Hati dan Api Unggun Peradaban Manusia
Manusia menciptakan teknologi kemudian dikuasai teknologi tersebut. Manusia bisa melawannya dengan jeda.
Mardohar B.B. Simanjuntak
Penulis adalah dosen di Fakultas Filsafat Unpar. Gemar mengirimkan refleksinya tentang kehidupan sosial.
10 November 2021
BandungBergerak.id - Manusia tidak pernah bisa lepas dari hangatnya api unggun, rupanya. Kedekatan, kenangan, dan harapan selalu menjadi ramuan tak terpisahkan dari pesona keintiman sosiologis semacam itu. Singkatnya, manusia tidak pernah bisa lepas dari “menjadi ada bagi yang lain” yang digulirkan melalui narasi dari indra ke indra yang lahir dari dalam hati.
Inilah yang menjadi tema besar dari acara menyambut Bulan Bahasa Unpar 2021: “Bercerita lewat Ilmu, Berpuisi dengan Hati”, yang menjadi bagian semarak dari gelagat dan geliat Bulan Bahasa Indonesia yang diselenggarakan secara nasional. Acara ini menghadirkan tiga pembicara utama: penyair Joko Pinurbo, filsuf dan budayawan Bambang Sugiharto, serta pengajar dan peneliti Sylvia Yazid.
Kemanusiaan kita berjangkar dari dalam hati, kata Joko Pinurbo. Hati adalah obat penawar dari otak yang penat dan raga yang lelah oleh himpitan modernitas dan teknologi yang tidak pernah mengenal kata jeda dan tanda koma: semuanya sambung menyambung hingga tanda titik. Himpitan tantangan hidup membuat kita bak seekor hamster yang terus berlari di rel yang berputar dan tidak bergerak satu sentimeter pun.
Teknologi memang mengizinkan kita menaklukkan yang lain, terutama alam – realitas objektif – yang tunduk pada kedigjayaan manusia. Namun di sisi sebaliknya, kita malah ditundukkan oleh teknologi yang kita ciptakan. Dulu, telepon kabel kita potong taringnya dan kita ikat ke dinding; sekarang, telepon genggam balik menggenggam dan cakarnya meremukkan kita.
Namun, bukan manusia namanya bila tidak melawan. Kita bisa melawan dengan berbagai cara, meskipun tidak semudah itu melawan sesuatu yang secara harfiah telah menyusui dan mengasuh semua alat bantu kita mutlak butuhkan. Bukan manusia pula bila kita membiarkan diri kita remuk begitu saja. Lawan, pesan Pinurbo, dan baginya, kekangan teknologis bisa dilawan lewat jeda: lewat silencium – lewat keheningan.
Baca Juga: Unpar Perkenalkan Pelajar SMA pada Ilmu Bisnis Digital dan Filsafat
Kehidupan Biner Nol Sang Hikikomori di Tengah Megapolitan
Bisakah Kita Hidup tanpa Polisi?
Adu Cepat Melawan Fast Fashion
Mengenal Ragam Kejahatan Siber
Melawan dengan Jeda
Tidak mudah memang mewujudkan keheningan. Kekuatan komputasi (prosesor) meningkat 10 miliar kali lipat dari pendahulunya di zaman tabung di era Perang Dunia Kedua, kaji pakar komputasi Ray Kurtzweil. Ini diikuti dengan efisiensi yang sekarang menyentuh “batas psikologis yang sulit kita cerna”: kita hanya butuh nol watt untuk setiap jutaan instruksi komputasional per detik (Kurzweil, 2005).
Dengan kecilnya jumlah watt yang dibutuhkan, proses komputasi menjadi semakin ringan dan lincah; telepon seluler pintar menjadi sangat perkasa dan invasif. Telepon yang pernah kita tundukkan sekarang balik memperbudak kemanusiaan kita: tidak pernah ada satu kali dua puluh empat jam yang bisa kita lewati tanpa kehadiran detik yang tergenggam rapat oleh sinyal satelit.
Manusia, seperti yang ditukas oleh filsuf Nick Bostrom, adalah calon pengganti semut pekerja dari peradaban lanjutan yang tidak akan pernah kita miliki lagi. Peran kemanusian kita diredam oleh dan menjadi senyap dalam bisingnya dominasi teknologi yang menyesakkan keseharian kita.
Jeda adalah perlawanan itu. Jeda adalah hati manusia sesungguhnya, yang menubuh lewat puisi. Puisi memberi raga pada roh jeda yang melayang-layang di atas ruang hidup sang homo sapiens ini. Meskipun demikian, hati dalam puisi tidak sepenuhnya puitik lepas kendali, tetapi juga prosaik. Puisi punya rasionalitasnya sendiri. Seperti lagu, puisi juga bisa “fals” - tak beda dengan kata “salah” atau “keliru” dalam ilmu pengetahuan.
Cerita dan Data
Titik penubuhan ini adalah titik irisan dari hati, puisi, cerita, dan ilmu. Di titik lanjut ini, Bambang Sugiharto dan Sylvia Yazid memberikan catatan mereka tentang tempat sang hati bisa kita temukan selain dalam wujud puitik kepuisiannya. Cerita adalah habitus lain yang dihidupi oleh hati yang menjadi sumber ilmu.
Bagi Sugiharto, lentang lembar sejarah peradaban kita dipercikkan dari api unggun; cerita adalah ex ante – prekursor – ilmu. Keilmuan kita pada hakikatnya adalah cerita. Narasi adalah penyelamat kita dari terkaman binatang buas, dari dinginnya malam dan teriknya siang, dari ganasnya gempa, derasnya banjir, serta dari bantaian suku lain. Cerita adalah batu Rosetta penyintasan kemanusiaan kita yang mengizinkan peradaban bekerja melintasi waktu dan ruang.
Memang, cerita tidak pernah sesuci kertas putih. Bila ada seribu orang, setidaknya ada seribu cerita. Setiap perbedaan cerita bisa saja membuat saya dan Anda mengangkat parang dan menumpahkan darah yang menegasi peradaban. Namun itu tidak berarti kita harus menyimpan cerita di dalam laci. Biarkan perselisihan naratif kita diangkat ke meja belajar dan menjadi pelesat pelesak peradaban.
Lalu, apa yang menjadi titik kekuatan cerita – saat kita mencoba mencari hati dan menggamit ilmu? Dalam catatan Sugiharto, kekuatan cerita ada pada makna. Namun, makna tanpa hati adalah kosong, cangkang yang tidak punya taji dan cakar untuk melahirkan teknologi.
Sehebat apa pun alat ciptaan manusia, mesin dan kecerdasan buatan hanya bisa memberi bungkus pada makna dan bukan isi. Kesaktian manusia, lanjut Sugiharto, ada saat makna diberi hati olehnya. Hati adalah substansi dari pejal tebalnya selongsong ilmu – mata peluru tajam yang menembus lapisan-lapisan tatanan seleksi alam.
Yazid, di sisi lain, mencoba memberi garis bawah pada peran cerita dalam dinginnya tembok menara gading akademik para ilmuwan. Ilmu menjadi asing bagi dirinya sendiri saat hati ditarik keluar dari keras dan kakunya formulasi struktur pengetahuan dalam bentuk data dan informasi. Hati adalah jembatan dari kita ke ilmu. Cerita adalah tubuh dari hati yang menjembatani impersonalitas pewacanaan akademik dan personalitas manusia.
Data, bagi Yazid, ada untuk manusia, dan data menjadi bagian dari manusia lewat cerita. Data mestinya dipilih oleh rasio yang diisi oleh hati. Kemanusia-hatian kitalah yang memanusiakan data. Tanggung jawab kita soal data mewujud saat manusianya hadir dalam kesimpulan yang kita angkat. Sayangnya, sisi cerita ini luntur saat manusia berhenti memanusiakan dirinya lewat tindakan artikulasi.
Ini yang menjadi, catat Sugiharto, tantangan terbesar manusia di abad ini. Kita harus selalu mengingat api unggun mula-mula – saat Prometheus memberi percikan kemanusiaan yang membawa kita hingga ke abad ini. Api peradaban dipantik lewat hati yang memberi jeda yang mengatasi dimensi kewaktuan dan keruangan, lewat hati yang mengisi makna, dan lewat hati yang menjembatani kita dengan pengetahuan.
Ke-“hati-hati-an” ini adalah formula ampuh yang dapat membidani lahirnya cerita, pengetahuan, dan pada akhirnya peradaban. Tidak mudah bagi manusia untuk menghadirkan tubuh-tubuh sang hati, memang, dalam puisi dan dalam cerita, apalagi dalam ilmu. Membahasakan hati, dengan demikian, adalah misi kemanusiaan kita yang dimulai dari api unggun, dan tidak akan pernah usai sampai raga kita menjadi abu.