• Berita
  • Mempertaruhkan Keindahan Alam Garut dalam Permainan Dam

Mempertaruhkan Keindahan Alam Garut dalam Permainan Dam

Seniman Rizki Lutfi Wiguna melihat kerusakan lingkungan di Garut dengan kacamata permainan tradisional dam-daman. Ada aturan tapi dilanggar: dam.

Karya Rizki Lutfi Wiguna dipamerkan di pameran bertajuk Dam - Intimacy Drawing dalam Perubahan Lingkungan di Galeri Sanggar Olah Seni, Bandung, 3-15 Oktober 2025. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)

Penulis Awla Rajul18 Oktober 2025


BandungBergerak - Lahan-lahan di Garut yang subur dan hijau kini berpindah tangan ke tangan-tangan investor asing. Mereka membeli bukit-bukit sekaligus untuk dijadikan lokasi penambangan pasir, tanah, dan batu. Proses jual beli ini seolah menjadi fenomena yang menggantikan wajah Garut yang dulu dikenal dengan keindahan alamnya.

"Garut itu sekarang sudah enggak seindah dulu. Enggak seindah 10-15 tahun yang lalu," ujar Rizki Lutfi Wiguna, seniman Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, Selasa, 14 Oktober 2025.

Rizki merasa terdorong untuk merespons perubahan drastis lingkungan di Garut lewat karya-karya seni yang mengadaptasi permainan tradisional dam-daman. Karya Rizki dipamerkan di Galeri Sanggar Olah Seni, 3-15 Oktober 2025. Proyek akhir S2 di Pascasarjana Penciptaan Seni ISBI bertajuk “Dam - Intimacy Drawing dalam Perubahan Lingkungan” itu dikuratori oleh Supriatna dan Gustiyan Rachmadi.

Rizki mengungkapkan karya seni yang ia buat bukan hanya proyek akhir pendidikan pascasarjananya, tetapi juga upaya untuk menyuarakan dampak buruk dari eksploitasi alam yang terjadi di kampung halaman. Situasi lingkungan Garut kini semakin rusak akibat maraknya tambang galian C (pasir, tanah, dan batu).

Fenomena jual beli lahan untuk tambang, menurut Rizki, berpotensi menghancurkan lebih dari sekadar keindahan alam. Banyak petani yang terpaksa menjual lahannya karena tergiur dengan tawaran uang cepat, atau dengan janji bahwa anak cucu mereka akan dipekerjakan di tambang atau pabrik yang akan dibangun. Sementara pemilik lahan yang awalnya enggan menjual, terpaksa melepas tanah mereka karena akses menuju lahan mereka sudah dibeli dan ditutup oleh para investor.

"Dampak terakhirnya adalah yang biasanya tidak banjir, longsor, sekarang kalau setiap hujan besar udah tanah merah," tambah Rizki dengan nada penuh keprihatinan.

Kerusakan alam yang ditimbulkan oleh tambang ini tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga mengancam keselamatan masyarakat sekitar, yang kini harus menghadapi bencana alam yang semakin sering dan parah.

Melalui karya-karyanya, Rizki ingin mengajak masyarakat lebih peduli dan menyadari betapa besar dampak dari eksploitasi alam yang terjadi di Garut. Ia berharap, melalui seni, suara-suara yang mengkhawatirkan tentang masa depan Garut dapat didengar lebih luas.

Meski mengambil fokus di Garut, karya Rizki memiliki persoalan serupa dengan wilayah-wilayah lain. Misal di beberapa tempat Bandung, di Labuan Bajo, hingga Morowali Sulawesi yang menjadi objek primadona tambang nikel.

Pameran dibuat di Bandung juga bukan tanpa alasan. Tanah-tanah yang dikeruk dari Garut dibawa ke kawasan Bandung untuk membangun proyek-proyek perumahan mewah.

“Ternyata si kebutuhan si pasir itu untuk kebutuhan perumahan-perumahan besar di Bandung, setelah ditelusuri,” katanya.

Beberapa serial dam-daman yang dipamerkan Rizki di antaranya "Zikir dari Tanah yang Terluka", "Jejak yang Tertimpa Tanah" sebuah gambar arsiran pensil di atas kertas kuning Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Garut 2021-2031, "Sulung #1", "Sulung #2", "Missing - Grondrechten", dan "Pion".

Baca Juga: Gunung Guntur, antara Warga yang Peduli dan Bebalnya Institusi
Tambang Pasir Gunung Guntur dalam Dilema Ekonomi dan Kerusakan Lingkungan

Rizki Lutfi Wiguna di pameran bertajuk Dam - Intimacy Drawing dalam Perubahan Lingkungan di Galeri Sanggar Olah Seni, Bandung, 3-15 Oktober 2025. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)
Rizki Lutfi Wiguna di pameran bertajuk Dam - Intimacy Drawing dalam Perubahan Lingkungan di Galeri Sanggar Olah Seni, Bandung, 3-15 Oktober 2025. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)

Permainan Dam dan Kerusakan Lingkungan

Rizki menaruh warna coklat dalam beberapa karyanya. Pewarnaan itu bukan hanya simbol untuk menyinggung persoalan tanah di Garut. Ia sekaligus menggunakan sampel tanah dari lereng-lereng gunung tempat perkampungan yang terdampak persoalan lingkungan. Pemilihan gambar arsiran antara kertas dan pensil juga memiliki makna untuk persoalan lingkungan dan hubungannya dengan permainan dam.

“Ini kebanyakan itu sebenarnya seperti perjanjian hitam dan putih. Proses itu sakral, perjanjian. Prinsip itu saya coba ambil untuk karya. Makanya itu juga ada perda, kaitannya dengan hitam di atas putih,” jelasnya.

Dam-daman sendiri adalah permainan tradisional khas Sunda seperti permainan catur, beradu strategi. Ada jajaran petinggi seperti raja, dan orang-orang bawah sebagai pion. Dalam konteks persoalan lingkungan, orang-orang bawah, masyarakat selalu menjadi korban. Itulah mengapa salah satu serial karyanya berjudul “Pion”.

“Si pion-pion ini adalah gambaran manusia-manusia yang dikerahkan oleh manusia yang punya kekuasaan, yang punya strategi untuk gimana caranya dataran, lapangan, atau dunia ini bisa dikuasai. Persoalan yang tadi, pengambilan tanah secara tidak adil atau permainan para mafia-mafia yang lebih ke membodohi masyarakat. Seperti kita sedang bermain catur, dam-daman,” jelasnya.

Permainan dam diangkat sebagai metafora utama untuk menggambarkan seluruh rangkaian karya dari fenomena kerusakan lingkungan yang terjadi di Garut. Dalam permainan dam, manusia diibaratkan sebagai pion yang dikorbankan lebih dulu, diatur. Sementara dalam karyanya, Rizki, menyimbolkan pion sebagai sayap ayam tanpa bulu.

Sayap ayam tanpa bulu dipilih sebagai simbol untuk menggambarkan dan mewakili perasaan ketidakberdayaan dan kegagalan menjaga lingkungan. Ketiadaan bulu adalah perasaan kegagalan dalam melindungi.

“Kalau pemerintah tidak punya sayap, tidak punya bulunya, bagaimana mau melindungi anak-anaknya (masyarakat)?” kata Rizki retoris.

Dalam salah satu karyanya, Rizki sengaja mengonsep gambar kerusakan pascabencana di atas Perda RTRW Garut. Terdapat bagian yang disisakan daftar nama-nama kecamatan yang mestinya tidak boleh ada penambangan. Namun Rizki menemukan keadaan sebaliknya. Kecamatan yang dilarang ditambang oleh perda, justru terdapat aktivitas penambangan.

“Kenapa pemerintah mengeluarkan peraturan ini (RTRW) dan mengeluarkan (juga) kebijakan yang membolehkan? Nah itulah pertarungan dam-daman,” jelasnya.

Selain bersuara lewat karya, ia berharap, karya-karyanya ini dapat membuka mata publik terkait persoalan lingkungan yang tengah dihadapi. Meski mengembalikan kondisi lingkungan seperti semula adalah upaya yang sulit dan perlu waktu lama. Ia mewanti-wanti, lingkungan harus dijaga dan dilestarikan.

Maraknya tambang galian C di Garut, salah satunya bisa dilihat dari aktivitas penambangan di Gunung Guntur. Secara hukum, eksploitasi penambangan pasir dilarang di kawasan konservasi. Kawasan Gunung Guntur memang memiliki dua status hukum, yaitu Taman Wisata Alam dan Cagar Alam.

Aktivitas penambangan menyebabkan kerusakan serius, seperti sungai atau mata air yang dulu mengalir bebas kini mengering. Hutan menjadi rusak dan gersang, hingga peningkatan potensi bahaya longsor. Salah satu mata air utama, Curug Citiis 3 disebut telah kering, warga kini bergantung pada suplai air dari PDAM yang tidak selalu stabil. Aktivitas tambang yang ilegal atau tanpa izin tetap berlangsung meskipun secara hukum dilarang. Sementara razia hanya sesekali dan “kucing-kucingan” antara aparat dan pelaku.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//