RUANG RENUNG #1: Menyeret Keluar Fotografi dari Kooptasi Media Sosial
Bandung Photography Triennale 2022 yang berlangsung 8 September hingga 31 Oktober 2022 berusaha mengembalikan fotografi ke makna asalnya.
Mardohar B.B. Simanjuntak
Penulis adalah dosen di Fakultas Filsafat Unpar. Gemar mengirimkan refleksinya tentang kehidupan sosial.
6 Oktober 2022
BandungBergerak.id - Salah satu “trik pasaran” untuk mengelabui massa adalah dengan membuatnya dalam jumlah banyak. Angka memang unik – seperti mantra penyihir yang membuat kita bisa tertegun dan melakukan apa saja. Hitler melakukannya dengan politik identitas di masa awal kekuasaannya dengan membanjiri masyarakat dengan kebohongan. Semua omong kosong yang digadang-gadang Hitler akhirnya menjadi kebenaran di kepala setiap orang yang melihatnya setiap hari tanpa ada narasi tandingan sebagai lawan sepadan, verasitas atau kebenaran pun kalah dengan viralitas.
Sekitar seratus tahun kemudian, fotografi mengalami nasib yang serupa, meski tak sama persis. Bila Hitler menarik omong kosong menjadi kebenaran, maka fotografi menjadi terlalu massal untuk dianggap serius. Terlalu banyak yang baru membuat yang baru tidak pernah baru: “news” tidak lagi pernah cukup “new” untuk menggugah kita untuk bertindak. Terlalu banyak gambar membuat gambar tidak lagi berarti, apalagi bermakna. Sebuah foto akhirnya menjadi sama dengan kertas kosong; fotografi menjadi terlalu receh untuk dihargai sebagai tabungan.
Dua orang kurator Bandung, Asmudjo J. Irianto dan Henrycus Napitsunargo, melihat persoalan itu dalam acara akbar Bandung Photography Triennale 2022 – festival tiga tahunan. Festival fotografi yang baru pertama kalinya diselenggarakan di Bandung ini berlangsung dari tanggal 8 September hingga 31 Oktober.
Dientaskannya medium fotografi tidak lain untuk memberikan narasi alternatif dalam mengembalikan cara berkesenian ini kembali ke marwahnya. Sebuah tugas yang tidak mudah; apalagi yang dilawan adalah kooptasi kapitalistik dengan mesin-mesin perang media sosialnya.
Tema yang diangkat kedua pegiat tersebut pun tidak kalah garang dengan taring-taring tajam komodifkasi. Mereka mencoba menapaki jalur apofatik – via negativa – dengan mulai dari menyangkal keberadaan fotografi untuk kembali menemukannya. Apofatisme ini mereka tubuhkan secara verbal dalam The Future is Now, Dystopian Diffraction – difraksi distopis – sebagai lawan dari kooptasi utopis yang sebenarnya hanya ada di mimpi siang bolong di tengah rasa lapar dan kantuk yang menyergap. Serpihan-serpihan verum, kebenaran, akan muncul saat wujud arogan dari cakar profit dan benefit diremukkan hingga berkeping-keping.
Rangkaian kepingan itu akhirnya menjadi modal untuk membangun kembali fotografi kembali ke wujud kasunyataannya ke hakikatnya. Namun demikian, tidak mudah – bahkan dalam mitos mana pun – untuk mengalahkan lawan sekelas orochi dalam mitologi Jepang Kojiki, monster berkepala delapan. Sama seperti sang pahlawan dalam dongeng itu, Asmudjo dan Henrycus memilih untuk melakukannya tahap demi tahap.
Tahap pertama adalah dengan melihat ke bola kristal tentang destruksi – kehancuran yang mungkin muncul. Lewat tema Signs of Warning yang dikurasi Heru Hikayat dari Selasar Sunaryo Art Space, para seniman “cenayang” seperti Patriot Mukmin, Jim Ramer, dan Shiho Yoshida, dan sederet futuris lainnya, mencoba untuk meremukkan mimpi dan optimisme kosong lewat sentakan Sisipean – seperti mitos Sisipus yang membawa batu karang ke atas bukit hanya untuk menggelinding kembali ke tempatnya semula. Singkatnya, fotografi sekarang sedang mengarah pada titik kesia-siaan yang berakhir pada kehancuran. Namun demikian, sebuah titik harapan diselipkan oleh Sabrina Asche di salah satu sudut pameran – sebuah kisi-kisi tentang tubuh fotografi yang nanti akan bangkit.
Baca Juga: Di Balik Jerit Hantu Perempuan Indonesia
Membumikan Syahadat dan Bismillah sebagai Spirit Pembebasan
Hati dan Api Unggun Peradaban Manusia
Kembali ke Titik Nol
Setelah visi negatif dihadirkan, berikutnya di Galeri Ruang Dini dengan kurator venue Zusfa Roihan dengan tema Absence/Presence fotografi pun “ditelanjangi” dan dimentahkan sisi absolutnya – upaya asketik dan purgatoris untuk “menyucikan kembali”. Lewat tiga algojo, Alberto Marin Castro, Nguyen The Son, dan Sjuaibun Iljas, kebenaran fotografis disangkal dengan segera – saat itu juga. Yang benar dan hadir menjadi yang hampa dan absen. Presensi berdampingan dengan absensi – menafikan segala upaya untuk percaya. Singkatnya, semua akan kembali ke titik nol – seperti tema berikutnya, The Appearance of Disapppearance di Galeri Orbital Dago yang dikurasi Rifky Effendi.
Kali ini, para hermit petapa – Anh-thuy Nguyen, Iswanto Soerjanto, Jessica Arseneau, Michael Binuko, dan Sophie Chalk membawa kembali fotografi ke tahapan embrionik – persis seperti dongeng burung phoenix yang muncul sebagai anak burung dari abu bekas wujudnya semula. Fotografi seolah dikembalikan ke alfabetnya: f-o-t-o-g-r-a-f-i, kembali ke bentuk aslinya. Bentuk ini pun melahirkan berbagai keasingan – alienasi – yang uniknya bersifat konstruktif. Rekaman kejengahan ini pun diluapkan di galeri berikutnya, NuArt.
Lewat kurator venue Bob Edrian, sang fotografi yang lahir kembali dengan segala kejanggalannya yang membahagiakan, yang lepas dari dekapan menyesakkan “pasar”, pun dialbumkan dalam tema New-Self. Ibarat menyusun kembali kepingan cermin kembali ke wujud asalnya, bayangan di dalamnya akan hadir kembali dengan wujud yang baru, meski yang bercermin – sang fotografi – masih sama. Di sini para penyihir seperti Peter Fitzpatrick, Ryota Katsukura, Agan Harahap, Kang Jaegu, Gun Ketwech, dan Arum Dayu merapal mantra dan menghadirkan sosok-sosok baru dalam keremajaan dan undangan rasa ingin tahu. Konstruksi baru pun siap tercipta – yang tak lagi didikte oleh komersialisme semata.
Di Lawangwangi, dengan kurator venue Danuh Tyas Pradipta, tema Reality Reconstruction pun dihadirkan. Di sini para pejuang seperti Kelly Hussey-Smith dan Allan Hill, Laurent Millet, Oh Soon-Hwa dan berbagai nama lainnya menghadirkan kembali sosok fotografi baru yang segar dan didekati dari sudut mana pun, lama dan baru, canggih dan klasik, serta menggelitik dan nostalgik. Singkatnya wujud distopis yang menakutkan menjadi akrab bagi kita. Topeng utopis yang sudah dilepaskan menjadi tidak relevan lagi; kita siap menggumuli realitas baru tanpa kosmetik plastik berlebihan.
Berhasil atau tidaknya misi kedua kurator utama, Henrycus dan Asmudjo, yang digawangi oleh sutradara Deden Hendan Durahman, tentu belum dapat kita jawab sekarang. Namun satu hal yang pasti dan tidak dapat kita sangkal adalah sebuah tawaran telah disajikan kepada kita. Sebuah proposisi tentang verasitas fotografi – yang dikembalikan ke marwahnya setelah dibersihkan kembali dari debu-debu dan gebu-gebu pasar, investasi, dan segala sesuatu yang membuat harapan kita menjadi utopia yang penat dan sesak.