• Narasi
  • Mia Bustam dan Kehendak untuk Terus Melawan

Mia Bustam dan Kehendak untuk Terus Melawan

Mendekam dari satu kamp ke kamp selama 13 tahun, tidak membuat Mia Bustam berhenti melawan.

Instalasi yang menampakkan Mia Bustam dalam sketas di pameran di Benteng Vredeberg, Yogyakarta, Jumat, 10 Oktober 2025. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

18 Oktober 2025


BandungBergerak - Perjalanan menuju Benteng Vredeburg kali ini rasanya berbeda. Seperti ziarah. Saya akan bertemu para perempuan yang bertahan dari tuduhan yang tidak berdasar yang menjadikan mereka tahanan politik (tapol) di masa Orde Baru (Orba), menyusul Tragedi 1965. Saya membayangkan seperti apa ruangan yang pernah ditempati Sri Moehajati dan Ibunya. Tapi kunjungan kali ini saya khususkan untuk Mia Bustam.

Memasuki ruang diorama dua di kompleks di kawasan Malioboro Yogyakarta yang telah direvitalisasi itu, saya ingin bergegas menuju Ruang Sultan Agung. Tempat pameran arsip Mia Bustam yang menjadi bagian dari rangkaian Jogja Biennale 2025 yang berlangsung sejak 6 Oktober hingga 20 November 2025. Seorang lelaki berbaju merah mengantarkan saya ke sana. Kami berjalan ke bagian utara. Saya tinggalkan beberapa kawan yang masih menikmati ruangan yang dipenuhi sejarah Yogyakarta. 

Saya menaiki tangga dan memasuki pintu pertama, lalu sampai di pintu berwarna abu-abu. Tiga panel merah marun bertuliskan Mia Bustam dan beberapa tulisannya terpampang di bagian tengah.

“Jeritan cemas dari rakyat meminta perbaikan nasib adalah kebenaran. Dan tergetarnya hati kita untuk menyatakan semua itu adalah kebenaran,” begitu penggalan Surat Terbuka kepada Kartika Saptohudojo oleh Mia Bustam yang dimuat di Harian Rakjat, 27 Februari 1960.

Baca Juga: RESENSI BUKU: Bersama Utati di Bukit Duri
RESENSI BUKU: Sri Moehajati Seorang Jiwa yang Bermartabat

Di Pojok Ruangan Gelap

Perjalanan hidup Mia Bustam, perempuan terhormat yang memilih jalan seniman sekaligus ibu rumah tangga, dikisahkan di ketiga sisi dinding dan panel di ruangan seluas sekitar 25 meter persegi. Beberapa karya lukis, sulam, dan jahitnya terpajang rapi di sana. Juga arsip tulisan tangan. Sebuah barcode untuk mengakses zine Mia Bustam tertempel di dinding.

Saya berjalan perlahan di dinding sisi kiri, melihat dan membaca satu per satu perjalanan Mia, sampai akhirnya saya berhenti di satu dinding putih yang posisinya berbelok sekitar 30 derajat. 

“Aku tidak mencium mereka. Aku tahu kalau aku menciumnya aku akan menangis dan itu tidak aku maui. Air mataku hanya untuk mereka yang kukasihi, tidak untuk diperlihatkan kepada mereka yang memusuhiku.”

Mata saya seketika terasa panas. Saya mengusap kedua kelopak sebelum air mata jatuh. Hati ibu mana yang tega meninggalkan anaknya karena diminta aparat? Dengan terpaksa Mia Bustam menaiki truk yang sudah ada di depan tempat tinggalnya. Kejadian pada 23 November 1965 itu ia ingat baik-baik dan dituliskan dalam memoar keduanya: Dari Kamp ke Kamp (2008, hal.60).

Di penghujung dinding yang dibuat koyak itu, terdapat celah-celah yang memancarkan sosok Mia Bustam yang digambar dalam sketsa hitam putih, sedang duduk terdiam di pojok ruangan yang gelap. Mengelola perasaan seorang diri. Bertahan selama 13 tahun di tahanan, termasuk di Benteng Vredeberg, terpisah dari delapan orang anaknya di rumah. 

Saya mengintip sajian visual itu dengan memicingkan mata kanan, dan hati ini segera sakit, terbayang kawan-kawan yang di rezim hari ini ditangkapi dan dijadikan tahanan setelah unjuk rasa.

Di sketsa lain: kedua mata Mia yang menatap tajam para penjaga penjara yang semena-mena, mereka yang membencinya. Api itu terus menyala. Mendekam dari satu kamp ke kamp, tidak membuat sang perempuan berhenti melawan. Sebuah sikap yang setelah bebas dari penjara, ia tuangkan lewat kerja penulisan. 

Astrid Reza membagikan informasi tentang Pameran Mia Bustam kepada salah seorang pengunjung. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)
Astrid Reza membagikan informasi tentang Pameran Mia Bustam kepada salah seorang pengunjung. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

Menulis sebagai Tindak Politis

Mia Bustam, kelahiran Purwodadi, 4 Juni 1920, diseret ke tahanan sebagai ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Organisasi ini dipercaya merupakan bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dituduh sebagai dalang tragedi September 1965. Akibat penahanan itu pula, karya Mia berjudul “Potret Diri” hilang. Karya yang dibuat pada 1959 itu musnah saat massa membakar kantor Lekra di Jakarta.

Setelah bebas, Mia menuliskan kisah hidupnya. Ia tidak sedang meromantisasi peristiwa-peristiwa yang dialami. Menulis, baginya, adalah tindakan politis. Ada empat buku memoar, yakni Sudjojono dan Aku (2006), Dari Kamp ke Kamp (2008), Kelindan Asa dan Kenyataan (2022), dan Mutiara Kisah Masa Lalu (2024) yang diterbitkan Ultimus. 

Lewat memoar pertamanya, yang ditulis dengan daya ingat sedemikian kuat, Mia menerima jalan hidup dengan hati yang lapang. Caranya menulis pada masa itu, bagaimana ia mendeskripsikan “aku” dengan pengalaman yang berbeda disertai selera humor, meninggalkan kesan tersendiri bagi para pembacanya. Namun, bukan berarti Mia berhenti melawan.

“Karena perempuan menulis tentang perempuan, juga perempuan menulis dirinya sendiri adalah hal yang politis,” ungkap Astrid Reza, anggota Tim Riset Penelitian dan Pameran, dalam diskusi “Sejarah yang Dipatahkan dan Ingatan Perempuan yang Melawan” di Universitas Sanata Dharma, Minggu, 5 Oktober 2025.

Diskusi yang dihadiri oleh anak-anak Mia Bustam itu menghadirkan Katrin Bandel dan Silvie Tanaga sebagai penanggap. Katrin, dosen yang menaruh fokus pada kebudayaan serta gender, memuji karya Mia karena dapat menunjukkan emosi yang jelas dari masa ke masa, sehingga tidak membuat pembaca kebingungan. Mia juga dengan jelas menempatkan posisinya kapan sebagai penulis dan kapan sebagai seseorang yang mengalami cerita itu sendiri. 

Lewat karya-karyanya, Mia Bustam mengajarkan tentang keberanian melampaui melankolia. Jika ia tidak menuliskan perjalanan hidupnya sendiri, sangat mungkin kiprahnya sebagai perempuan seniman di Indonesia akan dihilangkan secara sewenang-wenang. Dan kita hari ini harus mempelajari sejarah sebagai bagian dari strategi karena, mengutip Silvie di penghujung diskusi,  “membaca adalah upaya perlawanan, menulis adalah upaya perlawanan”.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//