Penghapusan Penggunaan Batu Bara di Indonesia demi Masa Depan Anak Cucu
Pemerintah Indonesia menjanjikan dalam konferensi COP 26 untuk menghapus penggunaan batu bara secara bertahap. Komitmen ini penting direalisasikan.
Josephine Anastasia Warsidi
Mahasiswi Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).
3 Februari 2022
BandungBergerak.id - Indonesia sebaiknya mulai berhenti menggunakan batu bara yang membahayakan masa depan anak cucu bangsa. Kandungan unsur karbon di dalam batu bara berasal dari fosil-fosil yang sudah tersedimentasi selama jutaan tahun. Aplikasi batu bara umumnya dilakukan dengan membakarnya agar menghasilkan panas dan menguapkan air untuk menjalankan turbin penghasil listrik. Namun, dalam pembakaran batu bara akan terlepas karbon dioksida ke udara.
Menurut United States Environmental Protection Agency, karbon dioksida berkontribusi 65 persen dari emisi gas rumah kaca global. Batu bara sebagai kontributor terbesar emisi karbon dioksida membuatnya sebagai salah satu penyebab utama perubahan iklim.
Sejak terdorongnya penggunaan batu bara secara massal dan industrial oleh adanya revolusi industri, dampak dari penggunaan batu bara berkelanjutan terhadap perubahan iklim sangat terasa. Perubahan iklim telah menyebabkan perubahan cuaca tak terduga yang belum pernah terjadi sebelumnya seperti gletser mencair, kebakaran hutan meningkat, banjir yang semakin parah, dan bencana-bencana lainnya. Banjir dan cuaca ekstrim yang sudah berlangsung bertahun-tahun belakangan ini bisa jadi akibat perubahan iklim. Perubahan iklim dapat berperan dalam peningkatan suhu global, mengancam kehidupan banyak sekali makhluk hidup, termasuk manusia.
Batu bara memiliki berbagai macam kegunaan, mulai dari mengoperasikan mesin, menghidupkan rumah-rumah, menyuburkan tanaman, dan masih banyak lagi. Banyak negara bergantung pada batu bara sebagai bahan bakar dan sumber energi terutama sumber listrik, tak terkecuali Indonesia. Indonesia merupakan salah satu produsen batu bara terbesar di dunia. Mayoritas pembangkit listrik di Indonesia masih mengandalkan batu bara sebagai sumber energinya. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena ditakutkan pembakaran batu bara terus menerus akan memperburuk kondisi perubahan iklim yang sedang terjadi.
Dijuluki sebagai kontributor tunggal terbesar untuk perubahan iklim yang diciptakan manusia (The COP26 Glasgow Climate Pact, 2021), penggunaan batu bara berkesinambungan ditakutkan akan mempercepat kenaikan suhu bumi. Oleh karena itu, para pemimpin dunia berkumpul dalam COP 26 yang berlangsung selama dua minggu di Glasgow (31 Oktober - 13 November 2021) untuk merancangkan komitmen masing-masing negara dan bersama dalam rangka menekan perubahan iklim serta dampak-dampaknya. Kesepakatan-kesepakatan yang dibuat dalam COP 26 diharapkan akan memperkuat upaya Indonesia untuk menghentikan penggunaan batu bara secara bertahap.
Konferensi yang sangat dinanti-nantikan yang diadakan di Glasgow beberapa bulan lalu ini mendapat publisitas tinggi oleh pers dan warga dunia yang mengantisipasi resolusi apa yang akan diajukan pemerintah-pemerintah dunia untuk mengatasi masalah perubahan iklim yang semakin mengkhawatirkan. Upaya yang diperkuat dan perubahan signifikan terhadap komitmen-komitmen sebelumnya harus dilakukan demi masa depan umat manusia.
Pada ajang pertemuan tersebut, setidaknya 40 negara menyetujui untuk melakukan ‘phase out’ atau menghapus penggunaan batu bara secara bertahap. Mengutip Cambridge Advanced Learner’s Dictionary (Cambridge University Press, 2013), istilah ‘phase out’ memiliki arti ‘to remove or stop using something gradually or in stages’. Phase out batu bara akan berdampak besar terhadap perubahan iklim dengan menurunkan emisi gas rumah kaca secara signifikan.
Pertemuan COP 26 memiliki empat fokus utama yaitu mitigasi, adaptasi, keuangan, dan kolaborasi. Phase out batu bara merupakan bagian besar dari agenda mitigasi, namun dalam pelaksanaannya butuh mobilisasi keuangan yang efisien oleh negara-negara maju untuk mempercepat usaha penekanan perubahan iklim. Dibutuhkan kerja sama dan kemitraan antar bangsa-bangsa untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan di Glasgow, termasuk membantu kaum-kaum yang telah terdampak buruk oleh perubahan iklim yang sedang terjadi.
Baca Juga: Pembangunan di Jawa Barat tidak Ramah Lingkungan
Pemerintah Mengabaikan Masyarakat Terdampak Pertambangan
Sampah Mikroplastik tak Kasat Mata Banyak Ditemukan di Pantai Pangandaran
Peran Negara dan Kita
Pemerintah Indonesia sendiri telah menyetujui untuk melakukan early retirement atau penutupan dini beberapa Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara. Hal ini disampaikan dalam pertemuan CEOs Forum 1 November 2021 yang berlangsung sebelum presiden menghadiri KTT Pemimpin Dunia COP 26. Presiden Joko Widodo, di hadapan para investor-investor asal Inggris, berkomitmen bahwa Indonesia akan perlahan-lahan menghentikan penggunaan batu bara dalam PLTU-PLTU di Indonesia dan beralih ke energi terbarukan, mendorong investor-investor untuk bantu mempercepat proses tersebut. Indonesia juga turut menandatangani ‘Global Coal to Clean Power Transition Statement’ dalam COP26. Hal ini merupakan langkah tepat menuju Indonesia ‘phase out’ batu bara.
Presiden Joko Widodo memperkuat komitmen negara ketika menghadiri COP 26, mengimplikasikan bahwa Indonesia akan mengejar ekonomi hijau dalam upaya mengatasi perubahan iklim global. Indonesia sedang bekerja menuju energi terbarukan untuk menggantikan energi Indonesia yang masih bergantung pada batu bara. Pertemuan antara Menteri Keuangan Sri Mulyani dan salah satu orang terkaya dunia, Jeff Bezos, dilakukan untuk membahas energi terbarukan dan manufaktur solar. Sri Mulyani yakin peralihan energi akan membantu menurunkan emisi karbon dan gas rumah kaca Indonesia. Indonesia pun sudah perlahan melakukan peralihan melalui pengembangan pembangkit listrik bertenaga surya, peningkatan ekosistem mobil listrik, dan masih banyak lagi yang disampaikan dalam pidato Presiden Joko Widodo pada tanggal 1 November di KTT COP26.
Melalui COP 26, Indonesia mencapai kemitraan baru bersama Asian Development Bank (ADB) dalam Energi Transition Mechanism (ETM)-nya untuk mempercepat penghentian penggunaan energi batu bara dan transisi menuju energi bersih. Sebagai negara berkembang, Indonesia tidak bisa berjuang melakukan phase out sendirian. Sebagaimana Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah menegaskan dalam acara peluncuran COP26 ETM for Southeast Asia Launch (3/11), “Energy is the biggest part and the most costly for the transition towards net-zero.” Perlu ada bantuan dan komitmen finansial dari negara-negara maju agar semua komitmen Indonesia dapat terlaksanakan.
COP 26 telah membuka banyak pintu bagi Indonesia menuju phase out batu bara. Melanjuti kerja sama dengan ADB, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menandatangani perjanjian dengan International Renewable Energy Agency (IRENA) di Glasgow (4/11/2021) untuk bantu merumuskan pedoman dan regulasi terkait energi terbarukan, sekaligus memberikan akses investasi dan keuangan yang lebih besar dalam usaha mewujudkan transisi energi bersih.
Tidak sampai situ saja, pemerintah juga berhasil terlibat dalam program pendanaan Accelerating Coal Transition (ACT) yang diadakan oleh Climate Investment Funds (CIF) sekaligus program investasi milik pemerintah AS, Clean Energy Demand Initiative (CEDI). CEOs Forum yang diadakan sebelum COP26 juga membuahkan hasil, berhasil menarik investor-investor Inggris untuk memberikan investasi sebesar $29,9 miliar di Indonesia.
Lalu apa langkah berikutnya? Sebagai salah satu kontributor emisi batu bara terbesar, pemerintah Indonesia sebaiknya mulai mengutamakan phase out batu bara sebagai kepentingan nasional agar upaya transisi ke energi bersih dapat berjalan dengan baik. COP 26 telah mempelopori langkah untuk melakukan phase out batu bara global dengan menjadi wadah bagi dibentuknya kerja sama dan membuka akses bagi pendanaan dan investasi demi kebaikan bangsa. Melalui konferensi tersebut, Indonesia berhasil menggandeng berbagai negara dan investor untuk bantu mewujudkan penghentian penggunaan batu bara.
Kita sebagai warga negara tentu tidak boleh hanya diam dan menjadi penonton, melainkan juga turut mengambil bagian dari hal-hal sederhana saja. Cukup dengan lebih hemat energi, mematikan lampu dan alat elektronik apabila tidak menggunakannya, memilih menggunakan transportasi umum, dan masih banyak hal lainnya yang dapat kita lakukan untuk menekan emisi karbon dan gas rumah kaca.