Membaca Pola Pemberian Izin Tambang Pada Ormas Keagamaan Secara Politis
Kemunculan konsesi izin tambang berbentuk IUPK dapat dibaca sebagai upaya kelompok berkuasa untuk mempertahankan serta memperluas pengaruhnya dalam kekuasaan.
Wahyu Eka Styawan
Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur & Anggota FNKSDA
20 Juni 2024
BandungBergerak.id – Polemik kemunculan pemberian konsesi tambang kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan melalui revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 menjadi PP Nomor 25 Tahun 2024, merupakan titik kulminasi dari serangkaian kebijakan ganjil yang diterbitkan pemerintah Presiden Jokowi di akhir kepemimpinannya, menggenapi serangkaian kebijakan-kebijakan yang tendensius ke arah menjaga kekuasaan, seperti polemik RUU Penyiaran.
Keberadaan kebijakan ini pasalnya akan memberikan izin usaha pertambangan khusus kepada ormas, dengan memberikan hak istimewa ormas melalui badan usahanya untuk mengelola pertambangan batu bara. Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 83A , di mana ormas keagamaan dimungkinkan untuk dapat mengelola wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) pada area bekas Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B).
Kemunculan revisi aturan tersebut secara tidak langsung bertentangan dengan Undang-undang Mineral dan Batu Bara, karena regulasi tersebut mengatakan bahwa badan usaha yang ingin memperoleh izin tambang batu bara harus melalui proses lelang dan pengawasan yang ketat, tetapi semua itu dipotong oleh pemerintah pusat dengan merevisi peraturan presiden. Sehingga ada kontradiksi aturan, antara di mana PP sebagai turunan UU, melangkahi aturan yang lebih tinggi dalam kasus ini. Tentu, hal tersebut menimbulkan pertanyaan besar. Mengapa hal tersebut dilakukan oleh pemerintah?
Baca Juga: Penghapusan Penggunaan Batu Bara di Indonesia demi Masa Depan Anak Cucu
Menyuarakan Pencemaran Lingkungan Dikriminalisasi, Kisah Pilu dari Karimun Jawa
Nestapa Adaptasi Petani Tambak Garam Cirebon dalam Impitan Perubahan Iklim dan Batu Bara
Kebijakan dan Kepentingan Politis
Melalui pernyataannya Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia mengatakan, bahwa pemberian izin tambang pada ormas keagamaan merupakan upaya pemerintah pusat memberikan penghormatan atas jasa-jasa mereka yang telah memerdekakan bangsa Indonesia, serta bentuk peran serta pemerintah pusat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui tangan ormas keagamaan.
Pernyataan ini sejalan dengan muatan dalam PP Nomor 25 Tahun 2024 yang menyebutkan bahwa pemberian izin tambang berupa WIUPK pada ormas adalah bentuk upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Atas dasar inilah pemberian IUPK khusus dengan prioritas istimewa pada badan usaha ormas keagamaan tanpa proses lelang lahir.
Jika kita mengamati dengan seksama, mengapa hak istimewa ini lahir, maka kita perlu melihat pola yang terbangun secara politis. Suatu kebijakan tidak akan lahir tanpa urgensi tertentu atau motif mendesak yang mengharuskan munculnya regulasi atau revisi regulasi, sebagaimana pada kasus ini.
Menurut Easton (1953) dalam "An Approach to the Analysis of Political System" bahwa proses pengambilan kebijakan melibatkan fase input, aktivitas/kondisi politik (fase dinamisasi) dan output. Pada konteks fase input melibatkan penyampaian tuntutan sosial kepada aktor politik, yang membantu dalam menentukan penetapan agenda, yang dibagi menjadi agenda publik dan formal. Selama pada fase input ini aktivitas politik akan melibatkan aktor-aktor politik seperti eksekutif dan legislatif yang mengelola tuntutan internal dan eksternal. Lalu, pada fase output akan menghasilkan kebijakan publik, yang dibentuk oleh interaksi antara berbagai aktor politik, sosial, dan swasta.
Pada fase input, masalah diidentifikasi untuk menentukan prioritas masalah dalam agenda. Pada fase antara input dan output, terdapat fase aktivitas politik/kondisi politik, di mana para aktor politik dan partisipan berkepentingan baik yang terlihat maupun yang tersembunyi menentukan agenda formal. Dalam hal ini partisipan yang terlihat misalnya, aktor tingkat tinggi negara mendapatkan perhatian publik dan mempengaruhi agenda, sementara partisipan yang tersembunyi, misalnya, akademisi, birokrat atau kelompok berkepentingan memberikan dukungan dengan menentukan alternatif dan solusi. Pada akhirnya, agenda ditetapkan ketika pilihan kebijakan dipersempit ke dalam alternatif-alternatif tertentu.
Pola ini tersaji dalam kemunculan pemberian izin tambang pada ormas keagamaan, secara terang tanpa kepentingan-kepentingan aktor politik dalam pemerintahan serta pendukungnya untuk membuat kebijakan dengan dalih tertentu dalam hal ini "kesejahteraan masyarakat" yang sebenarnya berakar dari pengaruh dan tekanan pada kelompok berkepentingan, dapat juga dikatakan kelompok yang mempunyai pengaruh pada jalannya kondusivitas pemerintahan atau mempunyai pengaruh yang besar pada massa.
Berangkat dari catatan Ian Wilson (2015) dalam "The politics of protection rackets in post-New Order Indonesia: Coercive capital, authority and street politics" bahwa meskipun dalam konteks berbeda, di mana ia menyoroti grup vigilante seperti kelompok etnis dan keagamaan yang koersif. Tetapi ada satu pola yang sama, di mana pemerintah melahirkan kebijakan populis dan memberikan hak istimewa untuk menekan sekaligus membentuk relasi yang kuat untuk mengontrol sekaligus meminjam kekuatan dari kelompok tersebut.
Atau dalam konteks ini, ada kecenderungan pola, kebijakan lahir dari para partisipan tidak tampak yang ingin mengkapitalisasi keberadaan ormas keagamaan sebagai alat politik. Dengan tujuan utama yakni kelompok ini harus dijaga, difasilitasi, diberikan hak istimewa agar mudah dikontrol dan dapat dijadikan alat ketika kekuasaan terganggu. Atau dalam kata lain, kemunculan konsesi izin tambang berbentuk IUPK adalah upaya kelompok berkuasa mempertahankan serta memperluas pengaruhnya dalam kekuasaan.
Sebagai Konsekuensi Pilpres 2024
Persoalan pemberian izin tambang pada ormas keagamaan, tidak sekedar upaya untuk mengontrol dan memanfaatkan kekuatan mereka. Tetapi, ada pola lain yang tersaji, yakni bagian dari "imbal jasa" dan "menjaga gerak" ormas keagamaan pasca pemilihan presiden (pilpres) beberapa waktu lalu. Karena kita tahu fase transisi kekuasaan adalah fase di mana gejolak politik dapat mempengaruhi mulus atau tidaknya transfer kekuasaan yang berkaitan dengan konfigurasi politik ke depannya.
Hal ini sejalan dengan apa yang dimaksud dengan klientelisme. Menurut Barenshot (2018) "The Political Economy of Clientelism: A Comparative Study of Indonesia’s Patronage Democracy" bahwa klientelisme politik mengacu pada praktik memberikan bantuan pribadi, dapat berupa pekerjaan, kontrak, dukungan kesejahteraan, uang, dan sebagainya, sebagai sebuah imbalan atas pemilu mendukung. Tetapi klientelisme menurutnya berkembang dari sekedar balas budi berupa layanan. Dalam perkembangannya masuk juga balas budi berupa kebijakan populis, atau menjanjikan sebuah kebijakan hingga aturan yang berkaitan dengan si pendukung selama pemilu.
Sebagaimana yang terjadi saat ini, bahwa kebijakan pemberian izin tambang pada ormas sudah bergulir cukup lama, terutama sebelum pilpres. Lalu direalisasikan setelah pilpres, ada kecenderungan bahwa kebijakan tersebut sejalan dengan hasil pilpres serta kecenderungan dukungan pilpres pada pemilu lalu. Jika dalam istilah politik yang sering digaungkan oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) (2018) "Oligarki Ekstraktif & Penurunan Kualitas Hidup Rakyat" disebut sebagai ijon politik. Di mana ada imbalan berupa aturan atau konsesi pertambangan atas dukungan selama pemilu.
Tetapi, pola yang terjadi bukan sekedar ijon atau balas budi. Pemberian izin tambang pada ormas melebihi itu semua. Jika dikatakan sebagai pola klientelisme benar, ijon politik juga sudah memenuhi kriteria. Bahwa kejadian yang terjadi saat ini adalah pola baru dari politik populisme yang menggabungkan klientelisme, ijon politik dan jatah kekuasaan, yang merupakan bagian dari kontrol dan bagaimana mempertahankan status quo. Sehingga diharapkan pemerintahan ke depan tanpa gejolak, serta aneka kebijakan yang akan dibuat mulus tanpa hambatan.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Wahyu Eka Setyawan, atau tulisan-tulisan lain tentang lingkungan