Seruan Darurat Iklim dari Bandung Berisik, COP 26 Momentum Omong Kosong Pemimpin Dunia
Perdagangan karbon yang dibahas COP 26 malah menjadi komoditas untuk mengeruk keuntungan semata.
Penulis Awla Rajul6 November 2021
BandungBergerak.id - “Kami menuntut bagaimana pemerintah bertanggung jawab atas krisis iklim, menuntut bagaimana korporasi bertanggung jawab, sebab perubahan iklim terasa nyata adanya,” demikian sorak salah satu massa aksi dari Koalisi Bandung Berisik (Bersatu Selamatlan Iklim), di depan Gedung Sate, Bandung, Jumat (5/11/2021).
Demonstrasi Bandung Berisik itu sebagai penyikapan terhadap Conference of Parties atau COP 26 Glasgow, Skotlandia, yang membahas Krisis Iklim Dunia. Koalisi Bandung Berisik merupakan gabungan dari organisasi pegiat lingkungan hidup, Lembaga Bantuan HAM dan Hukum, unsur pelajar, mahasiswa, Mapala, serta berbagai elemen komunitas.
Dalam aksinya, selain membawa papan-papan tuntutan, massa juga menggunakan kostum-kostum unik, seperti menggunakan topeng Salvador Dali dan seragam serba merah ala series Money Heist, kostum biosafety Chernobyl, dan kostum lainnya. Massa aksi juga menampilkan teatrikal yang menceritakan penguasa-penguasa merampas hak rakyat.
Aksi ini mengusung tema “Sepatu Kaca Sia”. Sia adalah akronim dari Si Punya Kuasa. Analogi tersebut diambil dari cengkeraman suatu kelompok di Indonesia yang berjumlah 1 persen, yaitu para pemodal, pemilik harta kekayaan di Indonesia, yang merampas hak-hak rakyat Indonesia yang berjumlah 99 persen. Perampasan tersebut diambil dengan tujuan untuk menjaga sepatu kaca mereka tetap mengilap.
Salah satu massa aksi dari Solar Generation, Amel menyampaikan bahwa ada tiga isu utama yang hendak diperjuangkan, yaitu ekologi, HAM, dan Hukum. Pada segi ekologi, ada empat permasalahan yaitu kualitas lahan, kualitas air, kualitas laut, dan kualitas udara.
Amel menyampaikan bahwa data yang disampaikan oleh pemerintah Indonesia pada agenda COP-26 hanyalah omong kosong. Ia menyebut bahwa wilayah pesisir utara dan pesisir selatan Jawa Barat sedang menghadapi empat krisis ekologi.
“Mereka kehilangan lahan, mereka kekeringan, mereka banyak yang mengalami permasalahan kesehatan apalagi terdampak PLTU batu bara. Dan mereka terdampak kehilangan pekerjaan karena lahan yang terancam,” ungkap Amel di sela-sela aksi kepada BandungBergerak.id.
Sebagaimana catatan Walhi Jabar, saat ini sudah ada empat PLTU batu bara di pesisir utara dan satu di pesisir selatan Jabar. Dari lima jumlah tersebut, wilayah utara masih akan bertambah sebanyak tiga PLTU lagi.
Hal tersebut kian mengkahwatirkan. Indeks kualitas hidup di Jabar sebesar 61,59 poin dan berada di urutan empat terbawah dari 33 provinsi. Diproyeksikan hinga 2030 besaran emisi yang dihasilkan oleh Provinsi Jabar akan mencapai 135.212.417 ton eCO2. Dari jumlah tersebut, sektor energi menyumbang 41 persen, sektor transportasi 31 persen, sektor kehutanan 12 persen, dan gabungan beberapa sektor lain sebesar 16 persen.
Baca Juga: Anak Muda Dituntut Aktif Kurangi Pemanasan Global
Dampak Bencana Perubahan Iklim Diperkirakan Lebih Dahsyat dari Pandemi Covid-19
Mengetuk Kesadaran Pemerintah di Hari Listrik Nasional
Melindungi Gedong Cai Cibadak dan Sabuk Hijau di Sekitarnya dari Kerakusan Pengembang
Spesies Liar, Kampanye Lingkungan di Tengah Maraknya Eksploitasi Hewan Dilindungi di Media Sosial
Darurat Krisis Iklim
Senada dengan Amel, Arya Pramudita dari Extinction Rebellion (XR) Bandung menyampaikan kekesalannya kepada pemerintah yang disebutnya menyampaikan data-data palsu di COP 26. Ia bahkan sepakat bahwa COP 26 hanyalah pertemuan palsu.
“Kami muak dan kami bersepakat bahwasanya COP 26 hanyalah menjadi pertemuan-pertemuan omong kosong ataupun pertemuan palsu yang dilakukan oleh para petinggi negara di dunia yang memang semuanya itu adalah penipu. Kami muak,” tegasnya.
XR Bandung menuntut kepada pemerintah untuk menyampaikan data yang sebenarnya di COP 26 dan terbuka kepada rakyat mengenai data-data kerusakan iklim. Mereka meminta kepada pemerintah untuk melakukan aksi sekarang. Selain itu, XR meminta pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan darurat krisis iklim.
Sebagaimana pandemi, ketika pemerintah mengeluarkan darurat pandemi, semua rakyat mulai melakukan langkah-langkah pencegahan. Begitu pula yang diharapkan XR untuk menekan laju krisis iklim yang kian cepat.
Walhi Jawa Barat Kritik COP 26
COP 26 masih berlangsung hingga 10 November mendatang. Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, Meiki W Paendong menyebutkan bahwa COP 26 terkesan sebagai ajang negoisasi terhadap persoalan-persoalan kontribusi emisi. Salah satunya mengenai perdagangan karbon.
Perdagangan karbon adalah istilah untuk negara-negara maju yang membayar kepada negara berkembang yang masih memiliki bentang alam penyaring emisi karbon. Emisi karbon dihasilkan transportasi yang menggunakan bahan bakar minyak (BBM), pembangkit listrik batu bara, industri, dan lain-lain yang menyebabkan pemanasan global. Pemanasan global inilah yang memicu krisis iklim dan membahayakan kehidupan di planet bumi.
Menurut Meiki, perdagangan karbon ini sudah semakin jauh dari semangat awalnya, yaitu untuk mengurangi karbon. Perdagangan karbon kini malah menjadi komoditas untuk mengeruk keuntungan semata.
Lewat perdagangan karbon, negara berkembang yang sudah menekan deforestasi akan mendapat bayaran dari negara maju. Walhi Jawa Barat menilai hal ini sebagai solusi palsu.
“Selama itu diartikan bahwasanya negara-negara yang berhasil menekan emisi karbon terus dibayar, itu juga di sisi lain melepas tanggung jawab negara maju yang sebenarnya juga melepas emisi karbon lebih banyak. Jadi bentuk tanggung jawabnya tinggal dibayar uang gitu,” ungkap Meiki W Paendong, kepada BandungBergerak.id.
Target zero emission Indonesia juga diragukan di tengah pembangunan di Indonesia yang masih bersifat eksploitatif dan ekstraktif dengan dalih untuk kesejahteraan rakyat dan meningkatkan ekonomi.
“Termasuk Indonesia belum pasti, katanya (zero emission) 2050, kemarin kami juga dengar lebih maju lagi. Tapi ini bertolak belakang dengan arah pembangunan yang masih ke arah pembangunan eksploitatif dan ekstraktif dengan mengatasnamakan kesejateraan rakyat, meningkatkan ekonomi. Ini menjadi maslah juga,” tambahnya.
Meiki pun mendesak negara-negara internasional untuk benar-benar menekan laju emisi global, bukan hanya dengan membayar negara-negara berkembang yang masih memiliki bentang alam. Selain itu, negara-negara internasional dapat membantu dari aspek teknologi dan mencegah investasi di sektor energi, salah satunya menghentikan penggunaan batu bara.
Mobil Listrik vs Batu Bara
Pemerintah Indonesia akhir-akhir ini gencar mewacanakan penggunaan mobil listrik sebagai solusi atas pengurangan emisi. Menurut Meiki, wacana tersebut kontradiktif. Di satu sisi pemerintah ingin menekan laju emisi karbon dari sektor transportasi. Namun, sektor energi yang dijadikan daya untuk kendaraan listrik masih menggunakan energi kotor, yaitu dari PLTU batu bara.
“Ini harusnya menjadi perhatian pemerintah juga. Bukan berarti menggunakan mobil listrik, lalu jejak karbonnya tidak ada. Jejak karbonnya masih ada karena masih pakai PLTU batu bara. Jadi kita mendorong untuk transisi energi yang berasal dari energi terbarukan,” tambah Meiki.
Amel dari Solar Generation menyambut baik wacana kendaraan listrik di Indonesia jika penggunaan energinya dari energi terbarukan, contohnya solar panel tenaga surya.
“Kecuali sudah siapin 1.000 kendaraan listrik, tapi listrik masih menggunakan batu bara, sama saja bohong. Coba kalau pemerintah misalnya pengin Indonesia buat mobil listrik, benerin dulu listriknya di Indonesia,” jawab Amel.
Amel juga mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk mulai melakukan aksi, yaitu menjadi pelaku yang bisa mengatasi atau mengurangi permasalahan iklim, misalnya hemat menggunakan listrik dan air.
Ia mengajak pula untuk memulai budaya berbelanja yang sesuai kebutuhan dan berkelanjutan. Terakhir, ia mengajak seluruh lapisan masyarakat agar memiliki sosok pemimpin. Artinya tidak hanya di diri sendiri, tapi mampu mendorong orang lain untuk perhatian akan krisis iklim dan mulai melakukan pencegahan.