Merayakan Literasi Bersama Toko-toko Buku Alternatif di Bandung
Para pegiat Lawang Buku, Perpustakaan Bunga di Tembok, The Room 19, dan Pelagia berbagi cerita tentang pentingnya ruang-ruang baca publik di Bukan Jumaahan Akbar.
Penulis Yopi Muharam13 Oktober 2025
BandungBergerak - Perkembangan dunia literasi di Bandung semakin terasa hidup dengan hadirnya berbagai ruang baca alternatif, seperti toko buku, perpustakaan, dan komunitas baca yang semakin menjamur. Ini menandai kekuatan ekosistem perbukuan yang terus berkembang di kota ini.
Beberapa tempat yang menjadi pusat kegiatan literasi tersebut antara lain Toko Buku Bandung (Lawang Buku), Perpustakaan Bunga di Tembok, The Room 19, dan Toko Buku Pelagia. Mereka tidak hanya berfungsi sebagai tempat jual beli buku, tetapi juga sebagai ruang untuk mempererat interaksi masyarakat melalui diskusi, pembacaan, dan acara komunitas.
Deni Rachman, pendiri Lawang Buku, menekankan bahwa yang paling penting dalam perbukuan adalah terciptanya ekosistem yang sehat. Menurutnya, ekosistem ini mencakup berbagai pihak: penulis, penerbit, penyalur, toko buku, hingga pembaca, yang terbagi dalam berbagai bentuk—perpustakaan, klub baca, komunitas literasi, dan bahkan dunia digital.
Deni menyoroti pentingnya peran influencer di media sosial yang kini turut membentuk ekosistem buku, meskipun ia juga mengingatkan akan beberapa masalah yang menghambat perkembangan ekosistem ini, seperti pelarangan buku, pembajakan, dan digitalisasi yang berisiko mengalihkan perhatian masyarakat dari buku.
Penyitaan buku oleh aparat, seperti yang terjadi baru-baru ini pada aktivis pro-demokrasi, juga menjadi perhatian Deni.
“Belum lama ini polisi menyita banyak buku, itu sangat disayangkan,” tutur ujar Deni, di acara rangkaian Bukan Jumaahan Akbar bertajuk “Apa Kabar Apresiasi Buku di Bandung?” di Perpustakaan Ajip Rosidi, Kota Bandung, Sabtu, 11 Oktober 2025. Diskusi ini mengundang pegiat toko buku Galuh Pangestu (pendiri toko Pelagia), Reisa Harits (The Room19); Tri Joko Heriadi (Bunga di Tembok).
Menurutnya masyarakat harus melawan bentuk-bentuk pembungkaman literasi ini dengan berkumpul dan menyuarakan pendapat, sebagaimana yang dilakukan oleh para aktivis literasi Bandung pada 2016 lalu.
Meski demikian, Deni melihat adanya keberlanjutan dalam ekosistem buku di Bandung. Hal ini terlihat dari banyaknya acara bersama, seperti Festival Indonesia Menggugat dan Moro Referensi yang turut menyemarakkan literasi di kota ini.
Perpustakaan Bunga di Tembok: Ruang Komunitas untuk Literasi
Di bagian selatan Bandung, Perpustakaan Bunga di Tembok (BdT) menjadi tempat yang hidup dengan lebih dari 4.000 koleksi buku. Tri Joko Her Riadi, pendiri BdT, menjelaskan bahwa ide mendirikan perpustakaan ini berawal dari pengalaman Joko sebagai jurnalis sejak 2007 dan keinginannya untuk menciptakan ruang baca yang lebih terakses oleh masyarakat.
"Buku literasi itu menjadi detak nadi di sebuah kota," ujar Joko.
Selain berfungsi sebagai perpustakaan, BdT juga dikenal dengan acara diskusinya yang rutin, seperti Sabtu Sore. Di sini, komunitas buku Kembang Kata juga mengadakan kegiatan silent reading setiap hari Jumat, yang mengundang siapa saja untuk membaca bersama dan berinteraksi.
“Bunga di Tembok itu erat kaitannya dengan media alternarif bernama BandungBergerak,” terang Joko yang juga Pimred BandungBergerak.
The Room 19: Menjadi Ruang Publik yang Inklusif
Di pusat Kota Bandung, The Room 19 hadir sebagai perpustakaan inklusif dan interaktif. Reiza Harits, pendiri The Room 19, mengungkapkan bahwa kehadiran perpustakaan ini berawal dari kegelisahan akan sulitnya menemukan ruang baca yang aktif berkegiatan.
“Kenangan perpustakaan saya tak ditemukan di sekolah, malah di ruang tamu,” jelas Reiza. “Perpustakaan itu sebetulnya menyenangkan, di sana kita bisa menghabiskan waktu dengan membaca.”
Didirikan pada 2023, The Room 19 menawarkan koleksi buku yang dapat diakses siapa saja, dan setiap bulannya memiliki tema diskusi yang relevan dengan fenomena terkini. Reiza ingin menciptakan suasana yang lebih santai dan terbuka, berbeda dengan citra perpustakaan yang biasanya dianggap kaku dan mengekang.
“Kesan yang ingin kami munculkan adalah ruang publik itu enggak semenyeramkan dan sekaku itu,” jelasnya.
Baca Juga: Merefleksikan Potensi dan Perkembangan Sastra Jawa Barat di Festival Bukan Jumaahan Akbar
Menguak Tabu Lewat Panggung Teater Samana, Adaptasi Novel Duri dan Kutuk
Pelagia: Toko Buku yang Menghidupkan Literasi
Di dekat Stasiun Hall Bandung, Toko Buku Pelagia berdiri sejak Februari 2025. Galuh Pangestu, pendiri Pelagia, menjelaskan bahwa toko buku ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat jual beli buku, tetapi juga sebagai ruang hidup bagi literasi dan seni.
“Pelagia tak memperlakukan pengunjung sebagai konsumen, tapi yang penting adalah interaksi di dalamnya,” ujar Galuh.
Di Pelagia, pengunjung dapat membaca buku secara gratis, sebuah bentuk apresiasi terhadap mereka yang mungkin tidak mampu membeli buku.
"Puncak dari apresiasi adalah melahirkan pemikir baru," lanjut Galuh.
Galuh menyadari bahwa di era digital ini, masyarakat tidak hanya bisa menjadi pembaca atau penulis tetapi juga sebagai konten kreator yang mengulas buku.
Para pembicara dalam diskusi tersebut menekankan bahwa apresiasi terhadap buku tidak hanya diukur dari membeli atau membaca buku, tetapi juga melalui interaksi di dalamnya termasuk nongkrong di toko buku. Dengan demikian, ruang baca menjadi tempat berkumpul dan berinteraksi.
Hingga kini, banyak toko buku independen di Bandung yang telah membangun jejaring interaksi. Mereka saling mendukung untuk menyelesaikan masalah bersama, menjadikan Bandung sebagai kota yang terus hidup dengan semangat literasi.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB