RESENSI BUKU: Sri Moehajati Seorang Jiwa yang Bermartabat
Magdalena Sitorus lewat catatan hariannya dalam Seri Perempuan Penyintas 1965, menceritakan kisah perempuan-perempuan penyintas tragedi 1965.
Penulis Virliya Putricantika25 Mei 2025
BandungBergerak.id - Apa yang terjadi di Indonesia pada tahun 1965 hingga beberapa tahun setelahnya masih menjadi susunan puzzle yang yang perlu ditelusuri. Beruntung, sudah banyak individu yang menekuni isu ini dan mendokumentasikannya menjadi buku baik dalam skala regional juga internasional. Salah satunya Magdalena Sitorus, perempuan yang sudah lama menekuni isu perempuan, anak, dan kelompok minoritas.
Cerita Sri Moehajati merupakan satu dari enam buku yang dirilis Magda di Seri Perempuan Penyintas 1965 dengan judul Jiwa-jiwa Bermartabat. Dituturkan dengan cara bercerita seperti catatan harian, kisah putri sulung Moehadi ini jadi lebih mudah dipahami.
Moehajati dikisahkan sebagai perempuan dengan karakter cerdas, kuat, dan tangguh. Tentu itu bukan penafsiran dari Magda yang bertemu dengan Moehajati, tapi juga dari sang adik. Moehajati juga menjadi mahasiswa kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) sebelum dia dikeluarkan dan ditangkap.
Setelah dua pekan ayahnya ditangkap oleh tentara di rumahnya, kali ini rumahnya disambangi beberapa polisi. Mereka memeriksa kamar Moehajati, seorang mahasiswi kedokteran yang meja belajarnya dipenuhi istilah yang mungkin sangat awam bagi polisi yang melihatnya.
“Ini PR, kamu bagian dari mereka (PKI),” ucap salah satu petugas yang memeriksa meja belajarnya. Moehajati yang mendengar itu kesal, hanya bisa mengucap “Ndableg” dalam hatinya, yang berujung dia menjelaskan bahwa PR yang dimaksudkan petugas sebenarnya istilah fisika.
Ia tumbuh di keluarga yang baik. Kedua orang tuanya membebaskan keinginan anak-anaknya, tapi juga mengingatkan seperti apa proses yang akan dilalui dari keputusan yang diambil. Ayah Moehajati, Moehadi, seorang yang sering membantu orang-orang sekitarnya. Sang ayah juga seorang wirausahawan yang menjalankan usaha mebel dan sabun.
Moehadi adalah anggota dari Partai Komunis Indonesia. Produknya sempat digunakan instansi pemerintah, tapi mungkin mereka yang duduk di kursi itu tidak tahu bahwa pengrajin kursi itu adalah satu dari jutaan masyarakat yang dituduh bersalah atas peristiwa gerakan 30 September 1965 tanpa bukti yang jelas.
Kenangan Bersama Ayah
Bagi Moehajati, ayahnya adalah seorang sosok yang ia jadikan model kehidupannya. Dari ayahnya pula ia belajar soal prinsip-prinsip yang perlu dipegang dalam kehidupan. Sesekali dia kerap mendengarkan obrolan ayahnya dengan kawan-kawannya yang lain.
Tak heran ketika Moehajati lulus masuk ke SMP ayahnya tanpa ragu mengajaknya untuk ikut ke Medan, untuk membicarakan masa depan bangsa. Moehajati menceritakan kembali kenangan bersama ayahnya kepada kawan-kawan yang lain, betapa beruntungnya dia seorang yang lahir di tanah Jawa bisa pergi ke Sumatera. mengikuti ayahnya vakansi.
Begitulah Moehajati menghormati cinta pertamanya itu. Meski ada lelaki lain yang sempat ia kencani, tapi baginya memilih ayah dan keluarganya menjadi satu cara untuknya menyatakan rasa sayangnya.
Sampai satu hari di bulan Oktober 1965 beberapa tentara datang, menuduh Moehadi menyimpan persenjataan di rumahnya. Dengan tenang ayahnya pun hanya bisa melihat para tentara memeriksa rumahnya. Bahkan sampai ke area sumur. Namun yang ditemukan hanya alat untuk mencetak sabun. Tak hilang arah, para tentara tetap membawa Moehadi untuk ikut bersama mereka.
Satu-satunya pesan yang selalu ayahnya titipkan pada Moehajati untuk menjaga ibunya, Moesriah, yang saat itu tengah sakit. Si sulung pun menyanggupinya dan hanya bisa meyakini bahwa ayahnya akan baik-baik saja.
Namun pertemuan dengan ayahnya setelah itu rasanya berbeda. Kebetulan ia mendapati ayahnya berbaris di lapangan di rutan tempat ia ditahan. Hari kedua setelah lebaran tahun itu, Februari 1966, ia sempat menyapa ayahnya yang kehilangan banyak berat badan.
Ayahnya berbaris bersama 20 tahanan lain yang entah akan dibawa ke mana. Moehajati hanya bisa bertanya mengapa celana ayahnya itu menjadi sangat kedodoran. Namun, lagi-lagi ayahnya hanya mengingatkan Moehajati untuk menjaga ibunya. Di saat-saat terakhir ketika truk akan membawa para tahanan, Moehajati mengambil selimut dan bantal yang baru diberikan kerabatnya untuk ia dan sang ibu.
“Pakai ya pak, untuk tidur bapak,” demikian dialog yang tertulis di buku Jiwa-jiwa Bermartabat.
Tatapan terakhir dari Moehadi seolah menjadi perpisahan bagi Moehajati. Penyesalan tidak meminta bertemu dengan ayahnya selama empat bulan terakhir memenuhi hatinya. Karena ia yakin petugas pasti memberinya izin untuk bertemu ayahnya yang selalu berbaik hati pada mereka. Namun itu dulu, sebelum stigma itu tumbuh membantai mereka yang dituduh terlibat.
Baca Juga: Kesaksian Martin Aleida atas Tragedi 1965 dalam Buku Tuhan Menangis, Terluka
Gen Z di Bandung Menyelami Sejarah Tragedi 1965 Melalui Nobar Film Eksil
Luka yang Membekas
Apa yang terjadi di tahun 1965 seolah hilang dan dianggap angin lalu, sampai saya mencari tahu sendiri lewat buku-buku yang mengumpulkan fakta-fakta yang terjadi di rentang waktu itu. Perasaan yang dirasakan Moehajati tersampaikan dengan baik dalam buku ini. Marah hingga gusar kadang kali memengaruhi hati saya sendiri sebagai pembaca. Membaca buku ini tidak hanya sekadar memahami, tapi juga ikut merasakan bagaimana keadaan mereka yang menjadi tahanan politik di tahun-tahun itu?
Belum lagi ketika upaya Moehajati mencari makam tanpa nama di tengah hutan Wonosobo. Kabarnya, Moehadi ada di sana. Di makam tanpa nama bersama 21 orang lain yang dibawa bersamanya hari itu. Menurut warga sekitar hutan di sana, terjadi rentetan tembakan pada 3 Maret 1966.
Atas keterangan yang didapatkan dari kawannya, perempuan yang telah bebas pada tahun 1970 itu mengusahakan pencarian jenazah ayahnya. Mulai dengan bergabung dengan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965/1966 hingga hari ia melihat tulang betis kiri yang dikeluarkan dari penggalian. Tulang cinta pertamanya yang memang pernah mengalami patah tulang.
Luka yang membekas pada Moehajati, hanya satu dari banyaknya rasa yang perlu ia tanggung. Ada banyak pula mereka yang ceritanya belum tersampaikan. Mereka berjuang atas apa yang terjadi.
“Menghilangkan akar kepahitan bagi mereka yang ditinggalkan oleh jiwa-jiwa bermartabat yang sudah dihilangkan secara paksa,” satu harapan yang dituliskan Magdalena di akhir bagian buku.
Informasi Buku
Judul: Jiwa-jiwa Bermartabat
Penulis: Magdalena Sitorus
Penerbit: Tanda Baca
Cetakan: I, Maret 2022
Tebal: 240 halaman.
*Kawan-kawan bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Virliya Putricantika atau artikel tentang Resensi Buku