RUANG RENUNG #2: Sengat Jalanan Fotografi Alternatif
Teka-teki petualangan visual dimulai dengan jemuran foto di Bandung Photography Month 2022.
Mardohar B.B. Simanjuntak
Penulis adalah dosen di Fakultas Filsafat Unpar. Gemar mengirimkan refleksinya tentang kehidupan sosial.
19 Oktober 2022
BandungBergerak.id - Sebuah gudang pengap dengan tumpukan barang, pajangan, dan jemuran; itu mungkin kesan pertama yang kita tangkap saat masuk ke dalam ruang pamer venue pertama Bandung Photography Month 2022 – sebuah festival, perayaan, foto tahunan yang masuk dalam agenda budaya Kota Bandung. Namun pancaindera kita bisa menipu, dan kita gagal masuk ke lapisan pengalaman kedua yang sebenarnya masih bisa kita gali.
Taman Bermain Fotografi
Seperti saat masa remaja – masa SMA – kita pernah kesal dengan teman sebangku sepergurauan yang mengusili dan menjahili kita dengan candaan tanah yang ada dalam bungkus makanan, kita bisa terlanjur jengkel dan akhirnya melupakan rasa sayang pertemanan yang sebenarnya terselip dalam cekikikan dan gurau lepas. Sang teman yang jujur, tulus, dan utuh; seperti sosok ideal manusia dalam naturalisme primitif ala J.J. Rousseau.
Mari kita tarik napas sebentar dan mulai menelusuri perlahan demi perlahan, mulai dari gerbang depan: kita disapa oleh jajanan sederhana yang bisa kita nikmati sebelum menyatukan diri kita dengan ruang pamer. Sebuah pesan tentang memberdayakan dalam menjamu; kontras dengan hidangan yang biasanya tersedia dalam berbagai acara – kita mulai dengan memberdayakan orang lain dan diri kita sendiri, secara ekonomi. Kemudian kita masuk ke dalam venue – yang segera mengagetkan kita dengan jejeran tumpukan kanvas di kiri dan kanan.
Teka-teki petualangan visual sebenarnya dimulai dengan jemuran foto yang ada dan merintangi lepasan pandangan visual kita. Benturan ini mengingatkan kita untuk membaca pameran ini secara terbalik – dan melihatnya semuanya dalam oposisi binernya: ini sebenarnya bukan gudang, tapi ruang. Ini pun bukan sekadar ruang, tapi sebuah kamar gelap ukuran raksasa. Tepat di hadapan jemuran negatif tadi ada tiga benda utama yang kita butuhkan untuk bereskperimen secara analog: kamera format besar di tengah, kamar gelap portabel di sebelah kiri, dan bak cetak sianotip di sebelah kanan.
Mari kita baca ketiganya secara terbalik: mereka bukan sedang dipamerkan – tetapi sedang dipergunakan. Kita bukan pengamat, tetapi fotografer, dan kita bukan sedang berkunjung, tapi memotret. Karya-karya yang berjejeran di dinding kiri dan kanan adalah kemungkinan karya-karya yang bisa kita hasilkan. Mereka bukan sedang dipamerkan oleh seniman – mereka akan kita pamerkan nanti. Karya-karya berjejer dalam spektrum seperti cahaya, menunjukkan semua kemungkinan yang menanti kita saat kita berkarya.
Keseluruhan pameran ini sebenarnya adalah sebuah undangan, dan sekaligus titipan. Kita diundang untuk memotret dan kita mendapatkan titipan untuk lepas dan bebas memotret. Di panel kiri dan kanan kita bisa melihat berbagai ukuran, berbagai kertas, berbagai kamera – analog tentunya – dan berbagai lensa. Bahkan setelah kita mengolahnya ke aplikasi seperti Photoshop, ada “Kang Ray Bachtiar” di ujung panel kanan yang memberi kita semangat untuk melebur dan mengacak hasil jepretan kita. Sekali lagi, kode terbalik yang didengungkan di depan seolah mengatakan ini bukan karya kami – ini “karyamu”.
Dian yang tak Kunjung Padam
Damar Jati, sang kurator venue Dian, mungkin memilih lokasi ini sebagai ruang antara yang menghubungkan res publica (ruang publik) dengan res privata (ruang pribadi). Dorongan untuk bergerak yang ada di ruang pamer seperti cerminan – heterotopia, kata Michel Foucault – dari segala gelegak arus Nietzschean yang mengalir deras di sekitar tapak-tapak arsitektur kolonial yang menghuni alun-alun. Sajian pameran dihidangkan dengan gaya teatrikal Artaudian, kenakalan yang sebenarnya menggugah untuk bergerak dan peduli.
Gerak masyarakat dengan segala kebebasan dan kelepasannya yang ada di berbagai jalan yang mendadak hidup terutama di Sabtu dan Minggu malam seolah dipantulkan dalam bayang-bayang bekas bioskop dari masa lalu itu. Ini poin yang menarik sekaligus menyentak: seluruh ruang pamer sebenarnya adalah kamera, dan seluruh karya adalah kertas foto yang merekam imaji kemanusiaan dalam momen-momen mereka yang paling jujur dan paling tulus. Venue memainkan tiga peran sekaligus: sebagai kamera, kamar gelap, dan studio.
Baca Juga: Kehidupan Biner Nol Sang Hikikomori di Tengah Megapolitan
Hati dan Api Unggun Peradaban Manusia
RUANG RENUNG #1: Menyeret Keluar Fotografi dari Kooptasi Media Sosial
Tantangan Tajam Pedang Bermata Dua
Meskipun demikian, pameran semacam ini bukan tanpa risiko. Tantangan terberat adalah begitu centang perenangnya teks semiotik yang dibentangkan kurator. Kemungkinan pengunjung untuk salah baca menjadi lebih dominan daripada kemungkinannya untuk berhasil. Akhirnya seluruh upaya menjadi sekadar bising dan bukan nada. Seperti pemutar lagu rusak yang menghasilkan kegilaan dan bukan keriaan.
Tantangan selanjutnya adalah beratnya beban yang diberikan ke atas pundak instrumen analog. Di sini yang terjadi adalah rayuan analogisme yang memberi kesan seolah-olah proses pradigital adalah kebenaran sejati; sebaliknya, varian medium apa pun dalam fotografi sebenarnya tidak menambahkan sesenti pun pada kebenaran fotografisnya.
Terakhir, tema yang terlalu lokal bisa membuatnya tidak relevan dan membunuh kemungkinan pesan apa pun. Pada saat itu terjadi, – petitio principii, dalam bahasa Latinnya – pameran ini pun kehilangan alasan untuk diadakan; yang tersisa hanya nihilisme ala berandalan jalanan.
Tampaknya risiko-risiko yang ada di depan mata lensa tersebut seperti diamini oleh sang kurator, dan sekitar 22 orang seniman – demikian mereka menyebutnya – yang terlibat di gelaran ini. Persis seperti para “adrenaline junkies” yang tidak kenal rasa takut – terutama takut akan kegagalan. Namun sekali lagi, nekat bukan tekad, dan pesan bukan pepesan kosong. Sekarang, lepas dari apa pun itu, kesetiaan mereka pada agenda tahunan tetap harus disambut dengan jabatan tangan.