• Berita
  • Bandung Photography Month 2024, Memaknai Tanah Air dalam Bingkai Fotografi

Bandung Photography Month 2024, Memaknai Tanah Air dalam Bingkai Fotografi

Festival Bandung Photography Month 2024 diikuti pula oleh seniman Palestina yang memamerkan keindahan negeri yang kerap dicabik perang.

Pengunjung yang melihat pameran Bandung Photography Month 2024 yang dipamerkan pada lantai dua Jembatan Penyebrangan Orang Asia Afrika, Bandung, 18 Oktober 2024. (Foto: Audrey Kayla F/BandungBergerak)

Penulis Audrey Kayla Fachruddin24 Oktober 2024


BandungBergerak.idBandung Photography Month (BPM) kembali menyapa publik pecinta fotografi. Acara tahunan ini menghadirkan karya-karya fotografer dari dalam dan luar negeri. Ada potret yang menceritakan sejarah kereta api pengangkut gula di masa kolonial Belanda, ada pula karya para seniman Palestina yang menampilkan keindahan negeri yang kerap dilanda petaka perang.

Bandung Photography Month kali ini menginjak tahun ke-9, yang resmi dibuka 16 Oktober 2024 lalu. Wahyu Dhian selaku Direktur Festival Bandung Photography Month menjelaskan, BPM dibentuk dari adanya keresahan komunitas fotografi akibat tidak adanya festival fotografi yang konsisten di Indonesia.

Komunitas Fotografi Unpas serta RAWS Syndicate akhirnya memutuskan untuk memberanikan diri dalam membuat BPM ini dan berkomitmen untuk melaksanakannya secara konsisten setahun sekali. Sepanjang perjalanannya, Bandung Photography Month sempat terpotong pandemi Covid-19 yang melumpuhkan berbagai sektor.

Di BPM 2024 para penyelenggara festival mengangkat Tanah Air sebagai tema besar. Wahyu menyatakan, pihaknya tidak ingin membuat dan mengangkat sebuah tema yang memberatkan baik partisipan dan pengunjung. Ia menilai konsep atau tema yang cukup berat itu mungkin lebih cocok kepada pameran biennale dibandingkan festival.

Beberapa hasil para fotografer RAWS Attack Class, Angin Photoschool, pada Bandung Photography Month 2024 yang dipamerkan di lantai dua Jembatan Penyebrangan Orang Asia Afrika, Bandung, 18 Oktober 2024. (Foto: Audrey Kayla F/BandungBergerak)
Beberapa hasil para fotografer RAWS Attack Class, Angin Photoschool, pada Bandung Photography Month 2024 yang dipamerkan di lantai dua Jembatan Penyebrangan Orang Asia Afrika, Bandung, 18 Oktober 2024. (Foto: Audrey Kayla F/BandungBergerak)

Menurutnya, festival fotografi lebih cocok untuk membawa berbagai tema yang ringan dan menyenangkan. Dengan gagasan sederhana itu, para penyelenggara festival akhirnya mengajak berbagai lapisan masyarakat, baik fotografer profesional hingga ibu-ibu yang suka memotret, untuk turut berpartisipasi mewarnai kemeriahan BPM.

Beberapa fotografer dari Asia hingga Afrika turut meramaikan festival ini. Tema Tanah Air dapat diinterpretasikan secara bebas oleh para fotografer peserta. Secara garis besar, tema ini dapat meliputi interpretasi berbagai fotografer terkait makna “tanah air” baik dari kacamata nasionalisme maupunb bentuknya melalui jenis dan atau fotografi yang ditekuni mereka. 

Salah seorang peserta pameran, Primagung Dary Riliananda, mendaftarkan salah satu fotonya yang merupakan bagian dari rangkaian proyek yang digarap sejak 2021, yakni “The Chronicle of Vanishing Line”. Secara garis besar, proyek fotografi ini menceritakan eksplorasi Prima terhadap berbagai rel kereta api yang digunakan oleh berbagai industri gula di Indonesia. Hal ini berhubungan dengan latar belakang Indonesia yang sempat dijadikan lumbung gula oleh Belanda pada masa kolonialisme. 

Melalui foto yang diambil di Pemalang tersebut, fotografer lepas dan content visual specialist yang kini berdomisili di Jakarta menceritakan, terdapat sejarah penggunaan rel kereta api untuk mempermudah transportasi tebu dari tempat pelosok ke pabrik gula. Pada tahun 2022, jembatan yang berusia 113 tahun tersebut pada akhirnya dibongkar oleh pihak pengelolanya karena alasan operasional. 

Ketika Prima bertanya kepada para warga sekitar perilah pembongkaran jembatan kereta api, ia mendapatkan dua jawaban besar: sebagian warga mewajarkan pembongkaran jembatan karena sudah lama tidak dioperasikan; sebagian lagi menyayangkan karena dapat dihitung sebagai bagian dari warisan sejarah Indonesia.

Bagi yang mewajarkan, hal tersebut dapat mengantisipasi berbagai hal yang tidak diinginkan ke depannya dan mengurangi kesan seram yang melekat pada jembatan tersebut. Bagi yang menyayangkan, rel dan jembatan tersebut dapat dijadikan sebagai sebuah monumen atau pengingat bahwa ada kereta tebu yang dapat memajukan Pemalang.

“Saya melihatnya justru dinamis dan menarik ketika warga itu melihat dan menanggapi fenomena secara berbeda, tidak dari hanya satu sudut pandang saja,” ujar Prima, kepada BandungBergerak. 

Bagi kawan-kawan yang tertarik untuk membaca proyek foto “The Chronicle of Vanishing Line” oleh Primagung, silakan mengunjungi tautan ini dan berdiskusi lebih lanjut dengan Primagung mengenai perjalanannya mengeksplorasi berbagai rel kereta yang sempat dioperasikan oleh pabrik gula di Indonesia.

Baca Juga: Seni Tradisi dan Fotografi dalam Pusaran Arus Waktu
Memori Matahati, Merayakan Keindahan dan Kehangatan Sosok Ibu Melalui Fotografi
PROFIL RAWS SYNDICATE: Upaya Menambal Ekosistem Fotografi yang Bolong

Pengunjung yang melihat pameran Bandung Photography Month 2024 yang dipamerkan pada lantai dua Jembatan Penyebrangan Orang Asia Afrika, Bandung, 18 Oktober 2024. (Foto: Audrey Kayla F/BandungBergerak)
Pengunjung yang melihat pameran Bandung Photography Month 2024 yang dipamerkan pada lantai dua Jembatan Penyebrangan Orang Asia Afrika, Bandung, 18 Oktober 2024. (Foto: Audrey Kayla F/BandungBergerak)

Seniman Palestina

Tidak hanya itu, para penyelenggara juga berhasil menggaet tiga seniman asal Palestina, yakni Raya Manaa, Maen Hammad, dan Rehaf Al Batniji untuk ikut serta meramaikan festival fotografi ini. Wahyu menjelaskan, bahwa para penyelenggara, ketiga seniman tersebut, dan Hajar Hanfa Azzahra selaku kurator Pameran Palestina, memiliki visi dan misi yang sama terkait visualisasi Palestina.

Ketiga seniman sepakat untuk menunjukkan antitesis visual Palestina – sisi keindahan Palestina yang selama ini sering kali “tertimpa” dengan narasi situasi buruk yang ada di Palestina. Menurut mereka, dengan menampilkan visual kehancuran sama saja dengan mengakui kekalahan. Kehadiran ketiga seniman ini juga dapat dikatakan sebagai penebalan sikap para seniman, kolektif fotografi, dan institusi seni terkait kemerdekaan Palestina serta secara tidak langsung juga merupakan bagian dari rangkaian Aksi Solidaritas terhadap Palestina.

“Jika berbicara tentang pergerakan di Palestina (mau) sampai kapan, sampai merdeka,” ungkap Wahyu.

Tidak jarang bagi kita untuk menemukan pameran yang dipajang di berbagai galeri konvensional. Hal itu dapat dilihat menjadi suatu faktor “segan” di masyarakat untuk berkunjung dan menikmati pameran yang sedang dipamerkan. BPM berusaha menjembatani masyarakat umum dengan pameran fotografi yang biasanya dipajang di galeri konvensional menjadi di tempat-tempat umum, sesuai dengan jiwanya yang ingin membahagiakan seluruh masyarakat di mana pun. 

Tahun ini, BPM akan mewarnai sepanjang Jembatan Penyebrangan Orang (JPO) Asia Afrika, Micro Library Alun-Alun Bandung, Red Raws Center Pasar Antik Cikapundung, dan Paviliun Palestina yang berada di Monumen Palestina Asia Afrika.

*Kawan-kawan yang baik, silakan membaca tulisan-tulisan Audrey Kayla Fachruddin atau artikel-artikel lain tentang Fotografi

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//