• Berita
  • Pameran Bandung Photography Month 2025: Merenungkan Karya-karya Fotografi di Pinggir Jalan

Pameran Bandung Photography Month 2025: Merenungkan Karya-karya Fotografi di Pinggir Jalan

Bandung Photography Month 2025 melibatkan 37 seniman dan 25 penulis. Pameran foto dilakukan di tujuh titik di Kota Bandung.

Bandung Photography Month 2025 menyelenggarakan festival fotografi mengusung tema Absen di tujuh titik di Kota Bandung, 16 Oktober 2025. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam17 Oktober 2025


BandungBergerakBandung Photography Month 2025 menyelenggarakan festival fotografi tahunan berskala lokal yang ke-10, kali ini dengan tema Absen. Pameran yang berlangsung dari 16 Oktober hingga 16 November 2025 ini menegaskan bahwa fotografi tidak akan absen dalam menyuarakan kemanusiaan.

Mengambil tempat di tujuh lokasi berbeda di Kota Bandung, dengan jarak satu kilometer dari Pasar Antik Cikapundung, pameran ini menyajikan karya-karya fotografi yang mengajak pengunjung untuk tidak hanya melihat, tetapi juga merenungkan makna yang lebih dalam di balik setiap gambar.

Pameran dibuka pada Kamis, 16 Oktober 2025, berkolaborasi dengan Bandung Art Protest melalui aksi bela Palestina di Palestine Walk, Alun-Alun Kota Bandung. Uniknya, beberapa foto juga dipajang dalam bentuk poster saat aksi berlangsung, memotret perjalanan solidaritas Bandung Art Protest untuk Palestina.

Bandung Photography Month melibatkan lebih dari 37 seniman dan 25 penulis, yang masing-masing berkontribusi dengan karya dan narasi yang saling melengkapi.

Salah satu aspek yang mencuri perhatian adalah konsep pameran yang tidak terpusat di satu tempat saja. Foto-foto ini tersebar di berbagai lokasi, termasuk di gang sempit di Jalan Banceuy, basement Pasar Antik Cikapundung, hingga toko buku Pelagia di Kebon Jati. Hal ini memberikan pengalaman berbeda bagi pengunjung yang dapat menikmati karya sambil melanjutkan aktivitas sehari-hari.

Di salah satu lokasi, gang Atmajaya di Jalan Banceuy, pengunjung disuguhkan lima foto yang dipajang di dinding putih pudar, menciptakan suasana yang harmonis dengan lingkungan sekitarnya.

Baskara Puraga, kurator pameran, menjelaskan bahwa karya-karya yang dipajang di sini tidak hanya sekadar foto dalam bingkai. Foto-foto tersebut telah diedit dengan latar belakang hitam atau putih polos, menciptakan kesan bahwa karya tersebut bersifat terbuka untuk interpretasi.

“Salah satu tujuan pameran ini setiap orang bisa menikmati karya tanpa ada batas,” ungkap Baskara.

Karya-karya yang dipamerkan dalam Absen mengolah berbagai tema seperti politik, sosial, budaya, dan tema-tema pribadi si pengkarya yang menjadi bagian dari eksplorasi visual yang disajikan.

Di lokasi basement Pasar Antik Cikapundung, sebuah karya yang menarik perhatian adalah foto tentang titik nol IKN yang diambil jauh sebelum pembangunan IKN dimulai. Foto ini dihadirkan dengan narasi penuh humor yang disampaikan oleh sang pengkarya, Adrian dari Jakarta.

"Katanya sih itu titik nol Indonesia, tapi nggak tahu koordinatnya dari mana," kata Adrian.

Sementara itu, di Jalan Braga, ada karya yang menyentuh tentang tragedi Kanjuruhan. Dalam satu bingkai, terdapat dua gambar dengan warna hitam polos, nyaris tak terlihat, hanya teks yang terpampang jelas: "Kanjuruhan: Pintu darurat hanya terbuka untuk nama baik aparat." Teks ini memberikan ruang bagi pengunjung untuk mengimajinasikan makna di balik foto yang disembunyikan.

“Keberadaan teks ini tuh membuat foto atau gambar bisa terbayang di kepala. Agar foto tak hanya dibatasi oleh bingkai frame,” ujar Baskara.

Dalam tema Absen, pameran ini berusaha menciptakan ruang yang tidak penuh dengan gambar. Foto-foto yang ditampilkan sengaja disembunyikan sebagian, dengan menyisakan jejak warna, bayangan, atau bentuk samar. Konsep ini menjadi cara bagi para seniman untuk menunjukkan bahwa dalam dunia yang penuh visual, keheningan bisa menjadi bentuk perlawanan yang sangat kuat.

“Fotografi sejatinya adalah medium yang senyap. Keheningan ini adalah esensinya. Fotografi mencapai kekuatan justru ketika ia tidak dapat direduksi menjadi penjelasan verbal,” tutur Baskara.

Absen sendiri menurutnya mengajak pengunjung pada kesadaran bahwa dalam dunia yang bising oleh gambar, keheningan adalah bentuk perlawanan. Absen lanjutnya mengajak masyarakat bahwa melihat tidak selalu berarti menatap dan memahami tidak selalu datang dari yang tampak.

“Dalam dunia yang penuh representasi, absen mungkin menjadi satu-satunya bentuk kehadiran yang jujur,” tutupnya.

Baca Juga: Bandung Photography Month 2024, Memaknai Tanah Air dalam Bingkai Fotografi
Bandung Photography Month 2023: Memaknai Kota Kembang dengan Pameran Foto Maestro

Bersikap Lewat Fotografi

Wahyu Dhian, pendiri Raw Syndicate sekaligus penyelenggara festival ini mengungkapkan bahwa tema Absen diambil untuk berusaha membaur dengan masyarakat.

“Festival ini dibentuk menjadi festival untuk publik,” tuturnya.

Menurutnya, fotografi tak pernah absen untuk berada di sisi kemanusiaan, khususnya dalam konteks Palestina. Bandung Photography Month akan terus berada dan berupaya tetap di samping Palestina sampai merdeka.

“Ini adalah penegasan bahwa festival harus berpihak festival tidak boleh abu-abu, festival harus berada di sisi kemanusiaan, festival harus menyuarakan isu-isu yang tidak pernah didengar,” tegasnya.

Hal senada diungkapkan oleh Wanggi Hoed, seniman pantomime yang menegaskan bahwa melalui fotografi dan visual, bisa menjadi ikhtiar untuk lebih cepat mencapai kemenangan Palestina.

“Karena kita hidup dalam lingkaran dan terpapar dalam budaya-budaya visual yang terus-menerus kita dapatkan melalui gadget,” tandas Wanggi.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//