• Berita
  • Pembakaran Sampah di Bandung: Hasil Riset Menyoroti Bahaya Paparan Asap Insinerator bagi Makanan dan Kesehatan

Pembakaran Sampah di Bandung: Hasil Riset Menyoroti Bahaya Paparan Asap Insinerator bagi Makanan dan Kesehatan

Bandung salah satu kota di Indonesia yang terus menghadapi krisis sampah berkepanjangan. Metode pembakaran dengan insinerator masih dianggap solusi tepat.

Seekor kambing mencari makan di atas tumpukan sampah Pasar Induk Gedebage, Bandung, 9 November 2021. Masyarakat diharapkan mulai memilah sampah rumah tangga. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Penulis Awla Rajul16 Oktober 2025


BandungBergerak - Pemerintah Kota Bandung memilih pendekatan pengolahan sampah melalui teknologi pembakaran menggunakan insinerator. Insinerator rencananya akan ditaruh di setiap RW-RW untuk mengatasi timbulan sampah rumah tangga di lingkup terkecil masyarakat. Organisasi yang fokus pada lingkungan, kesehatan, dan pengembangan, Nexus3 Foudation menilai penerapan insinerator skala kecil bukan solusi yang ideal.

“Solusi ini tidak tepat dan berpotensi menimbulkan masalah baru yang mengancam kesehatan masyarakat,” tulis Nexus3 Foundation pada publikasi Seri Teknologi Termal, diterima BandungBergerak, Sabtu, 4 Oktober 2025.

Nexus3 Foundation menyatakan, teknologi insinerator skala kecil, yang lebih tepat disebut sebagai tungku bangkar, harus dioperasikan dengan perhatian ketat untuk menghindari pelepasan senyawa berbahaya ke lingkungan. Pemantauan lingkungan juga harus dilakukan secara berkala sebab insinerator tersebut berada di lingkungan permukiman.

Pembakaran sampah idealnya harus dilakukan dengan pemilahan. Artinya, hanya sampah anorganik dan kering yang dibakar. Pencampuran organik dan anorganik akan membentuk senyawa berbahaya salah satunya dioksin. Nyatanya, di banyak penerapan tungku bangkar di Indonesia, termasuk di Bandung, sampah dibakar secara tercampur.

Suhu pembakaran sampah melalui teknologi pembakaran juga harus di atas 800 derajat celsius. Pada titik itu, senyawa kimia yang terkandung pada sampah dapat terurai sempurna. Selain itu, insinerator juga harus memasang unit pengontrol pencemaran udara.

“Jika insinerator tidak memenuhi beberapa hal yang harus diperhatikan tersebut, senyawa dioksin yang berbahaya akan terbentuk dan dilepaskan ke lingkungan melalui udara dan abu hasil pembakaran,” tulis Nexus3 Foundation.

Senyawa berbahaya seperti dioksin dan furan terbentuk akibat pembakaran sampah yang tidak sempurna. Proses ini terjadi ketika suhu pembakaran kurang dari 800 derajat Celsius, sampah dicampur tanpa pemisahan yang tepat, dan abu panas sisa pembakaran mendingin secara perlahan.

Paparan terhadap senyawa ini dapat berdampak buruk bagi kesehatan dalam jangka panjang. Beberapa penyakit yang bisa ditimbulkan antara lain kanker, gangguan reproduksi dan fertilitas, gangguan sistem hormon, kerusakan sistem imun, gangguan fungsi hati dan tiroid, serta masalah pada perkembangan anak dan janin.

Petugas pemadam kebakaran menyemprot air ke area pembuangan sampah akhir yang terbakar di TPAS Sarimukti, Kabupaten Bandung Barat, 23 Agustus 2023. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)
Petugas pemadam kebakaran menyemprot air ke area pembuangan sampah akhir yang terbakar di TPAS Sarimukti, Kabupaten Bandung Barat, 23 Agustus 2023. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Mengenal Bahaya Dioksin

Dioksin (polychlorinated dibenzo-p-dioxins (PCDDs) dan polychlorinated dibenzofurans (PCFDs) adalah polutan yang erat kaitannya dengan aktivitas pengelolaan sampah. Dioksin terbentuk dari proses pembakaran plastik yang mengandung senyawa organik terhalogenasi, seperti PFAS, PBDE, dan lainnya. Ketika plastik dibakar, senyawa-senyawa tadi berubah menjadi dioksin yang teremisikan melalui udara atau terakumulasi pada abu sisa pembakaran. Dioksin bersifat persisten di lingkungan sekaligus bioakumulatif dalam rantai makanan.

Nexus3 Foundation bersama CENTER menguji konsentrasi dioksin di beberapa sampel abu dasar dari PLTSa Merah Putih dan insinerator skala kecil di Indonesia. Hasilnya menunjukkan, konsentrasi dioksin dalam fly ash dan bottom ash di PLTSa Merah Putih sangat tinggi.

“Konsentrasi dioksin dalam abu sisa pembakaran dari beberapa insinerator skala kecil di Indonesia cenderung rendah, mengindikasikan bahwa dioksin mungkin cenderung diemisikan ke udara. temuan ini menunjukkan pentingnya pemantauan lepasan dioksin dari terknologi pengelolaan sampah secara berkala,” demikian laporan Nexus3 Foundation di Seri Teknologi Termal.

Di samping temuan itu, Nexus3 Foundation juga menemukan senyawa dioksin pada telur ayam dan daging sapi yang diternak di dekat insinerator atau aktivitas pengelolaan sampah dengan pembakaran sampah terbuka.

Penelitian ini menemukan bahwa telur dari ayam yang dibiarkan mencari makan di sekitar tempat pembakaran sampah mengandung dioksin tinggi. Dioksin ini bisa masuk ke dalam telur ayam melalui abu sisa pembakaran sampah yang terbang ke udara atau dibuang sembarangan. Abu tersebut kemudian mengontaminasi tanah tempat ayam mencari makan.

“Semua sampel ayam kampung di Indonesia mengandung kadar dioksin yang sangat tingi, bahkan 45 kali lipat batas cemaran dioksin dalam telur Uni Eropa dan 93 kali lipat batas cemaran dioksin dalam telur Indonesia,” mengutip Nexus3 Foundation, penelitian yang dilakukan bersama IPEN, ECOTON, dan Arnika.

Penelitian ini dilakukan di Bangun (Mojokerto), Bantar Gebang (Bekasi), Tamansari (Karawang), Pasar Kemis (Tangerang), dan Tropodo (Sidoarjo). Batas cemaran total dioksin di Uni Eropa berada di angka 5, sementara Indonesia di 2.5. Adapun total temuan senyawa dioksin di masing-masing daerah adalah Bangun 14,6, Bantar Gebang 28,4, Tamansari 212, Pasar Kemis 72, dan Tropodo 232.

“Konsentrasi dioksin pada telur ayam di sekitar produksi tahu Tropodo mencapai hingga 200 pg/g/fat dengan batas aman Uni Eropa adalah 2.5 pg/g fat. Temuan ini merupakan konsentrasi yang tertinggi ke-6 di dunia,” ungkap Nexus3 Foundation.

Kandungan dioksin pada daging dan jeroan sapi ditemukan dalam sampel yang diambil dari sapi-sapi yang dipelihara di sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jatibarang di Semarang dan TPA Putri Cempo. Jeroan sapi mengandung senyawa berbahaya seperti PCDD/Fs dan dl-PCBs yang melebihi ambang batas aman (provisional tolerable weekly intake/PTWI) untuk orang dewasa, bahkan 3 hingga 15 kali lebih tinggi.

Nilai Target Hazard Quotient (THQ) tertinggi mencapai 1,165, melewati batas aman sebesar 1. Ini menunjukkan adanya potensi risiko kesehatan jangka panjang. Dioksin juga ditemukan pada daging sapi, meskipun kadarnya lebih rendah dibandingkan pada jeroan.

Temuan ini jauh lebih tinggi dibandingkan studi serupa di Vietnam dan Thailand. Di Vietnam, EWI (estimated weekly intake) dari daging sapi tercatat kurang dari 0,5 pg WHO-TEQ/kg/hari. Di Thailand, kandungan total dioksin dalam lemak sapi kurang dari 0,3 ng/g. Sementara itu, kadar yang ditemukan di Indonesia bisa mencapai 25 hingga 250 kali lebih tinggi.

“Data dari studi ini menunjukkan adanya kontaminasi lingkungan yang serius dan belum ditangani secara sistemik,” tulis Nexus3 Foundation.

Nexus3 juga menekankan bahwa praktik pembakaran sampah, termasuk penggunaan insinerator skala kecil, bukan hanya merusak lingkungan tetapi juga membahayakan kesehatan manusia. Dioksin yang masuk ke rantai makanan akan terus menumpuk dan berisiko menimbulkan penyakit kronis di masa depan.

Baca Juga: Bandung salah satu kota di Indonesia yang terus menghadapi krisis sampah berkepanjangan. Metode pembakaran dengan insinerator masih dianggap solusi tepat.
Krisis Sampah di Bandung Raya, Pemerintah tidak Belajar dari Tragedi TPA Leuwigajah dan Kebakran TPA Sarimukti

Plastik Meracuni Pekerja

Selain studi yang dilakukan di Indonesia oleh Nexus3 Foundation dan kawan-kawannya, dampak buruk terhadap kesehatan dari pengelolaan sampah yang tidak ideal juga bisa direfleksikan melalui penelitian lain. IPEN, ARNIKA, EARTH, dan CEJAD melakukan penelitian terhadap pekerja yang bersinggungan langsung dengan proses pengolahan sampah, mulai dari pengumpulan, pemilahan, pencacahan, daur ulang, hingga pembuangan akhir di Thailand dan Kenya.

Penelitian ini dilakukan pada 25 pekerja di Thailand tahun 2024 dan 30 pekerja di Kenya tahun 2025. Para pekerja yang diteliti diberi gelang silikon dan dipakai selama lima hari (120 jam). Gelang silicon itu digunakan untuk melihat seberapa signifikan paparan senyawa kimia berbahaya dari sampah plastik yang ditangkap oleh gelang, lalu akan berpengaruh terhadap kesehatan.

Penelitian ini melibatkan 73 jenis senyawa kimia yang dihasilkan dari sampah plastik, di antaranya phthalates (12 senyawa kimia), other plasticizers (2 senyawa kimia), polycylic aromatic hydrocarbons (24 senyawa kimia), benzotriazole UV-stabilizer (8 senyawa kimia), dan lainnya.

Plastik sebenarnya capuran dari berbagai macam jenis senyawa kimia, kebanyakan diproduksi dari bahan bakar fosil (petrochemicals). Sayangnya, kebanyakan senyawa kimia ini tidak diregulasi mengenai kesehatannya dan sebagian kecil belum diketahui bagaimana dampaknya untuk kesehatan.

Ketika plastik didaur ulang, senyawa-senyawa kimia yang terkandung di dalamnya terbawa dan tercampur bersama senyawa tambahan lain ketika digunakan dalam proses untuk menjadi material baru. Itulah mengapa senyawa kimia berbahaya ditemukan di Kenya pada produk mainan anak hingga peralatan dapur yang diproduksi dari plastik daur ulang.

“Dampak kesehatan yang disebabkan oleh bahan kimia plastik meliputi kanker, neurotoksisitas, imunotoksisitas, kondisi kulit dan pernapasan, dan masih banyak lagi (Azoulay dkk., 2019). Banyak bahan kimia plastik merupakan bahan kimia pengganggu endokrin (EDC), yang berarti dapat mengganggu fungsi alami hormon dalam tubuh, yang menyebabkan penyakit atau bahkan kematian (Gore dkk., 2024),” mengutip penelitian yang bertajuk “Plastics Poison The Workplace II: Chemical Exposures to Plastic Waste and Recycling Workers in Kenya and Thailand”.

Hasil penelitian menunjukkan, seluruh pekerja yang memakai gelang silikon terekspos banyak jenis campuran bahan kimia dari plastik. Di Thailand, masing-masing pekerja paling tidak terekspos 21 jenis bahan kimia, sementara di Kenya sekitar 30 jenis. Jenis phthalates yang bersifat pengganggu endokrin ditemukan sebagai jumlah terbanyak dari seluruh jenis senyawa kimia lainnya.

Senyawa phthalates terkonfirmasi sebagai senyawa berbahaya yang berdampak untuk kesehatan. Senyawa ini berbahaya untuk reproduksi, menurunkan testoteron dan estrogen levels, dan berefek untuk kesuburan bagi lintas generasi. Senyawa ini juga diasosiakan sebagai penyebab kenaikan tekanan darah, obesitas, anemia, hingga tingginya tingkat keguguran pada wanita hamil. Sementara jenis senya kimia lain memiliki dampak buruk terhadap kesehatan dan mengarah pada penyakit tertentu.

“Selain itu, jumlah bahan kimia yang terdeteksi di setiap gelang menimbulkan kekhawatiran akan efek gabungan, karena efek campuran bisa lebih tinggi daripada efek masing-masing bahan kimia,” merujuk kesimpulan dari penelitian ini.

Perlu dicatat juga bahwa studi ini tidak mencakup bahan kimia lain yang banyak digunakan dan menjadi perhatian seperti pestisida, paraben, penghambat api brominasi, dan lainnya. Oleh karena itu, sangat mungkin bahwa peserta dalam studi ini, serta semua orang lainnya, terpapar lebih banyak bahan kimia berbahaya dalam kehidupan sehari-hari.

Insinerator Dianggap Solusi

Kota Bandung salah satu kota di Indonesia yang terus menghadapi krisis sampah berkepanjangan. Sampai saat ini pemerintah kota masih menganggap insinerator atau metode pembakaran sampah sebagai solusi yang tepat. Kabar terbaru, Kepala Bidang Pengelolaan Persampahan dan Limbah B3 Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bandung Salman Faruq mengatakan penggunaan insinerator tetap dilakukan dengan memperhatikan aspek lingkungan dan ketentuan dari pemerintah pusat.

"Insinerator yang ramah lingkungan tentu saja merupakan solusi yang dirasakan cukup signifikan untuk menanggulangi keadaan saat ini," ujar Salman, dalam keterangan resmi, Jumat 10 Oktober 2025. 

Ia menjelaskan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengeluarkan surat edaran terkait penggunaan teknologi termal, yang memuat syarat dan kriteria bagi daerah yang akan menerapkan sistem tersebut.

“Menteri LH telah menerbitkan surat edaran terkait penggunaan teknologi termal. Di situ disampaikan kriteria-kriteria persyaratan yang harus dipenuhi, termasuk baku mutu emisi yang harus sesuai dengan Permen LH Nomor 70 Tahun 2016,” jelasnya.

Dengan acuan itu, ia mengatakan Kota Bandung masih dapat menggunakan teknologi termal untuk mengatasi pengurangan kuota pembuangan sampah. 

“Harapan kami, acuan tersebut masih bisa digunakan, sehingga penggunaan teknologi termal di daerah bisa dilakukan untuk menanggulangi pengurangan kuota ke TPA Sarimukti,” tambahnya.

Saat ini, menurut Salman, terdapat 6 atau 7 insinerator aktif di Kota Bandung yang tersebar di beberapa wilayah, antara lain Bandung Kulon, TPS Patrakomala, dan Babakan Sari. Kapasitas setiap insinerator berbeda-beda, dengan skema pengelolaan oleh pemerintah maupun melalui kerja sama dengan pihak investor.

Tahun 2025 ini, Pemkot Bandung melalui anggaran kecamatan dan DLH akan menambah enam unit insinerator baru di sejumlah kecamatan, seperti Sukasari, Mandalajati, dan Rancasari. Setiap insinerator ditargetkan mampu mengolah hingga 10 ton sampah per hari. Hal itu juga sebagai bagian dari strategi percepatan pengurangan sampah di wilayah perkotaan.

“Targetnya, setiap insinerator bisa mengolah 10 ton per hari. Tahun ini ada enam kecamatan yang mengajukan permohonan pemasangan,” katanya.

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//