• Cerita
  • Pameran UP Instant: Membingkai Ingatan dalam Selembar Foto Wajah

Pameran UP Instant: Membingkai Ingatan dalam Selembar Foto Wajah

Fotografer Utama Putranto memamerkan ratusan foto wajah manusia. Berupaya membicarakan ulang sosok identitas manusia dalam bingkai foto.

Pengunjung menikmati pameran foto Up Instant: Framing Memories, (Un)Framing Identities karya Utama Putranto yang bekerjasama dengan Raws Syndicate. (Foto: Delpedro Marhaen/BandungBergerak.id)

Penulis Delpedro Marhaen17 Januari 2023


BandungBergerak.id—Sepanjang hidup manusia hanya dapat merekam lima ribu wajah saja dalam memori. Itu pun memerlukan kemampuan lebih serta strategi akal agar memori tersebut tidak memudar dan menghilang dengan mudah. Berangkat dari persoalan itu, Fotografer kamera instan, Utama Putranto, menampilkan 500 foto wajah dalam pameran Up Instant: Framing Memories, (Un)Framing Identities sebagai upaya mengembalikan memori bersama.

“Gue, tuh, gak pernah bisa inget nama orang, dan akhirnya cuma inget wajahnya aja. Cuma, kan, kalau begitu akhirnya gue bisa melupakan wajah-wajah itu, sedih juga. Oh ya udah, gue mulai coba untuk foto portrait orang-orang yang deket sama gue, yang kenal, atau yang pernah ketemu di jalan. Jadi foto-foto yang dipamerkan di sini, itu semua memori gue,” kata Utama Putranto kepada BandungBergerak.id, Senin, 16 Januari 2023.

Foto-foto wajah tersebut dipotret menggunakan kamera instan dengan jarak yang sangat dekat dengan subjek foto dan ditambah menggunakan pencahayaan kamera. Cara foto portrait tersebut dipilih agar atribut dan latar dari subjek foto tersebut tidak terlihat dan mengaburkan identitasnya. Hasilnya antara satu foto dengan foto lainnya jadi tidak identik, walaupun berada dalam proses pembingkaian identitas yang sama.

Fotografer asal Jakarta itu telah melakukan pendokumentasian foto portrait tersebut sejak dua tahun lalu. Total keseluruhan foto yang telah dikumpulkan mencapai 700 hingga 1.000 foto, namun yang dipamerkan hanya sekitar 500 foto. Orang yang dipotret oleh Utama pun diperkenankan jika ingin mengambil dan mencabut foto mereka dari pameran, hal ini dilakukan sebagai cara membangun hubungan dengan subjek foto.

“Jadi fotonya akan terus berubah setiap pameran. Seperti pada pameran pertama sebelumnya di Jakarta, dan yang saat ini pameran kedua, fotonya itu terus berubah. Kemungkinan setiap tahunnya akan ada terus pameran foto wajah ini. Mungkin sampai kamera jebol atau kamera instan sudah tidak lagi,” ujar Utama.

Pameran ini dibuka pada 16 Januari 2023 dan berlangsung hingga 31 Januari 2023. Berlokasi di Galeri Foto Red Raws Center, lantai 3 Gedung Pasar Antik Cikapundung, Braga, Kota Bandung. Pameran tersebut gratis dan terbuka untuk umum.

Foto-foto wajah yang dipamerkan dalam pameran Up Instant: Framing Memories, (Un)Framing Identities. Upaya mengingatkan kembali memori bersama. (Foto: Delpedro Marhaen/BandungBergerak.id)
Foto-foto wajah yang dipamerkan dalam pameran Up Instant: Framing Memories, (Un)Framing Identities. Upaya mengingatkan kembali memori bersama. (Foto: Delpedro Marhaen/BandungBergerak.id)

Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG #59: Buruh TPS Gedebage yang Pernah Ditempa Kerasnya Lautan
Sampah Terus Menumpuk di TPS-TPS Kota Bandung, Para Pengangkut Kehilangan Upah
Dua Dekade Rumah Cemara: Menggapai Kemandirian dalam Kerja Panjang Menghapus Stigma

Setara Sejak dalam Foto

Fasilitator Raws Syndicate, yang juga menjadi kurator pameran, Baskara Puraga mengatakan, foto yang dipamerkan dalam pameran ini berbeda dengan foto potrait pada umumnya. Jika umumnya, fotografi portrait digunakan sebagai alat untuk menghadirkan identitas yang mencolok dari setiap subjek yang dipotretnya, seperti menata pakaian, latar, serta gestur, sehingga menghasilkan sebuah foto yang menggambarkan identitas dari subjek foto tersebut. Foto portrait karya Utama mencoba menghindari hal itu.

“Kemunculan portrait di Indonesia diawali dari bangsa Eropa yang menggunakan kamera untuk keperluan yang bersangkutan dengan kebutuhannya sebagai bangsa yang mengkoloni bangsa lainnya. Sehingga sangat umum jika kita melihat bahwa kebanyakan portrait yang dilakukan di zaman tersebut, memiliki cara pandang yang memosisikan si pemotret lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan yang dipotret,” ujar Baskara Puraga.

Utama melalui karya portrait ini hendak menunjukkan kesetaraan antara fotografer dengan subjeknya. Mereka tidak ingin terjebak pada kondisi superior-inferior. Karyanya ini berupaya untuk membicarakan ulang mengenai bagaimana merekam sosok identitas manusia dalam bingkai fotografi portrait, baik melalui memori ataupun soal identitas.

“Kita mempertanyakan kembali sebetulnya fungsi dari fotografi potret apakah masih sama seperti dulu, atau ada perubahan seiring dengan perkembangan waktu. Dalam pameran ini fotografi portrait yang ditampilkan cukup tipologis, seragam, ada kesan-kesan ambigu dan misteri. Tidak semuanya bisa dibaca, jika bisa dibaca identitasnya hanya sedikit sekali keterbacaan itu. Pilihan-pilihan foto yang mencoba mengaburkan semua kemungkinan pembacaan identitas itu,” kata Puraga.

Dapat Diakses Semua Orang

Utama berharap pameran ini dapat diakses oleh semua kalangan dan memunculkan partisipasi dari orang-orang yang ditemui dan difoto oleh dirinya. Bagi Utama, foto tersebut bukanlah hanya rekaman memori dia sendiri, melainkan rekaman memori bersama yang harus dibagikan dan dikembalikan kepada orang-orang yang difoto dan ditemuinya. Bahkan, para pengunjung yang hadir dalam pameran tersebut juga dapat menjadi subjek foto portrait dalam pameran ini.

“Gimana mengembalikan apa yang Gue hutangkan kepada mereka yang gue foto. Kalau bisa berbentuk fisik, bukan digital. Mereka bisa datang dan bertemu, jadi terus berlanjut hubungannya,” ujar Utama.

Kurator pameran, Baskara Puraga, mengatakan pameran ini bertujuan memberikan ruang bagi fotografer dengan subjeknya untuk membicarakan memori ingatan bersama. Nantinya, memori bersama yang hadir lewat wajah-wajah yang ditampilkan di pameran ini, bisa menjadi memori tersendiri bagi subjeknya. Melalui praktik ini, identitas fotografi potrait menjadi lebih cair dan tak lekang dimakan waktu.

“Harapannya karya-karya seni di sini bisa dinikmati semua kalangan yang datang,” pungkas Puraga.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//