• Berita
  • Merefleksikan Potensi dan Perkembangan Sastra Jawa Barat di Festival Bukan Jumaahan Akbar

Merefleksikan Potensi dan Perkembangan Sastra Jawa Barat di Festival Bukan Jumaahan Akbar

Perkembangan sastra Jawa Barat tidak lepas dari sastra Bandung. Mereka hidup dalam ekosistem komunitas-komunitas.

Festival Literasi nan HahaHihi yang diselenggarakan Bukan Jumaahan Akbar di Perpustakaan Ajip Rodisi, Bandung, Jumat, 10 Oktober 2025. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)

Penulis Awla Rajul13 Oktober 2025


BandungBergerak – Sastra terus berkembang seiring waktu, dengan ciri khas yang unik di setiap dekadenya. Selama 50 tahun terakhir, sastra Jawa Barat terus bergerak dengan konsisten. Meskipun tidak selalu mencuri perhatian secara besar-besaran, setiap tahun lahir sastrawan-sastrawan baru dari berbagai daerah di Jawa Barat yang turut memperkaya khazanah kesusastraan Indonesia.

“Potensi dan Masalah Perkembangan Sastra di Jawa Barat” menjadi tajuk diskusi pembuka pada Festival Literasi nan HahaHihi yang diselenggarakan Bukan Jumaahan Akbar, di Perpustakaan Ajip Rodisi, Bandung, Jumat, 10 Oktober 2025. Festival literasi ini diselenggarakan selama dua hari, 10-11 Oktober, berisi diskusi literasi, penampilan puisi dan sastra, dramatic reading, hingga lapakan buku dan komunitas.

Penyair dan pelukis Acep Zamzam Noor menceritakan, ia mulai terlibat dengan sastra di akhir 1970-an di Bandung. Di masa itu, Bandung memiliki banyak penyair. Kebanyakan menonjol di sastra pop. Beberapa karya sastra termasuk puisi sempat difilmkan. Acep lantas hijrah ke Bandung dari Tasikmalaya tahun 1980.

“Kalau ngomongin sastra Jawa Barat gak akan lepas dengan sastra Bandung. Karena waktu itu muncul pusat-pusat sastra di Bandung,” jelas Acep, dalam diskusi pembuka Festival Bukan Jumaahan Akbar.

Acep menyebutkan, pada masa itu, para penyair besar dan tumbuh dalam komunitas. Banyak komunitas sastra yang bermunculan di daerah-daerah. Para penyair bergerak sendiri tanpa dekapan pemerintah. Di beberapa daerah, seperti Cianjur dan Sukabumi, muncul penyair dan pengarang yang khusus berbahasa Sunda, bukan berbahasa Indonesia.

“Kegiatan sastra pada masa itu (setiap dekade), beda-beda. Semangatnya tetap sama. Bandung sebagai titiknya tidak berhenti,” tambahnya.

Zaman, kata Acep, perkembangan sastra terpusat di komunitas-komunitas dengan ketokohan. Didukung pula oleh ekosistem. Waktu itu, media sastra yang menerima karya-karya hanya ada majalah Horison. Untuk pementasan di Taman Ismail Marzuki (TIM).

“Sekarang beda lagi suasananya. Pusat-pusat gak ada, semua bisa berjejaring,” menurut Acep.

Ia menilai, baru sekitar tahun 2000-an sastrawan Jawa Barat dan komunitas mulai bersinggungan dengan pemerintah. Pada masa ini, mulai banyak kegiatan yang bekerja sama dengan pemerintah. Pergerakan-pergerakan sasta menjalar ke daerah-daerah dengan sumber energi pendorong dari Bandung.

Acep menegaskan, bantuan dan perhatian pemerintah memang sudah dirasakan. Namun, ini belum bisa menjamin lahirnya penyair-penyair yang serius.

Budayawan Hawe Setiawan menceritakan perkembangan Sastra pada kurun 1980-1990. Ia menilai, unit kegiatan mahasiswa (UKM) di kampus-kampus memiliki peran penting memupuk minat baca dan berkarya. Di Unpad, misalnya, ada Gelanggang Seni Teater dan Film. Di UPI terdapat kelompok sastra dan teater ASAS. Di kampus-kampus lain juga ada.

“Komunitas lingkungan kampus ini memungkinkan saya berkenalan sama tokoh-tokoh yang karyanya sudah saya baca dari sekolah,” kata Hawe, mengenang masa kuliahnya di Unpad.

Selain UKM, juga terdapat beberapa media yang menjadi ekosistem perkembangan sastra. Ada Pikiran Rakyat (PR), koran lokal yang memberi ruang secara khusus untuk memuat karya-karya sastra. Selain PR, juga ada majalah Horison, Basis yang terbit di Jogja, Prisma, Mangle, hingga stasiun radio yang memberi ruang untuk munculnya karya-karya sastra.

Dalam kurun waktu itu, Kota Bandung juga masih memiliki banyak perpustakaan umum dan toko-toko buku. Buku-buku yang dijual beragam, baru hingga bekas, karya sastrawan Indonesia hingga mancanegara. Melalui fasilitas semacam itu, sastrawan bisa mendapatkan dan memperluas referensi sastra.

“Itu semacam sosiologi yang menyalakan generasi saya membentuk minat baca dan melahirkan karya,” kata Hawe.

Sementara kurun 1990-an, media turut aktif mempopulerkan karya-karya sastra. Lantas di tahun 2000-an, Majelis Sastra Bandung aktif dan memperkaya ekosistem. Komunitas ini aktif menerbitkan buku puisi, menyelenggarakan kegiatan membaca dan berdiskusi puisi, hingga mengadakan perlombaan. Yang tak kalah menarik, adalah peran Komunitas Indonesia Tionghoa yang juga menerbitkan puisi-puisi.

Hawe menegaskan, kemajuan sastra pada masa-masa itu, sangat berpengaruh dengan “jangkar ketokohan”. Tokoh-tokoh sastra menjadi pemupuk dorongan lahirnya karya-karya. Di samping, memang ada semacam semangat yang menggelora dari para sastrawan untuk melahirkan karya sastra pada zamannya.

Baca Juga: Menguak Tabu Lewat Panggung Teater Samana, Adaptasi Novel Duri dan Kutuk
Semangat Keberlanjutan Warnai Evolusia Fashion Show Mahasiswa Maranatha di NuArt Sculpture Park

Diskusi Bukan Jumaahan edisi 102 di Kedai Jante, Jalan Garut, Minggu, 3 November 2024, membahas zine. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak)
Diskusi Bukan Jumaahan edisi 102 di Kedai Jante, Jalan Garut, Minggu, 3 November 2024, membahas zine. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak)

Mempertanyakan Ekosistem Sastra Kini

“Kedai Jante dan kawan-kawan Bukan Jumaahan secara gak langsung menciptakan ekosistem. Cuma pertanyaannya, bagaimana pola ekosistem itu berkembang,” terang Direktur Bukan Jumaahan, Zulfa Nasrulloh dalam diskusi. Bukan Jumaahan setiap pekan rutin menyelenggarakan diskusi buku dengan berbagai tema dan isu.

Zulfa menerangkan fenomena sastra belakangan yang berbeda dengan beberapa dekade silam. Selama tiga dekade belakangan, “jangkar ketokohan” menjadi pendorong penting dalam perkembangan sastra. Namun belakangan, setiap orang bisa menjelma sebagai seorang tokoh, dengan massanya masing-masing, yaitu pengikut media sosial atau followers. Ia mempertanyakan, fenomena ini mesti dilihat sebagai perkembangan atau justru kemunduran dalam perkembangan sastra.

Ekosistem sastra perlu ditelisik bagian per bagian yang memiliki persoalannya sendiri. Beberapa pilarnya adalah penciptaan karya, distribusi karya, dan apresiasi karya. Ketika tiga bagian ini berjalan sirkular akan melahirkan ekosistem yang baik. Namun demikian, saat ini, rasa-rasanya setiap orang bisa menciptakan karyanya sendiri, mendistribusikan sendiri, dan membuat kegiatan untuk memperoleh apresiasi karya sendiri.

“Hari-hari ini, semua orang bisa menerbitkan buku. Sebab semua orang bisa membaca,” ungkapnya.

Dalam ekosistem sastra, sektor akademik, komunitas, dan pasar yang tidak saling berkaitan juga menjadi persoalan. Masing-masing punya ekosistemnya sendiri. Ini belum lagi melihat persoalan distribusi karya-karya sastra berkualitas yang belum merata.

“Festival (Bukan Jumaahan Akbar) harapannya bisa menyambungkan itu, berbagi resource, berbagi pengetahuan,” jelasnya.

Berkaitan dengan ekosistem, menanggapi fenomena semua orang bisa mendistribusikan karya, Zulfa hendak menegaskan, mendiskusikan karya menjadi aktifitas krusial. Melalui diskusi, pemilik karya bisa membuka cakrawalanya terhadap tafsir-tafsir berbeda yang dimiliki publik.

Ia menegaskan, sejumlah pekerjaan rumah dalam persoalan perkembangan ekosistem sastra perlu dibenahi bersama. Menurutnya, salah satu yang bisa menjembataninya adalah, hadirnya festival sastra rutin di Bandung yang diadakan setiap tahun secara berkelanjutan. Ini praktis juga persoalan, membenahi manajemen festival sastra yang tidak konsisten dan hilang-timbul.

Staf Khusus Kementerian Kebudayaan Nissa Rengganis menerangkan Bandung memang sudah menjadi rujukan perkembangan sastra di Jawa Barat selama dua dekade belakangan. Ia sendiri mulai intens di ekosistem sastra mulai 2006.

Nissa menegaskan, pemerintah belakangan sudah hadir untuk memberi penguatan kepada perkembangan sastra. Ia juga menyebutkan, program pengembangam ekosistem sastra juga dilakukan sinergis multisektor, termasuk oleh Badan Bahasa, dan Kementerian Ekonomi Kreatif, melalui penguatan komunitas dan penerbitan karya.

“Negara perlu hadir menguatkan komunitas sastra. Dan memang sudah mestinya negara tidak melakukan intervensi di festival,” ungkap Nissa.

Nissa menjelaskan, Festival Bukan Jumaahan Akbar dalam penyelenggaraannya tidak mendapatkan intervesi apa pun dari kementerian kebudayaan. Panitia Bukan Jumaahan Akbar dipersialan menentukan sendiri pembicara hingga topik yang hendak didiskusikan. Hal ini juga sempat disampaikan oleh Zulfa dalam pemaparan awalnya.

Belakangan, lanjut Nissa, baru dibentuk gugus tugas yang bernama Tim Penguatan Ekosistem Sastra di Kementerian Kebudayaan. Gugus tugas ini memiliki lima program untuk menguatkan dan mendukung ekosistem sastra yang sudah berjalan di setiap daerah. Lima programnya adalah Laboratorium Penerjemahan Karya Sastra, Laboratorium Promotor Sastra, Tim Penerjemahan Karya Sastra, Penguatan Komunitas Sastra, dan Pemetaan Festival Sastra Nasional.

“Komunitas sastra itu kami rasa menjadi satu hal yang penting dalam memperkuat ekosistem sastra. Karena biasanya mereka sudah punya agenda rutin yang cukup aktif, konsisten dan di sana bertemunya para pelaku sastra dimulai dari penulis, penerbit, pembaca, pegiat festival, ya pegiat komunitas itu sendiri,” jelasya.

Hingga akhir tahun 2025, Kementerian Kebudayaan memfasilitasi sekitar 37 komunitas sastra di Indonesia, dari 140 yang mengajukan pendaftaran. Festival sastra serupa Bukan Jumahaan Akbar, juga berlangsung di kota-kota lain se-Indonesia. Ia menegaskan, penguatan komunitas ini, memang sudah seharusya dilakukan tanpa adanya intervensi.

Dramatic roman novel Bumi Manusia oleh Zaskia Putri dalam Bukan Jumaahan ke-118 di Kedai Jante, Bandung. (Foto: Fauzan Rafles
Dramatic roman novel Bumi Manusia oleh Zaskia Putri dalam Bukan Jumaahan ke-118 di Kedai Jante, Bandung. (Foto: Fauzan Rafles

Perayaan Konsistensi

Bukan Jumaahan Akbar mendapatkan dukungan penuh oleh Program Penguatan Komunitas Sastra yang digagas Kementerian Kebudayaan melalui Direktorat Jenderal Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan Kebudayaan. Direktur Jenderal Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan Kebudayaan Ahmad Mahendra menyatakan bahwa program Penguatan Komunitas Sastra ini adalah upaya untuk menjembatani antara karya sastra dengan pembaca.

“Karena selama ini, diseminasi buku sastra masih belum optimal. Komunitas sastra berperan sebagai ujung tombak yang akan menyebarluaskan karya sastra, dengan cara mendiskusikannya dan mengalihwahanakannya,” ungkap Ahmad Mahendra dari keterangan tertulis yang diterima BandungBergerak.id.

Direktur Bukan Jumaahan Akbar, Zulfa menyampaikan, festival ini merupakan perayaan atas konsistensi penyelenggaran diskusi sastra yang sudah dilakukan hampir 150 kali, setiap Jumat di Kedai Janter. “Kita bikin perayaan karena kami tuh punya pikiran kalau perayaan bisa terjadi kalau rutinnya udah ada.”

Pada festival ini, dilakukan tiga diskusi buku utama yang meraih penghargaan Kusala Sastra Literary Awards. Ketiga buku ini praktis belum didiskusikan di Bandung, yaitu buku “Duri dan Kutuk” karya Cicilia Oday, “Hantu Padang” karya Esha Tegar Putra, dan “Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-Kupu” karya Sasti Gotama.

“Nah, karena ini Akbar artinya kami juga bukan hanya mendiskusikan tapi juga mengapresiasi. Dengan membuat respon terhadap karya itu menjadi pertunjukan. Ada yang dibuat dramatic reading, Ali Wahana, dan pertunjukan puisi. Itu kan ada pembicara atau seniman yang diundang yang diundang, dilibatkan. Hampir 50 orang menjadi pembicara di kegiatan ini, termasuk tampil,” ungkapnya.

Zulfa berharap, festival ini bisa menjadi kegiatan rutinan yang diselenggarakan rutin setiap tahun. Selain diskusi dan apresiasi karya, kegiatan ini juga membuka lapakan untuk kawan-kawan komunitas.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//