Kesaksian Martin Aleida atas Tragedi 1965 dalam Buku Tuhan Menangis, Terluka
Buku “Tuhan Menangis, Terluka” memuat banyak catatan sejarah seputar tragedi 1965, menyingkap pelanggaran HAM yang tidak pernah terungkap.
Penulis Dini Putri22 Maret 2023
BandungBergerak.id - “Tuhan Menangis, Terluka” merupakan buku yang lahir dari pemikiran dan kerja keras Martin Aleida hampir selama dua tahun di masa pandemi. Buku 600 halaman ini ia kerjakan di Beranda Rakyat Garuda Jakarta Timur dan rilis pada Jumat (13/1/2023). Isinya menceritakan kisah-kisah kejahatan terhadap kemanusiaan pada rentang tahun 1965-1966 atau disebut tragedi 1965.
Dua hari sebelum buku “Tuhan Menangis, Terluka” dirilis, Presiden Jokowi mengakui adanya 12 pelanggaran HAM berat di masa lalu yang terjadi di Indonesia pada rentang tahun 1965-2003. Pernyataan resmi ini muncul setelah pemerintah menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM (PPHAM). Namun kebenaran tersebut tidak diungkapkan secara spesifik dengan menjelaskan siapa saja aktor-aktor yang terlibat dalam rangkaian peristiwa pelanggaran HAM itu.
“Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa,” ungkap Jokowi, Rabu (11/1/2023), di Istana Negara, Jakarta.
Martin Aleida, 80 tahun, merupakan sastrawan dan jurnalis yang menjadi korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi pada tahun 1965. Sosok yang lahir di Tanjung Balai, Sumatera Utara (1943), ini dalam bukunya memberikan kesaksian atas peristiwa yang dialaminya dan orang-orang yang tidak berdaya lainnya yang menjadi korban negara.
Buku “Tuhan Menangis, Terluka” tersebut memuat banyak catatan yang menjadi bukti sejarah dan mendedahkan pelanggaran HAM yang terjadi dan tidak pernah terungkap. Buku ini sekaligus menjadi saksi atas pengalaman kolektif berupa kekerasan terhadap kemanusiaan yang melibatkan negara dengan jangkauan hampir seluruh wilayah di Indonesia dari barat hingga ke timur.
Martin Aleida menceriakan berbagai rangkaian peristiwa yang terjadi secara lugas dan terang dengan bingkai sastra. Pembaca yang tidak pernah mengalami peristiwa tersebut seperti diajak menjelajahi mesin waktu dan melihat langsung betapa kekejaman yang terjadi pascaperistiwa G30S sangatlah nyata.
“Dengan sastra yang bersahaja ini, kuajak tuan-tuan tidak untuk meratap, mengutuk, mendakwa, dan menghukum. Tetapi untuk mengenali, mengingat sampai mati supaya kejahatan serupa tidak akan terulang lagi,” kata Martin Aleida dalam buku Tuhan Menangis, Terluka.
Buku Tuhan Menangis, Terluka didiskusikan di Kedai Jante, Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung, Sabtu (11/3/2023). Martin yang tinggal di Jakarta, turut menghadiri diskusi dan berbagi pandangan kepada pembaca atau peserta diskusi.
Martin Aleida mengatakan dewasa ini dengan pertumbuhan teknologi dan masifnya penggunaan media sosial bisa dimanfaatkan bukan hanya sebagai tempat seseorang melakukan pengungkapan diri atau sekedar menjalin komunikasi dengan orang lainnya. Melimpahnya informasi di media sosial dapat digunakan untuk menguji kepekaan seseorang terhadap berbagai persoalan yang ada dari pengalaman personal orang lain. Hal ini bisa menjadi tambahan catatan yang penting dan dikolerasikan dengan peristiwa sejarah yang pernah terjadi.
“Saya nggak tahu menjelaskannya, tapi menurut saya banyak yang bisa ditulis (dari media sosial). Apakah pendekatan saya secara emosional sedangkan generasi sekarang tidak? Itu saya yang ya ngerti,” kata penulis yang pernah menjadi jurnalis majalah Tempo dan mingguan olahraga Bola ini.
Ketersediaan informasi yang melimpah saat ini menjadi privilese tersendiri bagi generasi muda. Situasi ini jauh berbeda dengan generasi sebelumnya yang sulit sekali mendapatkan bahan bacaan, ditambah ketatnya aturan pemerintah mengenai peredaran buku atau informasi. Generasi masa lalu juga menghadapi maraknya pembredelan buku yang dianggap mengancam posisi pemerintah.
Martin berharap generasi muda peka terhadap isu-isu yang ada. Mereka adalah mayoritas pengguna aktif media sosial. Peran mereka sangat diperlukan untuk meneruskan catatan-catatan sejarah agar tak tergerus zaman.
Menurutnya, arsip sejarah yang bertebaran di media sosial maupun internet bisa dijadikan sebagai bukti konkret untuk menggugat berbagai kejahatan, ketidakadilan, dan kesewenang-wenangan yang dilakukan negara.
“Menurut saya bahan (informasi media sosial) terlalu banyak, tapi siapa yang mengajarkan kita untuk peka? Siapa yang mengajarkan? Bagaimana kita mengasahnya? Apakah itu bisa diajarkan?” lanjut Martin.
Martin menuturkan bahwa sastra dilahirkan tidak untuk menduplikasi kekerasan. Dalam bukunya ia menyuratkan secara gamblang bentuk perlawanannya yang terinspirasi dari pelbagai macam peristiwa dan pengalaman orang lain yang akhirnya melahirkan buku tersebut.
“Bagaimana kita memberikan kesan kepada pembaca, saya ingin mengatakan sesuatu yang tidak bisa diterima, tapi bagaimana? Itu tantangannya. Makannya dalam buku ini Tuhan Menangis itu saya kutip dari Pendeta Merry Kolimon, dia yang mengatakan itu, Tuhan menangis karena terluka melihat apa yang terjadi di NTT pada waktu itu, tapi justru itu saya angkat,” terangnya.
Martin Aleida mengajarkan bahwa usia dan hiruk-pikuk tantangan dalam perjuangan dan perlawanan tak mengenal batasan. Lewat tulisan, sejarah terabadikan, suara menolak diam, dan pergerakan takkan bisa padam.
Baca Juga: Anak Muda Bukan sekadar Lumbung Suara
Gelombang Suara Distorsi Menjelang Festival Kampung Kota 3
Hutan Lindung Harga Mati
Martin Aleida dan Tragedi 1965
Menurut ensiklopedia.kemdikbud.go.id, Martin Aleida produktif menulis cerita fiksi selain nonfiksi. Lelaki yang pernah mengikuti kuliah di Fakultas Sastra, Universitas Sumatra Utara, tetapi tidak tamat, ini mulai menulis cerita pendek ketika masih duduk di kelas dua sekolah menengah atas.
Martin mulai hijrah ke Jakarta tahun 1963 dan menjadi aktivis Lekra. Peristiwa 1965 meletus. Ia ditangkap tahun 1966 dan ditahan selama beberapa waktu. Setelah bebas dari penjara, ia berganti-ganti pekerjaan mulai dari buruh bangunan, pelayan restoran, penjaga kios, dan pedagang kaki lima.
Dengan nama pena Martin Aleida ia menjadi wartawan Tempo selama 13 tahun. Ketika indentitasnya diketahui aparat intelijen, ia terpaksa berpindah kerja sebagai staf lokal Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNIC) selama 10 tahun.
Dengan berakhirnya kekuasaan Orde Baru tahun 1998 memanggilnya untuk menulis cerita-cerita pendek sebagai kesaksian terhadap ketidakadilan dan kekejaman penguasa. Pada tahun 2004 Martin memperoleh Penghargaan Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa atas karyanya yang berjudul Leontin Dewangga (kumpulan cerpen).