Anak Muda Bukan sekadar Lumbung Suara
Di Kota Bandung, pemilih muda diprediksi akan mendominasi pada pemilu 2024 nanti. Bagaimana seharusnya sikap anak muda?
Penulis Iman Herdiana18 Maret 2023
BandungBergerak.id - Seperti tahun-tahun politik sebelumnya, anak muda pada tahun politik menjelang pemilu 2024 ini akan menjadi rebutan banyak partai politik. Fenomena ini tak mengherankan mengingat jumlah mereka sangat signifikan dalam mendongkrak raihan suara partai politik atau kontestan pemilu.
Banyak partai politik yang mulai melakukan pendekatan pada anak-anak muda. Namun bagi anak muda sendiri, belum tentu mereka tertarik dengan pendekatan yang dilakukan parpol-parpol. Di sisi lain, mereka sering kali menjadi massa mengambang (swing voter).
“Ada yang sudah melek politik dan punya kesadaran memilih, ada yang melek politik tetapi memilih golput, ada yang tidak terlalu paham politik tetapi mengikuti tren untuk ikut memilih, serta ada juga yang tidak paham politik dan merasa tidak punya waktu karena sibuk mengembangkan diri,” terang dosen Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Mustabsyirotul Ummah Mustofa, menjelaskan tentang massa mengambang, dikutip dari laman Unpad, Sabtu (18/3/2023).
Di Kota Bandung, pemilih muda diprediksi akan mendominasi pada pemilu 2024 nanti. KPU Kota Bandung merilis jumlah penduduk potensial pemilih tahun 2024 mencapai 1.893.082 jiwa. Jumlah ini naik sekitar 170.000 dari tahun 2019.
Sementara dalam diskusi Diskusi Politik Perkembangan dan Dinamika Sosial Politik Masyarakat di Kota Bandung Menjelang Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 yang digelar baru-baru ini, diperkirakan sebesar 70,7 persen generasi berusia 17-39 tahun menyatakan akan menggunakan hak pilihnya.
Dalam diskusi tersebut disebutkan bahwa saat ini Kota Bandung berada pada posisi kerawanan pemilu. Titik kerawanan pemilu di antaranya pada aspek sosial politik, masyarakat, penyelenggara pemilu yang tidak berintegritas, dan konstentasi peserta pemilu.
"Berbagai isu strategis di Kota Bandung yang perlu disikapi yakni netralitas penyelenggara pemilu, polarisasi masyarakat, mitigasi dampak penggunaan media sosial dan pemenuhan hak memilih dan dipilih," ujar Anggota Bawaslu Kota Bandung Farhatun Fauziyyah, Kamis (16/3/2023).
Dalam konteks kerawanan pemilu tersebut, di mana posisi anak muda? Atau mereka masih tetap sebagai massa mengambang seperti tahun-tahun politik sebelumnya? Massa mengambang kalau dilihat secara kritis terjadi karena tidak terpapar pendidikan politik. Posisi ini membuat mereka hanya dimanfaatkan oleh kepentingan politik.
Kaitan Pemilu dengan Demokrasi dan HAM
Kerawanan pemanfaatan suara anak muda terlihat dari riset yang pernah dilakukan Perkumpulan Demos. Riset ini dirilis tahun 2014, namun isi riset masih relevan karena membahas politik anak muda yang masa itu juga dikelompokkan sebagai massa mengambang.
“Pemilih muda memiliki kecenderungan yang sangat besar untuk menjadi korban dari pelanggaran-pelanggaran pemilu karena belum ada pemahaman konsep yang memadai mengenai pertarungan kepentingan di dalam pemilu,” demikian hasil riset Perkumpulan Demos, diakses Sabtu (18/3/2023).
Riset yang disusun tim terdiri dari Arie Putra, Christina Dwi Susanti, Indah Yusari, Inggrid Silitonga, Muhamad Hisbullah Amrie memaparkan lemahnya pendidikan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) pada anak muda. Dampak dari kelemahan ini berpengaruh pada partisipasi politik.
Mengapa partisipasi politik, misalnya dalam pemilu, terkait dengan HAM? Karena partisipasi politik bentuk keikutsertan warga negara dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya.
“Partisipasi politik menjadi seperti medium bagi masyarakat untuk menyampaikan kepentingannya kepada pihak-pihak yang diberikan kepercayaan untuk menjalankan pemerintahan,” terang tim periset.
Menurut tim riset, pemahaman-pemahaman mengenai demokrasi dan hak asasi manusia merupakan sebuah bekal yang sangat berguna bagi kelompok pemilih muda dalam menghadapi politik atau pemilu. Kemudahan untuk mendapatkan pemahaman-pemahaman tersebut juga merupakan sebuah dimensi dari hak asasi manusia.
Namun tim peneliti menemukan bahwa akses untuk mendapatkan pemahaman demokrasi masih sangat terbatas. Pemerintah dinilai belum menyediakan sarana dan prasarana bagi anak muda untuk mencapai pemahaman tersebut.
Hal itu diperparah dengan kementrian pendidikan, sekolah/universitas, dan kurikulum yang ada belum memiliki sebuah konsep dan program yang baku untuk menanggulangi minimnya pengetahuan pemilih muda ini terhadap demokrasi.
Padahal pengetahuan mengenai demokrasi dan HAM ini bukan semata hanya untuk menghadapi Pemilihan Umum namun juga bagi segala sendi kehidupan anak muda sebagai warga negara dalam berbangsa dan bernegara.
Riset memaparkan bahwa kesadaran politik anak muda cukup rendah. Sekolah atau universitas sudah memberikan kesempatan bagi partisipasi politik anak muda (siswa/mahasiswa), namun belum tentu mereka paham dan sadar akan kesempatan tersebut.
Anak muda agaknya jadi gagap ketika terdapat kesempatan untuk menyalurkan aspirasinya. Hal ini sebenarnya tidak bisa disalahkan semata kepada anak muda karena bisa jadi ruang aspirasi memang diberikan, namun tidak ada dorongan yang sungguh-sungguh dari pihak institusi pendidikannya untuk menjadikan ini sebagai budaya bersama.
Hal lain yang juga berkaitan dengan partisipasi politik adalah istilah ‘politik’ itu sendiri. Saat ini, politik di Indonesia masih banyak dianggap sebagai sesuatu yang sangat jauh dari anak muda. Politik dipandang sebagai dimensi lain yang hanya sekadar urusan menyangkut pemerintah dan orang dewasa.
Apakah di sekolah/universitas anak muda tidak mendapatkan pengetahuan mengenai hal yang berkaitan dengan partisipasi politik? Tentu ada materi yang berkaitan dengan partisipasi politik, misalnya materi mengenai demokrasi pada buku PKN (Pendidikan Kewarganegaraan) untuk SMA Kelas XI. Akan tetapi hadirnya materi-materi pelajaran tersebut hanya seperti angin lalu saja.
Baca Juga: Hutan Lindung Harga Mati
Mempersiapkan Pemuda yang Toleran Menjelang Pemilu 2024
Tahapan Pemilu 2024, dari Pemutakhiran Data Calon Pemilih hingga Hari Pemungutan Suara 14 Februari
Pelajaran di sekolah pun menghadirkan politik sebagai sesuatu yang “akan dipahami saat kamu dewasa”. Menjadi sesuatu yang sulit, harus menghafal, dan jauh dari anak muda.
Bahkan di universitas tidak semua jurusan mendapatkan pengetahuan mengenai politik. Kemungkinan besar hanyalah mahasiswa yang menggambil jurusan ilmu politik saja yang mendapatkan materi mengenai politik.
Politik semakin jauh dari anak muda, bahkan tidak jarang yang memandang negatif terhadap politik, seperti yang disampaikan seorang pelajar SMA dalam Focus Group Discussion yang dilakukan di Jakarta: “Politik itu debat-debat aja tanpa ada hasilnya,” kata responden kepada peneliti.
Temuan ini menunjukkan bahwa suara anak muda hanya diperebutkan dalam pemilu karena jumlah mereka banyak. Partisipasi politik yang seharusnya menjadi hak mereka malah dimanfaatkan semata-mata untuk memenangkan pemilu dan mengurangi angka Golongan Putih (Golput).
“Saya, sih, kasihan sama anak muda, ya. Mereka, kan, jadi sasaran berbagai macam pihak dan di-abuse abis-abisan karena angkanya yang tinggi tadi,” kata penggerak Hak Asasi Manusia, Haris Azhar, yang diwawancarai tim peneliti.
Apa yang disampaikan Haris Azhar tepat untuk menggambarkan kondisi anak muda di Indonesia, terutama dalam masa-masa pemilu.
Partisipasi politik anak muda sesungguhnya merupakan salah satu hak politik yang seharusnya diberikan dan dijamin oleh negara. Negara harus memastikan bahwa anak muda memahami hak serta perannya di dalam partisipasi politik.
Anak muda bukan lagi hanya dipandang sebagai pihak dengan jumlahnya yang besar, yang tidak tahu apa-apa, dan bisa dimanfaatkan oleh kepentingan politik tertentu. Sehingga, pemahaman mengenai fungsi kelembagaan negera mereka yang rendah selalu memposisikan anak muda untuk tidak memikirkan haknya, apalagi aspirasinya.