• Berita
  • Tambang Pasir Gunung Guntur dalam Dilema Ekonomi dan Kerusakan Lingkungan

Tambang Pasir Gunung Guntur dalam Dilema Ekonomi dan Kerusakan Lingkungan

Para penambang tradisional galian C di Gunung Guntur, Garut dihadapkan pada situasi tidak ada pilihan di tengah sulitnya lowongan pekerjaan.

Tambang pasir di kawasan Gunung Guntur, Garut, 27 April 2025. (Foto: Leo Saputra/BandungBergerak)

Penulis Leo Saputra8 Juli 2025


BandungBergerak.idSetiap pagi, Jordan (52 tahun) nama yang disamarkan menggenggam linggis dan naik ke bukit pasir di kawasan Gunung Guntur. Ia bukan pendaki, bukan pula pemilik lahan. Jordan adalah buruh tambang tradisional. Dengan satu linggis dan skop, ia menggali pasir dari tanah pegunungan untuk disetor ke truk. Dalam sehari, jika beruntung, ia bisa menyelesaikan dua rit. Satu rit bernilai 200.000 rupiah, dibagi empat orang. Sisanya hanya cukup untuk makan dan rokok.

Seorang penggali lainnya duduk di atas puing puing bebatuan vulkanik. Ia lagi melepas lelah. Menggali tambang dengan cara-cara manual tentu memiliki risiko tinggi. Namun bagi para pekerja tambang galian C tidak ada pilihan.

"Kalau ada kecelakaan, siapa yang tanggung jawab? Ya enggak ada. Biasa aja. Risiko mah sudah biasa," katanya, 27 April 2025.

Gunung Guntur yang terletak di Kabupaten Garut merupakan kawasan konservasi yang statusnya secara hukum dibagi menjadi dua bagian: Taman Wisata Alam (TWA) dan Cagar Alam. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 274/Kpts-II/1999, segala bentuk aktivitas eksploitasi, termasuk penambangan pasir, dilarang dilakukan di dalam kawasan tersebut. Namun kenyataan di lapangan berkata lain.

Menurut Tati Karwati (60 tahun), kepala salah satu dusun di Desa Pasawahan, aktivitas penambangan di gunung api tersebut sudah berlangsung sejak ia masih kecil. Saat itu, tambang digarap manual oleh warga dengan skala kecil. Namun sejak tahun 1990-an hingga kini, aktivitas tersebut berkembang masif dan terorganisir, terutama setelah permintaan pasir meningkat dari sektor konstruksi.

Gunung Guntur, Garut, 27 April 2025 mengalami ancaman kerusakan ekologis. (Foto: Leo Saputra/BandungBergerak)
Gunung Guntur, Garut, 27 April 2025 mengalami ancaman kerusakan ekologis. (Foto: Leo Saputra/BandungBergerak)

Gunung Guntur kini terbagi dalam beberapa titik tambang, antara lain Cilopang, Sero Jawa, dan Dukuh. Ketiganya memiliki akses jalan sendiri-sendiri dan menjadi jalur keluar masuk ratusan truk setiap hari. Dalam satu hari, hanya dari satu jalur seperti Cilopang, diperkirakan bisa keluar kurang lebih mencapai 200 truk pengangkut pasir, sebagaimana diungkapkan dalam laporan pemerhati lingkungan yang sekaligus merupakan ketua dari perkumpulan lingkungan anak bangsa atau LIBAS Tedie Sutardi.

Skema ini terus berjalan meski ilegal. Beberapa titik tambang disebut memiliki struktur pengelolaan semi terorganisir yang melibatkan pemilik portal, sopir, dan penggali. Dalam praktiknya, banyak pihak di lapangan mengetahui bahwa kegiatan ini tidak berizin, namun tetap berlangsung karena adanya pembiaran dan ketergantungan ekonomi warga sekitar terhadap sektor tambang.

Aktivitas ini berdampak besar pada kondisi lingkungan dan sosial di sekitar Gunung Guntur. Air yang dahulu mengalir bebas dari mata air Citiis dan Cilopang kini kering. Hutan yang dulunya lebat dan sejuk, kini rusak dan gersang. Namun bagi sebagian warga, tambang tetap menjadi pilihan bertahan hidup terakhir karena dianggap pilihan yang langsung memberikan hasil.

Wawancara dengan sejumlah penggali dan sopir truk menunjukkan bahwa aktivitas tambang di Gunung Guntur bekerja dalam sistem "per rit." Satu rit diisi oleh 3–4 orang penggali yang bekerja sama untuk mengisi satu truk pengangkut pasir. Nilai satu rit bervariasi, namun menurut para penggali, setiap rit mereka biasanya diberi upah sekitar 200.000 hingga 250.000 rupiah.

Dari nilai tersebut, penghasilan dibagi di antara penggali. Dalam kondisi ideal, satu tim bisa menyelesaikan dua rit dalam sehari. Namun dalam praktiknya, penghasilan kerap tidak stabil. “Upahnya ya sekitar 100.000–200.000 (rupiah) per hari. Itu pun kalau dua rit bisa. Kadang enggak dapat,” ujar Jordan, salah satu penggali.

Pola kerja dijalankan tanpa kontrak resmi, tanpa jaminan sosial, dan tanpa perlindungan hukum. Para pekerja tidak memiliki akses terhadap asuransi kecelakaan kerja atau BPJS Ketenagakerjaan. Jika terjadi insiden seperti tertimbun material longsor, terpeleset saat membawa pasir, atau luka karena serpihan batu, tidak ada pihak yang bertanggung jawab.

“Kalau ada yang meninggal, ya biasa aja. Enggak ada yang tanggung jawab, paling dari kami sendiri iuran buat keluarga korban,” kata Jordan.

Para penggali juga tidak memiliki posisi tawar terhadap pemilik portal atau sopir truk. Mereka hanya bertugas mengisi muatan, sementara nilai rit dan pembagian upah dikendalikan oleh pihak lain. Dalam beberapa kasus, penggali bahkan tidak tahu ke mana pasir dijual, siapa yang mengelola portal, dan siapa yang sebenarnya menerima keuntungan terbesar.

Pekerjaan ini dilakukan dalam kondisi minim alat pelindung diri dan tidak sesuai standar keselamatan. Beberapa penggali mengaku tetap terpaksa bekerja meski hujan deras, saat kondisi lereng sangat licin dan berisiko longsor. Dalam satu kasus yang terjadi pada senin 26 mei 2025, seorang penggali dilaporkan meninggal dunia setelah tertimbun longsoran pasir pada saat mengisi muatan kedalam truk. Tidak ada pertanggungjawaban atau kompensasi yang diberikan kepada keluarga korban.

Meski sadar akan risikonya, para pekerja memilih bertahan karena tidak memiliki alternatif lain. “Ini mah urusan perut,” ujar seorang penggali, menggambarkan pilihan hidup yang semakin sempit di tengah hilangnya sektor lain seperti pertanian dan perikanan.

Gunung Guntur, Garut, 27 April 2025 mengalami ancaman kerusakan ekologis. (Foto: Leo Saputra/BandungBergerak)
Gunung Guntur, Garut, 27 April 2025 mengalami ancaman kerusakan ekologis. (Foto: Leo Saputra/BandungBergerak)

Kehilangan Mata Air

Hilangnya mata air menjadi persoalan besar yang dirasakan langsung oleh warga. Tedie menyebutkan bahwa Curug Citiis 3 yang dulu menjadi salah satu titik sumber air kini telah kering. Warga di Desa Langonsari hanya bisa bergantung pada pasokan PDAM, yang tidak selalu tersedia setiap hari.

"Sekarang hanya dapat 2 jam malam, kadang-kadang 3 jam siang. Itu pun tidak merata," ujar Tedie.

Hal ini diperkuat oleh kesaksian Tati dari Desa Pasawahan. Ia menyebutkan bahwa air yang dulu melimpah kini terbatas dan harus dialirkan dengan sistem pipanisasi oleh pemerintah. Padahal, dulunya air mengalir sendiri dari gunung tanpa bantuan alat.

Meski telah jelas-jelas melanggar hukum, penambangan di kawasan Gunung Guntur tetap berjalan. Menurut warga, razia hanya dilakukan sesekali. Bahkan, ada praktik umum di mana aktivitas tambang berhenti saat petugas datang dan kembali beroperasi setelah aparat pergi. "Kucing-kucingan," kata Jordan.

Sumber dari LIBAS menyebut adanya dugaan pembiaran dan intimidasi. Mereka pernah dilibatkan dalam audiensi laporan masalah tambang, namun dari pihak pelaku justru didatangkan dalam audiensi ini. Hal ini menunjukkan pelanggaran terhadap prinsip perlindungan pelapor.

Identitas pemilik portal tambang di kawasan Gunung Guntur menjadi topik yang sensitif di kalangan warga. Beberapa narasumber menyebut bahwa keberadaan dan struktur pengelolaan portal tambang diketahui oleh masyarakat sekitar, namun belum dapat diverifikasi secara independen.

Nama-nama yang beredar disebut berasal dari tokoh masyarakat setempat atau kerabatnya, tetapi tidak ada bukti tertulis maupun pernyataan resmi yang menguatkan hal tersebut. Sementara itu, dugaan adanya figur penghubung antar portal juga disebutkan oleh beberapa pihak, namun informasi tersebut masih bersifat testimoni yang belum dapat dikonfirmasi secara menyeluruh.

Menurut Tati, warga sempat mendapat penghasilan tambahan dari jalur pendakian Gunung Guntur yang ramai pada 2017. Warga membuka warung, menyediakan jasa ojek, menyewakan peralatan mendaki, hingga menjadi relawan penjaga pos. Namun seiring waktu, jumlah pendaki menurun dan aktivitas ekonomi dari sektor wisata pun ikut merosot.

"Waktu ramai, kami merasa terbantu. Tapi sekarang sepi, ya akhirnya kembali lagi ke tambang," ujarnya.

Salah satu mantan penambang, Deni (28 tahun), kini aktif dalam kegiatan edukasi lingkungan dan penghijauan. Ia menyatakan bahwa beralih dari tambang tidak mudah karena minimnya dukungan pemerintah.

"Kami butuh pelatihan, akses pasar, dan dukungan permodalan kalau memang mau diarahkan ke usaha lain," katanya.

Usulan untuk pengembangan wisata edukasi berbasis konservasi sempat disampaikan oleh kelompok masyarakat, termasuk kepada DPRD Garut. Namun menurut Tedie, tindak lanjut dari pemerintah sangat terbatas.

"Programnya belum menyentuh masyarakat langsung. Padahal kalau dikelola serius, Gunung Guntur bisa jadi laboratorium alam yang menghasilkan manfaat ekonomi dan pelestarian sekaligus," ujarnya.

Transisi dari tambang ke sektor berkelanjutan bukan perkara mudah. Ia membutuhkan komitmen, sinergi lintas sektor, serta dukungan konkret dalam bentuk pelatihan, infrastruktur, dan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat akar rumput. Tanpa itu, keinginan warga untuk keluar dari tambang hanya akan menjadi harapan kosong.

Penambangan di Gunung Guntur menabrak banyak aturan, merusak lingkungan, dan menyisakan luka sosial. Tapi menutup tambang tanpa solusi hanya akan memindahkan krisis dari ekologi ke ekonomi. Warga yang selama ini bergantung pada tambang akan kehilangan sumber penghidupan utama, tanpa alternatif yang jelas dan terjangkau.

“Kalau tambang ditutup, terus kita kerja apa?” tanya seorang pekerja. Pertanyaan ini bukan sekadar gugatan retoris, melainkan jeritan dari ketidakpastian masa depan yang nyata.

Sejumlah warga dan pekerja tambang mengungkapkan, aktivitas penambangan yang mereka lakukan bukan karena tidak memahami dampaknya, tetapi karena tidak adanya pilihan lain yang tersedia.

“Kami juga tahu ini salah, tapi hidup harus jalan. Kalau ada kerja lain, siapa juga yang mau terus begini?” ujar salah satu supir truk.

Pemerintah belum menunjukkan kehadiran nyata dalam menyediakan alternatif penghidupan yang layak bagi warga. “Usulan-usulan sudah disampaikan, bahkan ada audiensi dengan DPRD. Tapi tidak ada langkah konkret yang dijalankan di lapangan,” kata Tedie.

Jika tambang benar-benar ditutup tanpa perencanaan matang dan program transisi yang adil, maka warga akan menjadi korban kebijakan yang setengah jalan. Warga menyadari bahwa mereka bukan membela tambang, mereka membela sumber ekonomi sehari-hari yang sulit ditapatkan dari sektor lain.

Baca Juga: Membaca Pola Pemberian Izin Tambang Pada Ormas Keagamaan Secara Politis
Andaikan Kampus Setuju Menerima Konsesi Tambang

Gunung Guntur, Garut, 27 April 2025 mengalami ancaman kerusakan ekologis. (Foto: Leo Saputra/BandungBergerak)
Gunung Guntur, Garut, 27 April 2025 mengalami ancaman kerusakan ekologis. (Foto: Leo Saputra/BandungBergerak)

Berkaca dari Longsor Tambang Gunung Kuda

Kerusakan kawasan Gunung Guntur karena tambang atau galian C di Kabupaten Garut mengingatkan pada tragedi longsor di Gunung Kuda, Desa Cipanas, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon, yang menewaskan puluhan orang pada Jumat, 30 Mei 2025. Proses penambangan di Gunung Kuda banyak menyalahi aturan dan dikerjakan secara tradisional.

Penelitian yang dimuat dalam Dialektika: Jurnal Ilmu Komunikasi (Vol. 9, No. 1, Maret 2022), oleh R. Indriyati, Nantia Rena Dewi Munggaran, dan Dudi Yudhakusuma dari Universitas Langlangbuana, mengungkap ada beberapa faktor penyebab kerusakan Gunung Guntur yang berkaitan erat dengan cara pandang masyarakat terhadap gunung. Gunung masih diposisikan sebagai objek ekonomi semata, bukan sebagai sistem penyangga kehidupan.

Faktor-faktor tersebut antara lain tambang pasir ilegal, perambahan hutan, pendakian liar di kawasan cagar alam, serta penggunaan motor trail di area Sanghyang Buruan. Aktivitas motor trail bahkan menyebabkan sedimentasi tanah hingga dua meter.

Dampak kerusakan lingkungan di kawasan Gunung Guntur adalah berkurangnya kapasitas hutan dalam menyerap dan menyimpan air. Akibatnya, masyarakat sekitar terancam kekeringan saat kemarau dan banjir bandang saat musim hujan.

Penelitian mencatat, Blok Gunung Guntur di kawasan Taman Wisata Alam Kamojang seluas 150 hektare telah berubah fungsi menjadi area galian pasir. Sejumlah air terjun hilang akibat eksploitasi, sumber mata air musnah, dan kawasan hijau menjadi gersang. Keadaan ini meningkatkan potensi bencana hidrometeorologi dan longsor yang mengancam masyarakat sekitar, termasuk area wisata Cipanas.

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat bahwa aktivitas tambang pasir di Gunung Guntur mengganggu pengukuran kegempaan gunung berapi (PVMBG, 2013). Sementara itu, menurut data BKSDA (2018), aktivitas destruktif lain seperti pembakaran hutan, wisata liar, dan pembuangan sampah semakin memperparah kondisi kawasan.

 

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//