Bukan Jumahan Akbar: dari Kedai Jante ke Festival Literasi, dari Peta Sastra Jawa Barat ke Penyitaan Buku
Festival Bukan Jumaahan Akbar berlangsung meriah, meski ada nada nuansa suram tentang penyitaan buku milik demonstran oleh aparat sebulan lalu.
Penulis Tim Redaksi15 Oktober 2025
BandungBergerak - Diskusi mingguan yang konsisten digelar selama bertahun-tahun akhirnya dirayakan dalam sebuah festival literasi Bukan Jumahan Akbar di Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung. Gelaran ini baru saja usai setelah dihelat dua hari, Jumat dan Sabtu, 10–11 Oktober 2025. Namun, ada nuansa ironi yang samar-samar membayangi perayaan literasi ini. Di saat orang-orang muda bergairah mendalami ilmu pengetahuan melalui buku, sebulan belakangan ini justru terjadi penyitaan-penyitaan buku oleh aparat dengan alasan sumber literasi tersebut memiliki kaitan dengan aksi demonstrasi besar-besaran akhir Agustus dan awal September.
Tak heran jika Instagram Kedai Jante yang sibuk mengabarkan jalannya Festival Bukan Jumahan Akbar dengan segala perniknya, menjadikan konten pernyataan sikap penolakan penyitaan buku sebagai penutup.
Peta Sastra Bandung, Jawa Barat
Festival Bukan Jumahan Akbar perdana mengusung tema “Festival Literasi nan HahaHihi”. Acara dibuka dengan diskusi sastra bertajuk “Potensi dan Masalah Perkembangan Sastra di Jawa Barat” pada Jumat, 10 Oktober 2025. Penyair dan pelukis Acep Zamzam Noor serta budayawan Hawe Setiawan menjadi pemateri, memetakan perkembangan dan tantangan dunia sastra di Jawa Barat.
Acep Zamzam Noor menyoroti bahwa perkembangan sastra di masa lalu banyak bertumpu pada kekuatan komunitas dan tokoh-tokoh sastra yang tumbuh dari akar rumput. Para penyair dan pengarang, termasuk yang menulis dalam bahasa Sunda di wilayah seperti Cianjur dan Sukabumi, berkarya secara mandiri tanpa dukungan langsung dari pemerintah.
“Dulu, kegiatan sastra setiap dekade punya corak berbeda, tapi semangatnya sama. Bandung selalu menjadi titik penting perkembangan sastra,” kata Acep.
Menurutnya, komunitas menjadi pusat gerakan sastra, dan ketokohan memainkan peran penting dalam menggerakkan ekosistem sastra. Media seperti Horison menjadi satu-satunya ruang publikasi karya sastra, dan Taman Ismail Marzuki (TIM) menjadi tempat utama pementasan.
Namun, situasi kini telah berubah. Sekarang pusat-pusat itu tidak ada lagi. Semua bisa berjejaring. Transformasi teknologi dan keterbukaan informasi mengubah cara komunitas sastra bergerak dan terhubung.
Acep mencatat bahwa mulai awal 2000-an, sastrawan dan komunitas sastra di Jawa Barat, khususnya yang tumbuh di Bandung, mulai berinteraksi dengan pemerintah. Berbagai kegiatan mulai digelar dengan kolaborasi antara komunitas dan lembaga pemerintah, memperluas gerakan sastra hingga ke daerah-daerah dengan energi penggerak yang berpusat dari Bandung. Meskipun dukungan pemerintah sudah mulai terasa, Acep menegaskan bahwa hal itu belum cukup menjamin lahirnya sastrawan yang konsisten dan serius.
Senada dengan Acep, budayawan Hawe Setiawan menggambarkan bagaimana pada dekade 1980–1990, perkembangan sastra sangat dipengaruhi oleh peran aktif komunitas mahasiswa di lingkungan kampus. Unit kegiatan mahasiswa (UKM) seperti Gelanggang Seni Teater dan Film di Unpad, serta kelompok ASAS di UPI, menjadi ruang penting bagi mahasiswa untuk membaca, berdiskusi, dan berkarya.
“Melalui komunitas kampus, saya bisa berkenalan langsung dengan tokoh-tokoh sastra yang sebelumnya hanya saya baca di buku sekolah,” kenang Hawe, yang juga merupakan alumnus Unpad.
Di luar kampus, ekosistem sastra diperkuat oleh media seperti koran Pikiran Rakyat yang secara rutin memuat karya sastra, serta majalah seperti Horison, Basis, Prisma, Mangle, dan bahkan stasiun radio yang memberi ruang bagi karya-karya sastra lokal. Kota Bandung pada masa itu juga memiliki banyak perpustakaan umum dan toko buku yang menyediakan berbagai referensi, dari buku baru hingga bekas, dari penulis lokal hingga mancanegara.
Hawe menyebut semua itu sebagai “sosiologi literasi” yang menyalakan semangat generasinya untuk membaca dan melahirkan karya sastra. Pada era 1990-an, media mulai aktif mempopulerkan karya sastra secara lebih luas. Lalu di era 2000-an, muncul Majelis Sastra Bandung yang semakin memperkaya ekosistem literasi dengan menerbitkan buku puisi, menyelenggarakan diskusi, hingga menggelar lomba sastra. Tak hanya itu, Komunitas Indonesia Tionghoa juga turut berperan dengan menerbitkan karya-karya sastra, terutama puisi.
Menurut Hawe, kemajuan sastra tidak bisa dilepaskan dari peran tokoh-tokoh sentral dalam komunitas. Ketokohan menjadi jangkar penting dalam ekosistem sastra. Sosok-sosok ini memberi inspirasi, arah, dan semangat bagi generasi berikutnya untuk terus berkarya.
Sorotan Karya Pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa
Secara maraton, festival Bukan Jumaahan Akbar menampilkan beragam diskusi dan pertunjukan yang melibatkan hampir 50 narasumber dan penampil. Ruang di sekitar Perpustakaan Ajip Rosidi dipenuhi oleh orang-orang muda yang datang untuk menimba pengetahuan tentang sastra, mencari hiburan, berburu buku di lapak-lapak komunitas, atau sekadar bersua kawan sambil ngopi.
Salah satu sorotan utama dalam festival ini adalah kehadiran para penulis pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025, penghargaan bergengsi tingkat nasional. Tiga karya yang dibahas secara khusus adalah:
Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-kupu karya Sasti Gotama. Buku ini merupakan kumpulan cerita pendek yang membahas pertanyaan-pertanyaan tentang gender, perempuan, serta makna menjadi manusia. Sasti Gotama, seorang dokter dan penulis asal Malang, telah memenangi berbagai penghargaan, di antaranya Hadiah Sastra “Rasa”, Buku Sastra Pilihan Tempo, dan Sayembara Naskah Teater DKJ. Novelnya Korpus Uterus menjadi sorotan dalam Sayembara Novel DKJ 2023.
Diskusi bedah buku ini menghadirkan Sasti Gotama dengan pemantik Ilsa Nelwan dan Zaky Yamani, serta dimoderatori oleh Fitra Sujawoto.
Hantu Padang karya Esha Tegar Putra. Buku puisi ini merekam pengalaman penyair yang menjalani proses ulang-alik fisik dan pikiran antara dua kota, Padang dan Jakarta, selama hampir delapan tahun. Tubuhnya tinggal di satu kota, tetapi ingatan dan batinnya menetap di kota lain.
Dalam ulasan di Instagram Kedai Jante, Hantu Padang disebut memendam bentangan pengalaman sarat peristiwa, pengetahuan, dan perasaan yang saling menimpa.
Esha merupakan penulis asal Minangkabau dan saat ini sedang menempuh studi doktoral di Departemen Susastra Universitas Indonesia. Buku-bukunya yang telah terbit antara lain Pinangan Orang Ladang (2009), Dalam Lipatan Kain (2015), Sarinah (2016), dan Setelah Gelanggang (2020).
Diskusi buku ini menghadirkan Esha bersama Dian Hardiana, Ahda Imran, dan dimoderatori oleh Pradewi Tri Chatami.
Duri dan Kutuk karya Cicilia Oday. Novel ini menceritakan tentang Eva, sosok yang memiliki hubungan erat dengan tanaman, serta Adam, remaja yang terobsesi padanya. Cerita ini memadukan gairah seksual, imajinasi liar, dan rahasia personal.
Novel setebal 191 halaman ini, menurut Rangga Abdul Aziz, menggunakan gaya penulisan realisme magis dengan penggunaan tiga sudut pandang. Isu yang diangkat meliputi privasi tubuh, pola asuh, pelecehan seksual, perundungan, kabar palsu, hingga kelestarian lingkungan.
Ayu Oktariani, narasumber lain dalam diskusi, menyoroti karakter Adam sebagai remaja yang dianggap troublemaker namun sebenarnya korban dari sistem yang gagal memahami anak muda.
Penulisnya, Cicilia Oday, menyampaikan bahwa karakter Eva sengaja dibuat ganjil dan dianggap mengerikan secara fisik, namun tetap menjadi objek seksual dari karakter Adam. Cicilia menjelaskan bahwa penggambaran ini tidak bertujuan merendahkan nilai perempuan, melainkan membuka ruang tafsir terhadap standar kecantikan dan relasi kuasa dalam tubuh perempuan.
Festival ini juga menampilkan diskusi bertajuk Cerita Baru dari Kisah yang Klasik bersama Feby Nur Dianingtyas dan Septia Endriana. Diskusi ini mengangkat kembali peran penting Balai Pustaka, penerbit tertua di Indonesia yang berdiri sejak 1917, dalam sejarah literasi bangsa.
Balai Pustaka telah menerbitkan banyak novel klasik yang masih dinikmati hingga kini. Dalam diskusi ini, disampaikan pentingnya meneruskan legacy sastra Balai Pustaka dengan memberi ruang bagi penulis muda untuk berkarya dan terlibat dalam pembangunan literasi masa kini.
Ada pun peta perkembangan toko buku alternatif di Bandung dibahas dalam diskusi bertajuk “Apa Kabar Apresiasi Buku di Bandung?”, Sabtu, 11 Oktober 2025. Diskusi ini mengundang pegiat toko buku Galuh Pangestu (pendiri toko Pelagia), Reisa Harits (The Room19); Tri Joko Heriadi (Bunga di Tembok), dan Deni Rachman, pendiri Lawang Buku dan pemilik Toko Buku Bandung.

Latar Belakang Festival
Direktur Bukan Jumahan Akbar Zulfa Nasrulloh menjelaskan, festival ini merupakan perayaan dari diskusi rutin Bukan Jumahan yang telah digelar hampir 150 kali di Kedai Jante Perpustakaan Ajip Rosidi setiap hari Jumat. Diskusi ini awalnya bernama Kajian Jumaahan, namun berganti nama menjadi Bukan Jumahan sejak insiden penolakan terhadap narasumber Ilham Aidit dalam diskusi ke-67. Penolakan tersebut datang dari ormas yang menolak kehadiran Ilham karena statusnya sebagai anak D.N. Aidit, tokoh PKI era 1960-an. Selain itu, nama “Jumaahan” juga dipermasalahkan karena dianggap berbau keagamaan.
Zulfa menegaskan bahwa diskusi dengan Ilham saat itu sebenarnya mengangkat isu perundungan dan tidak berkaitan dengan ideologi politik. Sejak itu, forum berganti nama menjadi Bukan Jumahan, dan dokumentasi perjalanannya dapat ditemukan di akun Instagram komunitas.
Selain diskusi, festival ini juga menampilkan berbagai pertunjukan seni seperti pembacaan puisi, dramatic reading, hingga seni pertunjukan yang merespons karya-karya yang dibahas. Panggung apresiasi ini menciptakan ruang interaksi yang hidup antara karya sastra dan ekspresi kreatif.
Festival juga menghadirkan kolaborasi lebih luas: bazar buku, lapak komunitas, dan sesi pitching naskah yang melibatkan pihak Balai Pustaka. Acara ini didukung oleh berbagai pihak, termasuk Kementerian, Kusala Sastra Khatulistiwa, Mizan, Gramedia, CBS, hingga Balai Pustaka.
“Ya, kita pengin nyoba ruang temu ya,” kata Zulfa. “Menjadi ruang bagi banyak orang.”
Ia berharap Bukan Jumahan Akbar menjadi bentuk konsistensi komunitas dalam menjadikan diskusi sebagai budaya. Harapannya, festival ini bisa terus berlangsung secara berkelanjutan.
“Ya, pengin berkelanjutan ya. Ada lagi tahun depan. Kan yang paling susah sebetulnya memastikan ini ada lagi. Nah, kami berharap itu ada lagi," ujarnya.
Baca Juga: Merefleksikan Potensi dan Perkembangan Sastra Jawa Barat di Festival Bukan Jumaahan Akbar
Merayakan Literasi Bersama Toko-toko Buku Alternatif di Bandung
View this post on Instagram
Ironi di Tengah Perayaan Literasi
Instagram Kedai Jante menutup konten terakhir di akhir pekan kedua Oktober dengan konten yang terasa ironis. Setelah berjibun dengan konten suasana festival Bukan Jumaahan Akbar yang menunjukkan gairah orang-orang muda untuk mendalami buku, mereka menutupnya dengan pernyataan sikap dari Aliansi Pegiat Literasi Bandung Melawan Kriminalisasi Buku dan Pikiran.
Unggahan tersebut juga mengabarkan tentang petisi penolakan penyitaan buku berjudul “Menyita Buku sama dengan Pemberangusan!”. Disebutkan bahwa kurang lebih sudah satu bulan telah berlalu sejak aparat kepolisian menjadikan buku-buku bacaan sebagai barang bukti penangkapan sejumlah orang muda kritis yang dituduh terlibat dalam aksi demonstrasi Agustus–September 2025 di Bandung. Namun hingga kini, tidak ada pertanggungjawaban yang jelas atas tindakan sewenang-wenang penyitaan buku.
Aliansi menegaskan bahwa buku-buku yang merupakan sumber pengetahuan, tapi dalam penyitaan justru disatumejakan dengan barang bukti batu dan molotov. Aliansi menilai penyitaan buku bukan sekadar kekeliruan prosedural, melainkan bentuk nyata kriminalisasi pikiran. Negara dianggap memilih menebar rasa takut alih-alih membuka ruang berpikir.
“Buku bukan peluru. Buku bukan alat kejahatan. Buku adalah pengetahuan. Mengkriminalisasi buku berarti mengkriminalisasi nalar. Dan mengkriminalisasi nalar adalah pintu masuk bagi otoritarianisme,” demikian petisi online yang dapat diakses dalam tautan ini.
***
*Reportase ini dikerjakan reporter BandungBergerak Riyan D Apriliyana, Awla Rajul, dan Yopi Muharam. Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

