• Buku
  • RESENSI BUKU: Menyusuri Luka Sunyi Gregor Samsa dalam Metamorfosis Karya Franz Kafka

RESENSI BUKU: Menyusuri Luka Sunyi Gregor Samsa dalam Metamorfosis Karya Franz Kafka

Semua orang pernah seperti Gregor Samsa, bukan soal perubahannya menjadi kecoa. Kita pernah merasa asing di lingkungan kita sendiri.

Buku Metamorfosis karya Franz Kafka yang diterbitkan Kakaktua. (Sumber: Tangkapan Layar Penerbit Kakaktua)

Penulis Muammar Daffa Mauladani 19 Oktober 2025


BandungBergerak - Bayangkan kamu bangun-bangun pagi, leher yang pegal, badan berat, dan pas kamu lihat tubuh kamu tidak seperti yang biasa kamu kenali, tapi berubah menjadi seekor kecoa, bertubuh hitam, kaki yang banyak. Dan yang pertama terbesit di pikiran adalah kamu telat kerja.

Begitu Franz Kafka sang penulis membuka cerita yang legendarisnya yaitu Metamorfosis. Tanpa perkenalan, tanpa basa-basi, kita langsung dilempar pada pikiran absurd kehidupan Gregor Samsa, seorang sales keliling yang suatu pagi mendapati dirinya telah berubah menjadi seekor serangga raksasa. Meski di buku versi Jerman-nya Kafka tidak mengatakan Gregor Samsa berubah menjadi seekor kecoa, tapi orang-orang menafsirkan bahwa itu seekor kecoa.

Tetap Harus Bekerja ke Kantor

“Ketika Gregor Samsa bangun sesuatu pagi dari mimpi-mimpi gelisah, ia mendapati dirinya di tempat tidur telah berubah menjadi serangga raksasa,” demikian kalimat pertama yang ikonik dari novel Metamorfosis.

Namun yang menjadi aneh dan sedikit merinding bukan mengapa dia menjadi seekor serangga melainkan mengapa dia tidak meminta tolong atau panik. “Bagaimana cara saya berangkat kerja dalam keadaan begini,” pikir Gregor.

Pembaca langsung diperlihatkan bagaimana tekanan sosial begitu merusak hingga ke tulang. Bahkan ketika Gregor sudah bukan bertubuh manusia yang dia pikirkan masih target kerja dan bosnya yang galak. Momen ini bikin kita berpikir “Berapa banyak dari kita yang sudah kehilangan rasa akan diri sendiri karena terjebak dalam rutinitas dan tuntutan hidup?”

Perubahan radikal pada fisik Gregor bikin orang-orang di sekitarnya panik. Sang ibu pingsan, sang ayang marah besar, dan manajernya kabur. Orang-orang bukan iba atau kasihan, Gregor malah dikucilkan. Mereka jijik dan takut. Padahal dia adalah tulang punggung keluarga. Tapi begitu dia “berubah” semuanya langsung jaga jarak. Di sini kita bisa melihat bahwa “cinta, rasa hormat sering kali hanya berlaku selama kita berguna.”

Saat Rumah Jadi Penjara dan Kamu Jadi Makhluk Tak Dianggap

“Ia bahkan tidak lagi menganggap Gregor sebagai saudaranya…. Baginya Gregor kini hanyalah seekor binatang.”

Adiknya yang masih peduli pada Gregor masih sering membawakan makanan bersih. Tapi kepedulian ini bercampur dengan rasa takut.

Ada satu momen tragis menimpa Gregor saat ia memanjat dinding kamar lalu ketahuan oleh sang ibu yang langsung pingsan. Sang ayah melemparnya dengan buah apel. “Salah satu apel, dilempar sembarangan, mengenai Gregor di punggung dan langsung menancap. Luka itu tetap terbuka selama berbulan-bulan.”

Luka itu bukan sekedar luka fisik, tapi simbol dari luka dan emosi yang dibiarkan, tak terurus hingga membusuk. Gregor yang dahulu merupakan tulang punggung kini menjadi makhluk yang justru diasingkan dan ditakuti oleh keluarganya sendiri. Ia menjadi makhluk yang tidak diinginkan, tak ada percakapan, tak ada permintaan maaf, hanya diam dan sunyi yang ia dapatkan.

Rumah yang dulu tempat paling nyaman dan aman kini berubah menjadi penjara atau kendang baginya. Di sini Kafka memperlitkan bahwa keluarga sekalipun bisa membuang secara perlahan, diam-diam, tanpa rasa bersalah.

Mati Tanpa Isak Tangis, Dibuang seperti Debu

Seiring berjalannya waktu, walaupun Gregor merasakan waktu berjalan sangat lambat, fisiknya terus melemah, luka di punggungnya tak sembuh-sembuh. Ia sudah tidak makan karena kehilangan nafsu makan, bahkan sang adik, Grete, sudah menyerah untuk memberinya makan.

”Kita harus menyingkirkannya. Itu bukan lagi Gregor. Kalaupun itu memang Gregor, dia pasti sudah pergi dengan sendirinya menjaga kita semua,” kata Grete, berbicara pada kedua orang tuanya.

Kata-kata itu menghancurkan Gregor. Ia tidak marah, tidak berontak, dia hanya diam dan kembali masuk kamar atau kandang. Pada malam itu ia mati, sendirian, tanpa isak tangis, tanpa pamit. Dia ditemukan pada keesokan harinya oleh sang pembantu rumah yang langsung bilang “sudah selesai”.

Yang paling miris adalah keluarganya sendiri mereka merasa lega dan merasa sudah tidak memiliki masalah. Mereka bebas menikmati udara segar, mereka bahkan langsung membahas rencana pernikahan Grete.

“Tak ada pemakaman, tak ada kenangan, Gregor, sang pahlawan keluarga, menghilang seperti tak pernah ada,” tulis Kafka.

Kafka berhasil memperlihatkan pada kita bahwa dunia bisa secepat itu meninggalkan kita, sebagaimana kita tidak lagi dibutuhkan atau tidak berguna bagi mereka. Pemaknaan “kecoa” bisa menjadi macam-macam pada kita sekarang, bisa jadi itu ekonomi, penyakit mental, kemiskinan, disabilitas, pengangguran, penyakit. Semua itu membuat orang yang tadinya sangat dekat dan sangat kita percayai menjadi menjauh atau bahkan tidak peduli. Mereka menjadi sangat asing dengan kita karena tidak sesuai lagi dengan ekspektasi. Kita sudah dianggap tidak berguna lagi.

Baca Juga: RESENSI BUKU: Bersimpuh di Ujung Perjalanan
RESENSI BUKU: Resep Gerakan yang Matang itu Bernama Pendidikan Politik

Kita Semua Pernah Menjadi Gregor

Apa yang dialami Gregor merupakan pengalaman umum yang pernah dialami semua orang, bukan soal perubahannya menjadi kecoa. Kita pernah merasa asing di lingkungan kita sendiri, baik di rumah, pekerjaan, sekolah atau apa pun bentuk tempat kita beraktivitas. Siapa yang merasa dirinya tak dilihat orang, dianggap tak ada, atau hanya sekadar didengarkan saja? Ini terjadi karena dia belum memenuhi ekspektasi dan pengharapan orang lain. Artinya ida pernah menjadi Gregor.

Ini bukan cerita horor, bukan tentang serangga, buku ini menceritakan bagaimana dunia sangat cepat berubah dan berhenti mencintai kita saat kita gak lagi bisa memberi. Cerita ini tentang tempat paling aman, nyaman, dan berubah menjadi penjara. Dia terluka tapi dibiarkan tanpa diobati. Tidak ada yang peduli sampai dia mati pelan-pelan di tengah orang yang dicintai.

Luka di punggung oleh sebuah apel bukan hanya tentang sebuah luka semata, melainkan melambangkan terlukanya sang tulang punggung oleh orang-orang terdekat. Luka itu membusuk dan menjijikan.

Kafka tak memberi solusi, ia tak mengajari kita bagaimana jadi kuat. Lewat Gregor ia mengajarkan: bahwa rasa sakit paling menyiksa adalah ketika kamu masih ingin dicintai, tapi dunia sudah berhenti melihatmu sebagai manusia.  

Dalam dunia yang serba cepat ini, ekspektasi sosial dalam tuntutan pekerjaan terkadang membuat kita lupa memeriksa kondisi perasaan kita sendiri. Sama seperti Gregor yang masih memikirkan tentang pekerjaan walau tubuhnya sudah bukan dirinya. Dia sering menekan atau melupakan perasaan dan kesehatan mentalnya demi memenuhi peran dan ekspektasi orang lain.

Ya, dia sudah tidak sadar bahwa dia kehilangan dirinya sendiri. Sama seperti orang-orang yang telah mengalami perubahan besar dalam hidupnya, misalnya kehilangan pekerjaan, karena kegagalan dalam usahanya, perceraian, atau sakit. Dia menjadi bukan siapa-siapa, dia asing dalam keluarga atau lingkungan seperti Gregor.

Lebih dari itu buku Metamorfosis mengingatkan bahwa ketika seorang “berubah” atau mengalami kesulitan, orang-orang akan meresponsnya dengan pintu terbuka atau malah sebaliknya?

Kadang kita menjadi orang yang mengasingkan, kadang menjadi yang terasing. Kafka dengan tajam menyentil sisi paling sunyi dan gelap bahwa tidak semua orang mendapatkan ruang untuk “berubah” dan diterima apa adanya. Jadi, saat kamu atau bahkan seseorang sedang berada di titik berat dan berubah, ingatlah Gregor Samsa. Jangan biarkan dia sendirian dalam gelap dan sunyi. Karena pada akhirnya yang paling manusiawi bukan bentuk fisik tapi bagaimana kita saling melihat, mendengar, menerima walaupun dalam keadaan paling berbeda sekalipun.

Informasi Buku

Judul: Metamorfosis

Penulis: Franz Kafka 

Penerbit: KAKATUA

Tebal: 84 halaman.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//