Utara memberikan gambaran tentang dilemma keberadaan dan penanganan pekerja anak di Indonesia. Riset bersama ini juga menyajikan tinjauan kritis terhadap kebijakan pemerintah.
“Dua pengarang, Ben White dari Institute of Social Studies in The Hague dan Indrasari Tjandraningsih dari Akatiga telah berkolaborasi dalam riset tentang isu pekerja anak di Indonesia selama hampir 10 tahun dan kita berharap buku ini bukan produk terakhir dari kolaborasi tersebut,” tulis Isono.
Gambaran tentang pekerja anak di Indonesia diperoleh dari survei rintisan yang diselenggarakan oleh Badan Pusat Statistik dengan sokongan Organisasi Buruh Internasional (ILO) di Kota Bandung pada 1993. Sebagai respondennya adalah rumah tangga yang memiliki anak berusia 5-14 tahun dan 200 perusahaan tempat anak-anak bekerja. Terungkap, 10 persen anak-anak usia 10-4 tahun di wilayah pinggiran, dan 2 persen di wilayah perkotaan, menjadi pekerja. Sebanyak 78 persen dari total anak-anak yang bekerja ini tidak lagi bersekolah.
Berdasarkan temuan di Bandung ini, Badan Pusat Statistik memproyeksikannya ke tingkat nasional. Diperkirakan ketika itu jumlah pekerja anak, dalam kelompok 5-14 tahun, mencapai 2,6 juta orang. Proyeksi ini tentu harus disikapi dengan cermat karena Bandung, dengan segala kekhasannya, tidak mungkin bisa mewakili setiap kota atau kabupaten di Indonesia.
Ada sembilan rekomendasi yang disodorkan Ben dan Indrasari di bab akhir buku “Child Workers in Indonesia”. Kesembilannya adalah menanggapi hak-hak anak secara lebih serius, mengenali keragaman pekerjaan anak, mencapai konsensus mengenai bentuk-bentuk pekerjaan anak yang paling tidak dapat diterima, memperbaiki hak dan kondisi pekerja anak, merumuskan transformasi dari bekerja penuh ke bekerja paruh waktu bagi anak, memperkuat dasar informasi, pengetahuan, dan kemampuan profesional, belajar dari pengalaman berbagai pendekatan dan aksi baik, menerima tantangan untuk mempromosikan partisipasi aktif anak-anak, serta mendiskusikan permasalahan, kebutuhan, dan aspirasi pekerja anak secara berkesinambungan.
Majalaya Hari Ini
Majalaya merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Bandung yang berjarak sekitar 30 kilometer dari Bandung. Terdiri dari 11 desa, kecamatan ini memiliki luas 45,41 kilometer persegi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bandung, pada 2019 jumlah penduduk kecamatan ini tercatat sebanyak 102 ribu orang, bertambah dari jumlah penduduk tahun 2010 yang tercatat sebanyak 88,3 ribu orang. Majakerta menjadi desa paling padat dengan tingkat kepadatan 5.178 orang per kilometer persegi.
Industri tekstil di Majalaya sudah muncul dan berkembang sejak tahun 1930-an. Pada tahun 1960-an, puncak kejayaan industri tekstil membuat Majalaya menyandang julukan “Kota Dollar”. Kawasan ini menguasai hampir 40 persen dari total produksi kain nasional.
Meski terus meredup, industri tekstil Majalaya belum berhenti sepenuhnya. Data Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Kabupaten Bandung pada 2012 menyebut ada 217 industri yang beroperasi di Kabupaten Bandung dan 66 di antaranya, berupa industri tekstil skala menengah, ada di Kecamatan Majalaya.
Ajaibnya, dalam laporan termutakhir BPS Kota Bandung, tidak ditemukan data tentang jumlah industri tekstil ini. Yang ada hanyalah jumlah industri pengolahan. Tidak ada satu pun industri skala besar, menengah, dan kecil di sana. Yang tercatat adalah 2.201 industri skala rumah tangga.
Salah satu permasalahan akut terkait keberadaan pabrik-pabrik tekstil di Majalaya adalah pencemaran. Limbah cair digelontorkan ke sungai-sungai tanpa terlebih dahulu diolah secara layak. Ekosistem Sungai Citarum menjadi salah satu korban utama praktik jahat seperti ini.
Dalam Laporan Bahan Beracun Lepas Kendali yang terbit pada November 2012, Greenpeace menyebut jumlah industri di Kabupaten Bandung yang telah menerapkan pengelolaan limbah secara benar tidak sampai 50 persen. Selain langsung ke Citarum, limbah pabrik-pabrik dibuang juga ke anak-anak sungainya, di antaranya Sungai Citarik, Cikijing, Cicalengka, Cimande, dan Cisunggalah. Konsentrasi logam berat dalam jumlah relatif tinggi ditemukan di badan air sungai.
Informasi Buku
Judul: Child Workers in Indonesia
Penulis: Ben White & Indrasari Tjandraningsih
Penerbit: Akatiga, Bandung
Cetakan: I, 1998
Tebal: xxiii+100 halaman