• Berita
  • Menanam Mangrove di Atas Timbulan Sampah Pantai Cirebon

Menanam Mangrove di Atas Timbulan Sampah Pantai Cirebon

Kesadaran menanam mangrove untuk dekarbonisasi mulai tumbuh di pesisir Cirebon. Belum diiringi dengan upaya pengelolaan sampah yang mencemari pantai.

Kondisi pesisir pantai yang dipenuhi timbulan sampah di RW 09 Kesunean Selatan, Kota Cirebon, Rabu, 26 Januari 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul2 Februari 2024


BandungBergerak.idSebuah inisiatif pengurangan gas rumah kaca (dekarbonisasi) dengan penanaman mangrove dan wacana pembuatan ekowisata tercetus di Kesunean Selatan, Kecamatan Lemah Wungkuk, Kota Cirebon. Inisiatif ini sebaiknya diawali dengan penanganan sampah yang menumpuh bertahun-tahun mencemari pantai.

Tanaman mangrove diketahui memiliki peran penting dalam upaya dekarbonisasi karena mampu menyerap karbon dioksida dan melepaskan karbon organik. Penanaman pohon bakau, nama lain dari mangrove, ini dilakukan di RW 09 yang digagas Pokja Ekowisata Biru Mangrove Kesunean Selatan dengan Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Generasi Energi Bersih. Ditargetkan mangrove yang ditanam bisa menyerap 90.000 kg CO2 equivalent dan melestarikan ekosistem pesisir Kota Cirebon.

Manajer Pendidikan dan Kaderisasi Walhi Jawa Barat Klistjart Tharissa Bawar mengkritik rencana pembangunan ekowisata Kesunean Selatan. Sebab di sana terdapat timbulan sampah yang belum tertangani. Bahkan kawasan pesisir yang ditanami mangrove berada di timbulan sampah yang memenuhi pantai.

Caca, demikian ia kerap disapa, timbulan sampah di pantai Kesunean Selatan merupakan akumulasi sejak betahun-tahun. Mayoritas sampah berupa kemasan saset sekali pakai dari merek-merek perusahaan terkenal.

“Ini berarti menandakan bahwa tanggung jawab produsen itu masih dipertanyakan, sampai-sampai sampah kemasan mereka itu ada sampai ke sini loh, ini lumayan jauh juga gitu. Dan ini udah lama. Jadi keseriusan produsen untuk tanggung jawab atas kemasan yang mereka hasilkan juga masih belum ada,” ungkap Caca saat ditemui di depan Baperkam RW 09 Kesunean Selatan, Kota Cirebon.

Caca menegaskan kawasan tersebut perlu dibersihkan terlebih dahulu baru dijadikan ekowisata. Soal pembersihan sampah dari pantai juga perlu menjadi perhatian. Sampah di pesisir laut jangan hanya berakhir di TPA sebab dikhawatirkan akan bermuara ke laut lagi. Makanya Caca menegaskan harus ada tanggung jawab produsen dan di saat yang sama pemerintah menindak tegas terkait pengelolaan sampah mulai dari hulu hingga ke hilir.

Persoalan lainnya yang menjadi catatan adalah keterlibatan bermakna dari masyarakat di dalam ekowisata. Jika skema yang dijalankan mengedepankan bisnis, Caca khawatir masyarakat tidak dilibatkan dan diikutsertakan secara bermakna. Sehingga warga tidak bisa mendapatkan dampak yang maksimal baik dari segi ekonomi maupun ekologi.

Mengatasi timbulan sampah sebelum membangun ekowisata menjadi keniscayaan. Setelah itu baru melakukan asesmen kebutuhan warga dalam skema pelibatan di ekowisata. Sehingga masyarakat mendapatkan dampak yang optimal dan bisa berkontribusi aktif di objek ekowisata di lingkungannya.

“Ceritanya kita mau memulihkan ekosistem, tapi ekosistemnya ini sangat amat tidak mendukung dengan kondisi sampah yang ada pun udah tertimbun lama dan banyak. Ironisnya adalah apakah ini akan bertahan lama atau enggak si kehidupan mangrove yang sudah tadi ditanam. Apalagi kalau tidak dilakukan perawatan dan pengawasan secara berkala, ya bisa jadi mungkin nanti si mangrove muda sangat rentan terbawa arus,” terang Caca.

Kondisi pesisir pantai yang dipenuhi timbulan sampah di RW 09 Kesunean Selatan, Kota Cirebon, Rabu, 26 Januari 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Kondisi pesisir pantai yang dipenuhi timbulan sampah di RW 09 Kesunean Selatan, Kota Cirebon, Rabu, 26 Januari 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Menanggapi kritik dari Walhi Jabar, Manajer Program Transformasi Energi IESR Deon Arinaldo menyampaikan klarifikasinya melalui surat hak jawab yang disampaikan kepada BandungBergerak.id, 5 Februari 2024. Berikut adalah poin-poin klarifikasi yang disampaikan IESR:

IESR telah melibatkan masyarakat dalam kegiatan ekowisata dengan cara menggandeng Kelompok Kerja (Pokja) Mangrove sejak awal. Pokja ini telah aktif dari tahap ideasi, perencanaan umum termasuk model bisnis yang dikelola dan melibatkan masyarakat, survei, pelaksanan kegiatan, serta diskusi dengan pemerintah setempat level kelurahan, kecamatan, dan Kota Cirebon.

“Masyarakat tetap akan terlibat dengan skema bisnis yang dirancang bersama komunitas. Pelibatan masyarakat ini dilakukan di antaranya dengan peningkatan kapasitas warga sekitar misalnya dalam pembuatan souvenir ekowisata,” kata Deon Arinaldo.

Terkait keraguan terhadap kelangsungan hidup mangrove yang baru ditanam, sesuai pernyataan Irwan Sarifudin, Koordinator Clean Energy Hub, IESR yang disampaikan di Badan Permusyawaratan Kampung (Baperkam) saat kegiatan Jelajah Energi 26 Januari 2024, serta pernyataan tokoh lokal saat seremonial penanaman mangrove, RW 09 telah berhasil mempertahankan dan memelihara hutan magrovenya hingga kini sejak 2004.

Hal itu menunjukan, pertama, adanya urgensi dukungan pelestarian wilayah mangrove dan kedua adalah komitmen dan konsistensi Pokja Mangrove RW 09 dalam memelihara dan mengembangkan kawasan hutan mangrove selama dua dekade. Penjelasan ini membantah kesangsian bahwa mangrove akan rentan terbawa arus.

Yakin Bertumbuh dan Membangun Jembatan

Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Cirebon Arif Kurniawan menyebutkan, banyak pihak yang mencoba menanam mangrove di Kota Cirebon. Namun begitu, ia memberi penegasan agar tidak hanya sekadar melakukan penanaman, tetapi juga melakukan pemeliharaan. Sebab, kawasan Kesunean Selatan sudah memiliki tujuh hektare luasan mangrove, ia berharap luasannya terus bertambah.

“Makanya (perlu) ada biaya pemeliharaan agar terus tumbuh. Kalau di sini mangrovenya sudah ada dan ditambah, jadi mudah-mudahan hutan mangrovenya di sini bisa tumbuh tetap lestari dan bermanfaat untuk masyarakat di sini,” ungkap Arif usai seremonial penanaman mangrove.

Menurutnya, mangrove memang penting bagi masyarakat sekitar. Mangrove menjadi tempat biota laut hidup. Hal ini menunjang mayoritas masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan kecil yang mencari rebon dan kerang.

Arif mengklaim sampah yang berada di pesisir itu merupakan sampah kiriman. Kota Cirebon berada di hilir, sampah yang datang kebanyakan dari daerah luar, misalnya Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Cirebon.

Ia juga mengklaim, mangrove akan tetap bisa hidup di kawasan yang banyak sampah. Hal itu berdasarkan pemantauan yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Cirebon, bahwa kawasan pesisir Cirebon itu memiliki tingkat salinitas (keasinan) yang pas dibanding pesisir Cirebon Utara.

“Kita tahu sendiri tanaman mangrove itu tahan terhadap garam. Tapi karena salinitasnya tinggi malah di beberapa tempat mati. Tapi untuk yang di sini sudah terbukti, sudah tumbuh. Artinya salinitas lebih kurang,” ungkapnya.

Arif bahkan berharap, ke depannya dilakukan penelitian rekayasa genetika agar tanaman mangrove dapat mengurai sampah. “Jadi ya,” sambil tertawa, “namanya juga kita nyari upayakan mulai dari energi terbarukan, mangrovenya gimana, dan seterusnya. Kalau kita punya rekayasa genetika sedemikian rupa, dia akan bisa mengurai sampah yang ada di sini.”

Camat Lemah Wungkuk, Kota Cirebon, Adam Walesa menambahkan di tahun 2024 ini pihaknya akan melakukan pembenahan dan pembangunan drainase di kawasan Kesunian. Setelah itu pihaknya akan melakukan penanaman mangrove agar tidak ada lagi timbulan sampah dan tidak ada warga yang mencoba tinggal di atas timbulan sampah.

“Setelah mangrovenya sudah tertutup gak ada jalan lagi, jalannya baru kita siapkan. Jadi sehingga tadi tidak maju lagi (timbulan sampah) ke arah laut. Karena kalau tidak ditutup mangrove mereka (timbulan sampah dan pemukiman kumuh) maju lagi, nanti (mangrove) ditebang,” terang Adam.

Setelah kawasan itu ditutupi mangrove, di tahun 2025 barulah pihaknya akan membangun akses jalan. Pihaknya pun berharap terdapat upaya lebih lanjut dengan IESR dalam pengembangan ekowisata, di antaranya dengan membangun jembatan. Sebab diketahui, Generasi Energi Bersih, komunitas “sayap” IESR tengah menggalang dana melalui Kitabisa.com untuk pengembangan ekowisata di kawasan ini.

Adam menjelaskan, konsep ekowisata mangrove yang akan dikembangkan adalah wisata menanam. Sehingga, selain menikmati hutan mangrove, pengunjung juga bisa merasakan pengalaman menanam mangrove. Adapun keuntungan untuk masyarakat sekitar, di antaranya bisa menerima keuntungan dari pembibitan mangrove. Ia juga mengaku sudah membentuk kelompok kerja mangrove yang akan mengelola dan merawat tanaman air payau ini.

“Di sini kita sudah bentuk pokja mangrove. Di Kesunian Selatan sudah terbentuk, mereka masyarakat sendiri. Karena kami tidak mungkin mengawasi 24 jam. Jadi kita kerahkan masyakaratnya,” ungkapnya.

*Tulisan ini telah diperbarui setelah bandungbergerak.id menerima klarifikasi sebagai hak jawab IESR, 5 Februari 2024 

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Awla Rajul atau artikel lain tentang Lingkungan Hidup

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//