Bandung Photography Month 2023: Memaknai Kota Kembang dengan Pameran Foto Maestro
Bandung Photography Month berlangsung mulai 16 Oktober-16 November 2023. Karya fotografer legendaris Nico Dharmajungen dipajang di Jalan Asia Afrika.
Penulis Awla Rajul18 Oktober 2023
BandungBergerak.id - Bandung diidentikkan dengan Kota Kembang, meski sekarang julukan tersebut kian pudar dan berganti jargon setiap kepemimpinan baru. Namun istilah Kota Kembang ini sudah terlanjut melkat dan perlu dimaknai kembali. Hal inilah yang menjadi salah satu tema pada rangkaian pameran tahunan Bandung Photography Month (BPM) ke-8 tahun 2023 yang mengusung tema “Kembang, Asia Afrika, dan Ruangnya”.
Bandung Photography Month diselenggarakan Yayasan Raws Syndicate selama sebulan penuh sejak 16 Oktober hingga 16 November 2023. Pada awal pekan ini, BPM ke-8 dibuka dengan dua pameran, yaitu pameran dengan tema “Citra Kota dalam Pariwisata” yang dipamerkan di Jalan Dalem Kaum serta pameran “Flowers of Life” karya Nico Dharmajungen, seorang fotografer maestro fine art legendaris yang dipajang di Jalan Asia Afrika.
Direktur Festival BPM Wahyu Dian menyampaikan dengan menghadirkan karya fotografer terdahulu, dalam hal ini Nico Dharmajungen, diharapkan dapat memantik fotografer untuk membaca, melahirkan karya baru, atau berusaha mengarsipkan karya-karya fotografer terdahulu.
Nico Dharmajungen adalah fotografer fine art Indonesia yang berkiprah sejak 1948-2020. Ia meninggal dunia di usianya yang ke-72 dan dikenal dekat dengan anak muda.
“Satu yang menarik dari pak Nico adalah bagaimana fotografi bisa menjadi gairah. Lu jangan sampai putus, passion gitu, kalau gak lu mati. Gua sampai setua ini masih punya passion yang kalau gua sekarang bisa motret ya motret gua, dan itu yang membuat gua hidup,” kenang Wahyu akan ungkapan Nico pada sesi diskusi “Membaca Kembali Bandung sebagai Kota Kembang” melalui karya Flower of Life di Red Raws Center, Pasar Antik Cikapundung Lantai 3, Senin malam, 16 Oktober 2023.
Diskusi juga dihadiri Refaldi salah satu murid Nico dan Juan, putra kandung Nico. Pembahasan diskusi sempat membahas kenangan, romantisme, dan teknik unik yang digunakan oleh Nico pada karya-karyanya.
Wahyu mengamini dan tertarik dengan rencana membuat arsip-arsip dari karyanya Nico lalu dipajang di suatu galeri khusus. Menurutnya hal itu bisa menjadi wadah pembacaan ulang, perlunya fotografi dan bagaimana gagasan diwacanakan melalui fotografi dengan tidak hanya mengungkap bagaimana menghasilkan karya, tapi juga sisi lain yang harus diungkap.
Ia mengaku sering mengarahkan untuk membuat riset tentang fine art dengan objek dari karya tokoh yang melegenda dan menjadi tempat belajar banyak fotografer itu.
“Itu juga yang perlu dari orang-orang kampus untuk membuat riset tentang fine art. Selama ini kan fine art itu ke siapa, ke luar lagi yang dipake (sumber fotografer). Padahal di Indonesia juga ada tokoh-tokohnya. Mungkin prnya orang yang dibalik fotografer ini bisa jadi supply data, supaya yang belum tau jadi tau yang pengen mendalami lagi jadi lebih dalam lagi,” ungkapnya lagi.
Flowers of Life karya Nico Dharmajungen baru pertama kali dipamerkan di luar galeri. Karya tersebut “dipinjam” untuk memantik kembali diskusi tentang Bandung sebagai Kota Kembang. Dua tujuan dari pameran ini untuk mempertanyakan ulang “Kota Kembang” sekaligus mengenalkan tokoh Nico Dharmajungen.
Konsep lainnya yang diambil adalah memamerkan karya-karya maestro ke jalanan. Namun bukan berarti merendahkan karya, tapi berharap mendapatkan respons baru dari khalayak yang lebih luas. Karya milik Nico itu pun sesuai dengan tema besar yang diusung BPM ke-8 pada tahun ini, yaitu Kembang, Asia Afrika dan ruangnya. Sebab apalah arti menciptakan sebuah karya bila tidak dinikmati dan berguna untuk masyarakat.
“Kenapa kita tidak memamerkan karya seni yang adiluhung dalam tataran publik gitu. Bukan berarti men-downgrade karyanya, tidak. Tapi memberi value pada karya dalam bentuk presentasi yang lain dan bentuk experience yang lain. Mungkin bisa dinikmati oleh kelas-kelas yang berbeda dan tidak hanya jadi diskusi yang sulit dijangkau,” tutupnya.
Koordinator kurator pameran Bagaskara Puraga menyebutkan, banyak fotografer lainnya yang membuat karya tentang kembang dengan berbagai pendekatan maupun wacana. Nico dipilih karena ia dekat dengan anak muda meski ada gap usia dan banyak yang belum mengenal sosok fotografer yang memulai karier fotografinya di Jerman.
“Di situ kita melihat penting untuk memperkenalkan kembali, selain memperkenalkan orangnya juga karya-karyanya dan kebetulan sangat pas bahwa karyanya membicarakan tentang kembang yang kebetulan kami rasa sesuai dengan tema,” ungkap Bagaskara, usai sesi diskusi kepada BandungBergerak.id.
Ia juga menyebut karya Nico pertama kali dibawa ke ruang publik, yang biasanya mejeng di galeri diharapkan bisa memberikan pengalaman dan pembacaan wacana yang berbeda. Meski Nico membuat karya foto bunga dengan teknik koreografi khusus itu bukan untuk Kota Bandung. “Siapa tau bisa memantik diskusi dan wacana baru,” sambung Baskara.
Empat karya foto Nico Dharmajungen berjudul “Flowers of Life” itu dipajang di Jalan Asia Afrika, di seberang gedung Kantor PLN.
Baca Juga: Sengat Jalanan Fotografi Alternatif
Pameran Foto Kisah Senyap, dari Penggusuran Tamansari hingga Kerusakan Sungai di Papua
Membingkai Ingatan dalam Selembar Foto Wajah
9 Pameran dalam Sebulan
Bandung Photography Month setiap tahunnya rutin diselenggarakan oleh Yayasan Raws Syndicate. BPM ke-8 yang bertemakan Kembang, Asia Afrika dan Ruangnya akan diadakan selama sebulan penuh sejak 16 Oktober hingga 16 November. Ada sekitar sembilan pameran yang akan diadakan beserta diskusi karyanya.
Baskara menyebut, BPM tahun ini merupakan pengalaman pertama pamerkan karya di luar ruangan. Momen ini menjadi pelajaran tentang bagaimana menaruh karya di luar ruangan, merawatnya, serta material yang dipilih. Keputusan ini muncul karena berkaitan dengan tema, di mana Asia Afrika selalu lekat dengan jalannya, baik bagi warga maupun wisatawan.
Ia mengakui, idealnya pameran dilakukan di dalam ruangan. Namun dengan memamerkan karya, terdapat tembok pembatas antara karya dengan siapa yang menikmatinya. “Sedangkan kalau di publik, rasa-rasanya kita berusaha mendobrak batas itu. Agar ya siapa pun orangnya yang tidak punya intensi melihat pun jadi melihat, jadi membaca, jadi menikmati,” ungkapnya.
Raws Syndicate sendiri kerap membuat pameran di Lantai 3 Pasar Antik Cikapundung. Pameran itu lalu dinikmati oleh siapa saja, secara acak. Dari sanalah kemudian mereka mendapatkan masukan-masukan menarik. Sebab salah satu tujuan dari pameran ini pula untuk mendekatkan fotografi kepada publik yang lebih luas.
“Kadang kita terlalu asik di circle atau buble kita sendiri yang merasa paham fotografi, sehingga kita lupa kadang bagaimana pandangan orang yang non-fotografi melihat karya itu. Naon sih pentingnya, misal jiga gitu. Ternyata pertanyaan itu kan kadang gak muncul dari lingkaran kita, justru dari orang lain. Itu yang menjadi tenaga buat kami untuk terus bereksplorasi,” cetus Baskara.
Adapun karya “Citra Kota dalam Pariwisata” dipamerkan di sepanjang Jalan Dalem Kaum pada kursi-kursi besi berkelir putih. Ada 16 karya foto pameris dari fotografer berbagai daerah Indonesia. Foto-foto itu didapat dari panggilan terbuka beberapa waktu lalu. Karya Nico Dharmajungen merupakan undangan kepada keluarganya dan sudah memperoleh izin dari salah satu galeri di Jakarta yang memiliki hak atas karya tersebut untuk dipamerkan dalam bentuk yang berbeda.
Baskara membeberkan, selama sebulan ke depan ada beberapa pameran yang akan diselenggarakan dengan diskusi karyanya. Tanggal 21 Oktober mendatang pembukaan pameran dari Asosiasi Profesi Fotografi Indonesia Jawa Barat di Lantai 3 Pasar Antik Cikapundung. Pameran ini akan memamerkan foto-foto lanskap yang membahas tentang mempertanyakan kembali istilah Mooi Indie dan memaknaiknya pada fotografi.
Pada tanggal 22 Oktober pembukaan pameran foto buku dari Malaysian Photobook Archive di Galeri Indeks. Akan ada pula pameran pembacaan terhadap buku-buku foto Indonesia dari berbagai contributor baik ulasan maupun artikel. Lalu tanggal 28 Oktober pembukaan pameran di Jembatan Kampung Braga.
“Yang berpameran ada seorang fotografer dari Cirebon, Yuga namanya. Tahun lalu dia mendapatkan funding grant dari Artaka, sebuah platform dari Hongkong untuk berkarya, berproses selama setahun. Jadi kita pamerkan nanti di situ,” lanjut Baskara.
Lalu pada 4 November pembukaan pameran serentak di Kampung Braga. Pameran akan diadakan di Balai RW, depan rumah warga, dan lokasi lainnya yang berbaur dengan warga. Yang dipamerkan di antaranya karya foto Spektrum Unpad, Glosarium Unikom, Raws Attack Class, serta pameran partisipatoris dengan warga Kampung Braga.
“Sudah mulai mengadakan workshop fotografi, membuat karya cetak fotografi dengan metode antotipe. Lalu ada pameran tulisan-tulisan yang kita kumpulkan dari warga Kampung Braga tentang harapannya akan Kota Bandung. Jadi itu nanti akan dipamerkan barengan semua di situ,” tutupnya.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Awla Rajul, atau juga artikel-artikel tentang Pameran Foto