Nestapa Adaptasi Petani Tambak Garam Cirebon dalam Impitan Perubahan Iklim dan Batu Bara
Anomali cuaca yang diperparah dengan emisi industri ekstraktif mencekik para petani garam Cirebon. Krisis iklim terasa nyata sampai ke meja makan kita.
Penulis Hannah Alaydrus17 Februari 2024
BandungBergerak.id - Minggu, 3 Desember 2023. Sepekan sudah petak-petak lahan garam itu digenangi air hujan. Pertanda kemarau telah usai. Kendati sudah waktunya panen, gundukan karung goni setinggi dua-tiga meter berisi garam kasar milik Darma masih teronggok pasrah menanti pembeli. Tertutup spanduk plastik bekas.
Matahari belum sepenggal di atas kepala, tak terlalu menyengat. Namun, laki-laki berusia 66 tahun itu sudah tiba di lahan, setelah beberapa waktu mengayuh sepeda, meski tak lagi akan membuat garam. Ia berhenti tepat di samping gundukan karung goni.
Tak butuh jeda yang lama sejak turun dari sepeda tuanya, Darma langsung menggali tanah dan menumpukkannya di sekeliling petak gundukan karung goni. Ketinggian simpanan karung-karung garam seberat 10 ton itu ditambah agar tak terkena air hujan lalu rusak.
Sebagai satu dari sekian banyak petani yang tak memiliki gudang penyimpanan, begitulah usaha yang dapat Darma lakukan sehabis panen. Seusai kemarau, menunggu harga jual cukup tinggi untuk mengganti peluh dan kerja kerasnya tiga-empat bulan ke belakang.
Dengan harga saat ini 600-700 rupiah per kilogram, Darma mengaku masih enggan menjual garam-garam tersebut. Seperti kebanyakan petambak lain, ia berharap bisa menjual ketika harga lumayan bersahabat, meski tak jarang, dalam puluhan tahun kerja menggaramnya, ia terpaksa harus menjual di harga rendah. Desakan hajat hidup sehari-hari membuatnya tak punya pilihan lain.
“Namanya orang punya duit. Kalau dia yang butuh, dia maunya harga segitu, dibawa. Kalau kita yang butuh, ya kalau gak dijual, gak ada duit,” ujar Darma.
Tak Semua Punya Akses Kemudahan
Darma, 66 tahun, merupakan petani tambak garam di Jalan Raya Kanci, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon. Lahan tambaknya tak jauh dari PLTU II Cirebon. Saat ditemui pada 3 Desember 2023 lalu, ia bercerita, sejak mulai minggu ketiga November, curah hujan yang turun sudah tinggi. Ia dan petani lainnya memutuskan berhenti menggaram seminggu setelahnya. Jerih upaya sejak Agustus resmi selesai untuk tahun ini.
Di atas lahan tak lebih dari setengah hektare, Darma biasa menggaram bersama istrinya, Satini, 60 tahun. Mereka biasa bekerja mulai pukul 9 pagi hingga 12 siang, istirahat, dan pulang sembari menunggu air kering. Kembali ke tambak menjelang sore, pekerjaan akan selesai pada maghrib.
Darma sempat menjadi hansip selama tiga tahun di usia muda. Berganti-ganti pekerjaan sempat dicoba. Merantau keluar dari Cirebon menjalani peluang lain juga sering. Hingga akhirnya, di usia 23 tahun, ia putuskan kembali ke kampung ini dan ‘menggaram’.
Terhitung 43 tahun memproduksi garam, cara yang Darma dan istrinya lakukan ialah cara yang tradisional. Prosesnya panjang dan memakan waktu.
Aktivitas di ladang biasa dimulai dengan mempersiapkan lahan menggunakan peralatan pendukung seperti cangkul, garu, serta gilingan untuk memadatkan tanah yang nantinya menjadi area untuk proses penguapan air laut. Setelahnya, air laut dialirkan dengan pompa kincir angin ke kolam penampungan. Kolam-kolam penampungan dan air laut terpisahkan oleh tanggul tanah dan pintu air sehingga banyaknya debit air laut yang mengalir ke kolam bisa diatur.
Air dari kolam satu ke kolam lainnya dipindahkan secara terus-menerus untuk mengendapkan zat-zat yang tidak diperlukan. Dalam beberapa hari, dengan bantuan cahaya matari tersebut, air laut itu menguap. Mengkristal menjadi butiran-butiran garam yang kita konsumsi di meja makan. Jika cuaca panas, dalam waktu tiga hari, kristal garam sudah terbentuk.
“Kalau mau dapetnya banyak, naro airnya banyak, sampe 5-6 hari,” tutur Darma.
Aktivitas tersebutlah yang dilakukan setiap harinya oleh Darma hingga kristal-kristal yang terbentuk bisa dikumpulkan per karung. Dari total satu kopang lahan miliknya, ia biasa mendapat 6-7 karung untuk satu kali panen. Satu karung bisa memuat 50-60 kilogram garam.
Selama tiga bulan ini, sekitar 10 ton kristal garam berhasil dikumpulkan Darma. Menurutnya, itu jumlah yang tak banyak. Hanya cukup untuk makan. Jika harga jual saat ini adalah 600 rupiah per kilogram, ia hanya akan memperoleh 6 juta rupiah. Nominal tersebut yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari hingga kemarau selanjutnya tiba, mungkin 7 atau 8 bulan lagi, bahkan bisa lebih lama jika musim penghujan berlangsung lebih lama.
“Kalau lahannya lebih besar, (panen) bisa lebih banyak lagi. Kalau ada modalnya sih, pada pake plastik. Jadi garamnya bisa lebih putih, lebih ringan, cepat, jadi gak menggiling terus,” keluhnya.
Darma mengaku belum punya modal untuk membeli plastik geomembrane, teknologi yang sudah cukup dikenal untuk dapat mempercepat proses pembuatan garam sekaligus meningkatkan kualitas garam menjadi lebih bersih karena tak langsung bersentuhan dengan tanah ketika kristal garam terbentuk.
Satria, 55 tahun, petani garam lain, mengaku sejak menggunakan plastik geomembrane proses pembuatan garam lebih mudah dan enak. Dibandingkan dengan sebelumnya, hasilnya bisa lebih maksimal. Selain itu, proses kristalisasi dari volume air laut yang sudah dituakan juga menjadi lebih cepat karena plastik hitam ketika terpapar matahari akan mudah panas.
Satria mengaku, ia baru mencoba menggunakan plastik tersebut di tahun ini. Tahun-tahun sebelumnya, sama seperti Darma, ia tidak memiliki cukup modal.
“Dulu gak pernah (pakai plastik geomembrane) karena gak punya uang. Mahal. Rp2,5 juta untuk 1 roll,” terang Satria, Sabtu, 4 November 23 lalu.
Meski belum semua lahan yang ia miliki bisa menggunakan geomembrane, Satria menuturkan, tahun ini kerja penggaraman menjadi lebih cepat. Garam-garam yang dipanennya menjadi lebih bersih. Berulang kali kata “semakin semangat” untuk menggaram ia lontarkan ketika sedang bercerita.
Lantaran lebih bersih itulah, harga jual garam yang dihasilkan Satria sedikit meningkat. Setidaknya, pada Oktober 2023, ia memperoleh harga 900 rupiah per kilogram untuk garam hasil panen dengan alas geomembrane. Sementara itu, untuk garam yang dipanen langsung dari tanah, berlaku harga 800 rupiah per kilogram.
“Lebih bersih karena gak nempel sama tanah. Yang manual itu ada tanahnya, harus nyuci,” ucapnya sembari terus ‘mengais’ butiran garam, memindahkannya ke karung goni untuk disimpan, lalu dijual ketika harga sudah meningkat.
Satria tidak tahu seberapa kuat plastik geomembrane yang ia pakai. Ini tahun pertamanya. “Kalau tahun depan yang ini enggak sobek, saya mau pasang lagi. Kalau sobek, ya harus beli lagi, kalau ada uang. Kalau engga ada uang, ya gak beli,” tuturnya.
Satria merupakan petani tambak garam yang berada di Ring 1 PLTU II Cirebon yang terletak di Kanci, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Meski terpaut usia lebih muda 11 tahun dari Darma, Satria sudah 44 tahun menjadi petani tambak garam. Ia sudah mengenal aktivitas ini ketika masih berusia 12 tahun.
Satria mengaku tak lama merasakan bangku sekolah. Barangkali hanya 3 hingga 4 tahun. Pendidikan formalnya tak berlanjut karena orang tuanya tak mampu membiayai. Sejak tahun 1980, ia memutuskan ikut menggaram bersama orang tuanya.
Tekad Satria menguat untuk membantu orang tuanya karena ia melihat ayahnya sakit-sakitan. Sebagai anak laki-laki pertama di keluarga, ia merasa bertanggung jawab menyaksikan kondisi orang tua dan kelima adik perempuannya.
“Adik saya lima, perempuan semua. Kalau misalnya saya enggak semangat, adik-adik saya engga ada yang kasi makan waktu dulu,” kata Satria, dengan satu tangan terkepal menyebut kata “berjuang”.
Anomali Iklim dan Ketidakpastian Harga
Sejumput garam bisa menggambarkan perubahan iklim. Garam yang tak terlihat tapi terasa dalam makanan kita sehari-hari itu terpengaruh oleh cuaca, oleh iklim yang kini kian tak menentu.
Di daerah tropis seperti di Indonesia, produksi garam hanya bisa dilakukan pada musim kemarau. Produksi garam bersifat tradisional. Sinar matahari menjadi andalan untuk menguapkan air laut.
Cuaca yang tak menentu membuat produksi semakin rentan terhadap perubahan iklim. Bagi petani, ketidakpastian cuaca kian menambah kekhawatiran akan kepastian penghasilan yang bisa mereka kantongi untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Persoalan bertambah pelik karena tidak semua petani garam memiliki lahan. Sebagian petani menggarap lahan tambak milik orang lain. Lahan disewa per musim dengan biaya beragam, berkisar antara 1-3 juta rupiah.
Satria memiliki lahan garap sebanyak empat kopang. Harga sewa nya beragam. Ada yang 3 juta rupiah, ada juga yang 1,5 juta rupiah. Uang sewa diberikan di awal ketika ia menyatakan siap menggaram.
Inilah penyebab Satria kerap mengkhawatirkan ketidakpastian curah hujan. Ia dan para petani garam lain mengalami kemarau tidak keruan dalam dua tahun belakang. Hujan kerap turun ketika proses penguapan air laut sedang dilakukan. Akibatnya, garam tidak jadi mengkristal dan panen gagal dilakukan. Padahal, uang sewa terlanjur dibayarkan.
“Rugi. Engga bisa balik modal. Pernah 2 tahun, 2021-2022, engga dapet karena kemarau ga karuan. 1 bulan hujan aja engga bisa jadi garam, bikin, hujan lagi,” tutur Satria.
Darma mengungkap hal serupa. Menurutnya, tahun ini kemarau cukup panjang, meski di sisi lain ia harus menerima bahwa harga yang tinggi tidak akan bertahan lama karena produksi tidak mengalami kelangkaan.
“Kalau hujan besar terus, airnya jadi muda. Enggak jadi garam. Kalau panas terus, juga harga merosot. Tenaganya banyak, harganya murah,” ujarnya.
Dwi Marthadewi, Pembina Mutu Hasil Kelautan dan Perikanan Ahli Muda pada Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan (DKPP) Kabupaten Cirebon, menjelaskan, memang dalam tiga tahun terakhir terjadi penurunan produksi garam di Cirebon. Tak banyak panen yang berhasil dengan cuaca pada tahun-tahun ini. Dwi menyebutnya dengan istilah ‘kemarau basah’.
“Ketika waktu musim kemarau masih ada hujan, itu produksinya menurun. Karena ketika air garam itu sudah tua, terus kena air hujan, air jadi muda lagi,” jelasnya, saat dihubungi via telepon, Jumat, 8 Desember 2023.
Bukan tanpa sebab, fenomena ini beriringan dengan La Nina yang menurut Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, terjadi di Indonesia pada tiga tahun beruntun atau triple-dip, yakni 2020, 2021, dan 2022 bahkan berlanjut hingga awal 2023. La Nina merupakan fenomena mendinginnya suhu permukaan laut (SML) di Samudra Pasifik bagian tengah dan timur di bawah kondisi normalnya. Di sisi lain, pendinginan suhu permukaan laut di Samudra Pasifik tersebut diikuti oleh menghangatnya suhu permukaan laut di perairan Indonesia sehingga menggiatkan pertumbuhan awan-awan hujan dan meningkatkan curah hujan di wilayah Indonesia secara umum.
Dalam IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, sebuah studi oleh Nirwansyah dan Braun menyebutkan ada sekitar 30 ribu orang di Indonesia yang menggantungkan hidup pada kegiatan produksi garam secara tradisional. Artinya, semakin besar anomali iklim, semakin besar pula ancaman bagi produksi garam maupun kesejahteraan petambak garam.
Untuk Kabupaten Cirebon, berdasar data yang diperoleh dari BMKG Penggung Kabupaten Cirebon, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, curah hujan memang tidak rendah. Kerap berada di kategori menengah (100–300 mm) bahkan tak jarang tinggi (300–500 mm). Fluktuasi ini naik dan turun tanpa pola yang pasti.
Cerita Darma dan Satria diaminkan oleh data bahwa hujan terus berlangsung dan mencapai curah tertinggi pada tahun 2016, kemudian terulang pada 2020 hingga 2022 lalu.
Sebagaimana diketahui, pola transaksi jual beli garam di Cirebon masih bergantung pada hukum pasar. Tidak banyak petani yang memiliki gudang penyimpanan untuk menyimpan stok panen ketika cuaca tidak bagus dan harga sedang anjlok. Ktidakpastian cuaca dan harga senantiasa hadir dalam bayang kekhawatiran para petani.
“Butuh peran pemerintah pusat untuk menstabilkan harga, semacam standar harga tradisional. Harga Eceran Tertinggi,” ujar Dwi Marthadewi.
Selama ini harga penjualan yang dirasakan masing-masing petani selalu variatif. Cepat sekali ia terjun bebas atau sebaliknya, melambung.
Satria, misalnya, yang menggaram sejak tahun 1980, merasakan harga tertinggi pada 2017. Ia memperoleh harga 3.000-3.500 rupiah per kilogram. Penyebabnya, tidak ada kemarau pada tahun 2016.
Penghasilan yang bisa diperoleh setiap musimnya dengan waktu efektif panen garam sekitar 3-4 bulan, secara bersih setelah dipotong modal sewa, berkisar 6-15 juta rupiah. Pada masa puncak itu, selama 2-3 bulan setelahnya, saat panen raya harga tetap stabil dengan nominal paling murah sebesar 2.200 rupiah per kilogram.
Nah sekarang, harganya anjlok sampai 600-700 rupiah per kilogram. Artinya terjadi penurunan lebih dari 50 persen. Satria terpaksa menahan penjualan sampai harganya cukup tinggi sehingga bisa memperoleh dana cukup untuk membiayai kebutuhan makan dan persiapan sewa musim 2024 mendatang.
“Cuma ya, nambahnya berapa ga tentu ya. Ga tau naiknya kapan,” ujarnya.
Baca Juga: PLTU Tanjung Jati A Cirebon, Bukti Pemerintah Tidak Serius dalam Mengurangi Emisi CO2
Menanam Mangrove di Atas Timbulan Sampah Pantai Cirebon
Nyala Batu Bara Redupkan Mata Pencaharian
Lokasi lahan penggarapan garam milik Satria berada di sisi selatan PLTU II Cirebon. Hanya berjarak 100 meter dengan proyek raksasa energi tersebut. Lebih dekat dibandingkan dengan lahan penggarapan Darma.
Tak jauh dari PLTU II Cirebon, di sebelahnya ada PLTU I Cirebon, yang sudah jauh lebih dahulu beroperasi, sejak 2012 silam. Jarak kedua PLTU ini tergolong dekat. Diapit dua raksasa energi inilah, petani-petani dengan lahan-lahan tambak yang tersisa menambak garam. Dulu, sebelum ada proyek PLTU, luas lahan untuk garam di Astanajapura, Kabupaten Cirebon mencapai 435 hektare.
Bersama Satria, terdapat sekitar 30 petani garam yang aktif menggarap lahan garam di bawah dan sekitar menara SUTET (Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi). Petani-petani di sini biasa bekerja dan menjual hasil panennya melalui seorang tengkulak garam, Ahmad Adung.
Adung memaparkan, sebelumnya sekitar 250 hektare tanah yang kini berdiri PLTU adalah lahan-lahan tambak garam produktif. Berubahnya fungsi hamparan lahan berakibat pada hilangnya mata pencaharian warga desa Waruduwur, Kanci, Kanci Wetan, dan Desa Citemu yang berprofesi sebagai petambak dan buruh tambak garam, profesi andalan yang dimiliki dan dikuasai secara keahlian turun-temurun oleh warga desa, terutama kaum pria.
Adung mengenang, proses pelepasan tanah berlangsung penuh intimidasi. Para pemilik tambak diancam akses air dan jalan menuju tambak bakal ditutup. Tak jarang preman turut dikerahkan untuk melakukan intimidasi. Cara-cara itu menjadi alasan dominan warga melepaskan tanahnya. Mayoritas masyarakat yang biasa mencari rezeki dengan menjadi petani tambak atau kuli panggul garam, terpaksa alih profesi dan berpindah.
“Kalau satu petak sekitar setengah hektare, ada 400 kepala keluarga yang tidak ada mata pencaharian karena satu keluarga itu setengah hektare,” tukas Adung, Minggu, 3 Desember 2023.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan Kab. Cirebon, diketahui terjadi penurunan luas lahan penggaraman di Kabupaten Cirebon dalam 10 tahun terakhir. Jumlah ini tersebar di beberapa daerah di kabupaten Cirebon, termasuk di wilayah yang kini berdiri dua mega proyek listrik tersebut.
Lapangan kerja yang dijanjikan di PLTU tak bertahan lama karena sekadar kerja kasar pada masa konstruksi. Selebihnya kesempatan kerja membutuhkan keahlian khusus yang tidak dimiliki warga dan para petani. Berdasarkan data yang dihimpun, pada 2013, tercatat masih ada sekitar 8.345 orang petani tambak garam. Jumlah itu terus tergerus hingga menyisakan sebanyak 924 orang yang tersebar di 8 kecamatan di Cirebon pada tahun 2022.
Selama fase konstruksi, beberapa tambak yang masih produktif terkena dampak pembangunan. Pengurukan menyisakan debu yang membuat garam berwarna gelap sehingga harus dicuci berulang-ulang. Sebagai buntut panjangnya, semakin banyak keluhan tentang turunnya kualitas garam yang diproduksi sejak beroperasinya PLTU.
“Tercemar batu bara, tercemar airnya, solar, dan bahan-bahan kimia. Karena gak mungkinlah PLTU itu enggak ada limbah yang tercecer,” kata Adung dengan lantang.
Adung dan petani lainnya menyaksikan kemunculan lendir hitam di perairan lahan garam. Kualitas garam yang diproduksi menjadi menurun dan berdampak pada harga jual. Hanya bisa 600–700 rupiah per kilogram.
Menurut Adung, jika berbicara kelayakan, lahan dengan kerentanan akan pencemaran seperti di kawasan ini tidaklah layak. Akan tetapi, petani-petani yang bekerja di sini harus tetap menjual garam agar bisa makan, meskipun garam-garam tersebut dijual bukan untuk dikonsumsi.
“Kita ngejualnya ke tukang rongsok untuk bersihin plastik, untuk nyuci kain, untuk campuran pupuk. Mana mau garam yang tercampur batu bara atau sudah terkontaminasi terus dikonsumsi?” ucap Adung.
Senada dengan Adung, Satria mengatakan, dulu lahan garapannya lebih luas dari sekarang dan dekat dengan pantai. Gedung-gedung menghalangi arah angin yang bertiup untuk memutar kincir pengairan.
“Lahannya mundur, akhirnya sempit juga, terus pendapatannya kurang. Saya kalau musim garam, biasanya kalo per tiga bulan itu dapat 200 ton. Sekarang sih, 100 ton aja belum dapet,” keluhnya.
Mengamini keluhan serupa tentang pencemaran, Satria membutuhkan beberapa waktu setiap harinya untuk secara khusus membersihkan tanah-tanah yang menjadi kolam garamnya. Jika tidak, tanah yang dulunya kuning itu menghitam dan membuat jelek warna garam yang dihasilkan.
“Kalau angin lagi bertiup kencang, biasanya debu batu bara tuh nempel semua. Biasanya sore pasti ada. Debu-debu itu lama-lama mengendap ke tanah, akhirnya tanahnya gak bisa berfungsi, gak cepet jadi garem,” jelasnya.
Sebelum ada PLTU, akses air dari laut ke tambak relatif mudah. Salurannya langsung. Kini, dua aliran sungai ditutup. Akhirnya, hanya tersisa satu aliran yang juga terhubung dengan saluran-saluran pembuangan dari pemukiman masyarakat.
“Suka ada limbah plastik, dan sebagainya. Akhirnya bikin garam itu susah. Kalau dulu, air rob air pasang langsung masuk ke sini itu cepet jadi garam karena ga ada campuran, mulus,” kenang Satria getir.
Sudah jatuh, tertimpa tangga. Tak hanya kehilangan lahan dan aktivitas produksi terganggu, operasional tenaga pembangkit juga menghilangkan kemudahan petani tambak untuk menjangkau pilihan memperoleh uang untuk hidupnya.
Darma dulu, di sela-sela aktivitas menggaram, bisa menambah penghasilan dengan ikut juga mencari ikan ke laut. Ketika kembali ke lahan garam, Satini, istrinya, akan menjual ikan-ikan hasil tangkapan itu ke pasar.
Kini, keberadaan tambaknya tak lagi dekat ke laut. Yang semula bisa ditempuh dengan berjalan kaki, sekarang harus dicapai dengan transportasi tambahan.
Darma sudah cukup berumur. Kakinya sudah tak kuat untuk berjalan jauh. Ia berhenti melaut sejak gedung-gedung itu terbangun. Alat-alat tangkapan yang pernah ia buat untuk melaut, tersimpan di gubuk tempatnya beristirahat di tambak garam.
“Dulu, mau usaha apa aja, enak. Kalau kerja di darat sepi, ya ke laut. Ada ikan belanak, terus udang, ya enak. Apa aja sih saya sih kerjanya,” kenang Darma.
Dalam laporan kertas posisi Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Barat yang berjudul “Energi Kotor: Dampak Buruk PLTU Batu Bara dan Resistensi Warga” dipaparkan secara teknis operasional pembangkit membangun konstruksi JETI yang menjorok ke laut sepanjang 3 kilometer dan berimbas pada menciutnya wilayah tangkap dan ruang gerak nelayan perahu kecil dan nelayan pinggiran pantai. Biaya operasional para nelayan akan semakin bengkak karena terpaksa harus mengambil jalur berputar. Sedangkan bagi nelayan pinggiran yang mencari sumber daya laut di perairan dangkal, hasil tangkapan semakin berkurang karena kualitas perairan laut yang semakin buruk, selain karena akses ke laut terhalang oleh area PLTU. Biota laut yang semula ada seperti ikan, kerang, kepiting, dan jenis lain yang mempunyai nilai konsumsi untuk dijual, juga punah terdampak limbah.
Akademisi Oseanografi Institut Teknologi Bandung (ITB), Susanna Nurdjaman, menegaskan, memang seharusnya produksi garam jauh dari polusi udara, polusi air, dan ruangan terbuka yang rentan terjadi kontaminasi. Apalagi kondisi lahan di pantura yang kebanyakan berupa lumpur, yakni tanah timbul yang terbentuk dari pengendapan sedimen yang tinggi.
Idealnya, garam dibuat tanah berpasir. Jika tanahnya lunak, memang diperlukan plastik atau teknologi untuk alas. Juga dibutuhkan atap tunnel untuk menjaga agar panen garam bisa berlangsung tanpa khawatir rusak jika ada air hujan yang turun tanpa diduga.
Menyambung Kehidupan
Pergantian musim mengisyaratkan kepada petani tambak garam untuk lekas bergegas mensiasati lahan-lahan agar tetap produktif di musim penghujan. Tambahan uang harus dicari. Waktu lima hingga bulan rasanya terlalu lama untuk dihabiskan dengan uang hasil penjualan garam.
Darma dan Satria memulai pekan pertama Desember dengan kembali membersihkan lahan agar siap dijadikan tambak ikan. Dengan salinitas air yang tak setua air laut, tambak tidak bisa lagi ditanami benih udang panami dan udang windu seperti dulu. Yang sekarang bisa disiapkan adalah air untuk ikan Bandeng. “Lumayanlah untuk makan,” ujar Darma.
Darma pernah mencoba berjualan sayur bersama istri ke pasar. Ia juga pernah bekerja memasang keramik di malam hari. Namun karena terlalu banyak persaingan dan tak jarang jadi omongan tetangga, ia mengalah.
Satria melakukan pekerjaan serupa. Ia bersiap menanam benih ikan bandeng dan mujair dengan harapan dua atau tiga bulan ke depan bisa panen.
Selain menggaram dan mengusahakan tambak ikan, Satria juga sempat dibantu istrinya, Eni, berjualan nasi dan sayur di dekat rumah. Setiap jam empat pagi atau sebelum subuh ia sudah berangkat ke pasar untuk membeli bahan. Menjadi kuli bangunan juga pernah ia coba. Pada akhirnya, Satria kembali juga ke usaha tambak.
Jerih payah Satria bukannya tanpa hasil. Ia dapat memiliki tiga toko sejenis swalayan yang diteruskan pengelolaannya kepada anak dan menantunya.
“Jangan sampai (anak-anak) kekurangan jajan, makan,” ucapnya. “Disiapin usahanya semua.”
Atensi Pemerintah Tak Dapat, CSR PLTU Tak Sampai
Sebagai daerah yang tak pernah lepas dari 10 besar sentra penghasil garam rakyat tertinggi di Indonesia, Cirebon masih memiliki pekerjaan panjang menyoal pemerataan pemberdayaan petambak garam. Pemerintah, melalui program Pengembangan Usaha Garam Rakyat (Pugar) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), menggadang upaya untuk pengembangan dan kesejahteraan petani tambak sebagai amanat dari Undang-undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
Dikutip dari lansiran Etnologi Media pada 29 September 2023, dua desa di Kecamatan Suranenggala, Kabupaten Cirebon, yakni Desa Muara dan Karangreja ditunjuk menjadi lokasi dalam program tersebut. Keduanya bukan desa tempat Darma, Satria, dan Adung menggaram.
Adung mengaku, sampai hari ini tak ada pembinaan yang pernah kelompok taninya dapatkan. Keterangan yang ia dapat, pembinaan yang awalnya ada di kabupaten beralih harus langsung ke provinsi. Akses ke provinsi jelas lebih sulit.
“Terus juga ongkosnya juga ke provinsi susah. Jangankan buat ongkos ke provinsi, buat makan aja susah,” katanya.
Lain cerita dari Darma. Ia mengaku pernah mencicipi bantuan Pugar, sekitar enam tahun yang lalu. Saat itu, ia dan beberapa petani lain diberi bantuan plastik geomembrane. Hanya saja, tak ia mengerti kegunaan dan cara penggunaannya. Karena tak ada arahan dan informasi, Darma menjual plastik tersebut.
“Kalau dikasih pengarahan, kan enak. Jadi umpamanya, “itu di lahan kayak gini” di kasih tau gitu, jadi orang itu tau. Waktu itu kan belum pada ngerti,” paparnya.
Setelah Pugar, tak ada lagi bantuan yang diperoleh Darma. Yang ia tahu pernah ada bantuan berupa mesin yang diberikan per kelompok sehingga sulit dalam operasionalnya.
Dua tahun belakang, Darma sudah dua kali diminta mengumpulkan salinan KTP-nya. Lagi-lagi untuk program Pugar, kabarnya. “Tahun kemarin gak ada dapet,” ucapnya. “Nah tahun sekarang, dikumpulin lagi tuh KTP, ya, enggak ada apa-apa.”
Satria, yang memiliki tambak berjarak hanya 100 meter dari PLTU II Cirebon, mengatakan selalu ada saja orang-orang dari pihak perusahaan yang datang ke lahannya. Mereka sering bertanya apa keluhan masyarakat sambil mencicipi garam. Namun setelah itu, tidak ada apa-apa.
Satria mengaku pernah menjadi satu-satunya petani tambak yang secara mendadak diminta ikut rapat ke Cirebon Power. Pertemuan itu tertutup. Hanya dihadiri pihak Japan Bank International Cooperation (JBIC) sejumlah 6 orang, juru bicaranya 1 orang, sisanya orang biasa yang tak banyak jumlahnya. Pada momen itu, ia diminta menjelaskan perihal keluhan masyarakat atas dampak PLTU.
“Tapi hasilnya, sampai sekarang tidak ada apa-apa,” tuturnya.
Satria masih ingat betul apa yang ia minta dalam pertemuan itu. Kincir angin yang sudah tidak berfungsi, ia minta diganti. Kalau tidak bisa, ia mengusulkan pengadaan dua unit pompa air. Terakhir, dia meminta dua bal plastik geomembrane.
“Akhirnya saya beli sendiri plastiknya, pompanya,” ujar Satria. “Kelamaan nunggu hasilnya.”
Serupa dengan Darma, Satria kerap kali diminta menyerahkan fotokopi KTP yang kabarnya dibutuhkan untuk penyaluran bantuan. Namun kenyataan serupa ia temui. Tak ada bantuan pemerintah yang kemudian datang.
Upaya Setengah-setengah
Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat, kebutuhan garam nasional sekitar 4,5 juta ton per tahun. Dari jumlah itu, sekitar 2,2-2,3 juta ton untuk industri, 1,5 juta ton untuk konsumsi, dan sekitar 500.000-700.000 ton untuk aneka pangan. Perpres Nomor 126 Tahun 2022 tentang Percepatan Pembangunan Pergaraman Nasional mengamanatkan pemerintah pusat dan daerah untuk percepatan pembangunan pergaraman. Kebutuhan garam nasional harus dapat dipenuhi dari garam produksi dalam negeri oleh petambak garam dan badan usaha paling lambat pada tahun 2024. Akan tetapi, persoalannya, kualitas garam rakyat kerap dipandang belum memenuhi kriteria kebutuhan bahan baku industri, terutama industri farmasi dan aneka pangan.
Andri Melasa, Sekretaris DKPP Kabupaten Cirebon, mengamini bahwa petambak garam mengalami kesulitan untuk dapat ikut serta memasok garam produksinya ke industri. Sebabnya, belum adanya pihak ketiga yang dapat menyerap produksi serta menjamin pasokan garam berkualitas dan mencukupi kuantitas secara berkelanjutan.
Menurut Andri, petambak garam belum memiliki modal yang besar sehingga sistem kerja sama serapan garam oleh industri yang menggunakan pembayaran berjangka, akan menyulitkan mereka. Menyoal kualitas untuk konsumsi, Andri menambahkan melalui keterangan tulisan bahwa sebenarnya petambak garam di Kabupaten Cirebon sudah dapat memproduksi garam dengan kandungan NACL diatas 90 persen, dan komoditas tersebut dapat bersaing dengan daerah sentra penghasil garam lain.
Namun sebagian petambak garam yang masih tradisional, masih memproduksi garam tidak dengan menerapkan SOP produksi garam yang baik, sehingga dihasilkan produk garam yang memiliki kandungan NACL di bawah 80 persen. Hal ini disebabkan petambak garam membutuhkan perputaran uang yang cepat untuk keperluan hidup sehari-harinya, sehingga panen garam dilakukan di waktu yang singkat, sekitar 3-7 hari. Padahal, produk garam yang baik membutuhkan waktu panen sekitar 15-20 hari.
Andri mengklaim, pembinaan petambak garam terus dilakukan. Petani yang sudah mendapatkan bantuan berlokasi di Kecamatan Kapetakan, Kecamatan Suranenggala, Kecamatan Gunungjati, Kecamatan Pangenan, dan Kecamatan Losari. Desa Kanci dan Desa Waruduwur, tempat Darma, Satria, dan Adung menjawab kebutuhan sehari-hari mereka, belum ada dalam daftar.
Upaya konfirmasi telah dilakukan dengan melayangkan surat elektronik berisi permohonan wawancara berikut daftar pertanyaan kepada Direksi Cirebon Power dan CSR Manager PLTU Cirebon. Petugas humas mengonfirmasi melalui WhatsApp bahwa untuk saat ini pihaknya tidak bisa memenuhi permintaan tersebut.
Rochmannur, Kepala Desa Rawaurip, Kecamatan Pangenan, menyampaikan, upaya-upaya yang dilakukan pemerintah kerap kali setengah-setengah. Program bantuan plastik diberikan terlambat. Plastik datang ketika musim sudah hujan sehingga tidak bisa langsung digunakan.
Pangenan merupakan salah satu kecamatan dengan lahan tambak garam terbesar. Tahun 2023 tercatat ada 600 hektare lahan.
Rochman mengamini perubahan iklim nyata terjadi. Bahkan semakin parah. Selain curah hujan, kenaikan gelombang laut semakin tinggi. Banjir rob kerap terjadi. Pembatas lahan garam dengan laut yang dulu ada, turun amblas dan kena air laut.
“Tahun ini paling fatal dibanding 4 tahun sebelumnya,” ucapnya, Minggu, 4 Desember 2023. “Jadi yang digarap cuma 25 persen dari luas tanah,” katanya.
*Liputan ini merupakan hasil dari pelatihan jurnalistik bertajuk, “Suara Perubahan Iklim dari Pinggiran” yang digelar Project Multatuli pada Oktober 2023