• Berita
  • Pemkot Bandung akan Mengubah Sampah Menjadi Arang RDF, Mau Disalurkan ke Mana?

Pemkot Bandung akan Mengubah Sampah Menjadi Arang RDF, Mau Disalurkan ke Mana?

Pakar ITB menyebut arang RDF hanya bisa disalurkan ke pabrik semen atau PLTU. Tidak boleh ke pabrik tahu atau rumah tangga karena bakal membahayakan.

Warga bersepeda di tepi Sungai Cikijing yang permukaan airnya hitam tercemar limbah industri dan tertutup sampah, termasuk plastik, di Desa Jelegong, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Kamis (11/3/2021). Sungai Cikijing merupakan salah satu anak Sungai Citarum. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana24 November 2021


BandungBergerak.idPemerintah Kota Bandung mengusulkan sejumlah lokasi untuk pengolahan sampah di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum. Pengelolaan sampah akan menggunakan teknologi Refuse Derive Fuel (RDF), yakni mengubah sampah menjadi arang atau briket yang bisa menjadi bahan bakar seperti batu bara. 

RDF merupakan bahan bakar berbentuk arang yang terbuat dari cacahan sampah organik maupun nonorganik. Teknologi RDF ini mendapat penentangan dari pegiat lingkungan karena hasil pembakarannya akan mencemari udara. RDF memiliki gas buang yang sama beracunnya dengan batu bara. Akan menjadi ironis jika arang RDF digunakan sebagai pengganti batu bara di saat Indonesia baru saja mengikuti konferensi iklim COP 26 yang salah satu poinnya mengurangi emisi dan pemanasan global.   

Sedikitnya ada lima lokasi yang diusulkan Pemkot Bandung sebagai tempat pengelolaan sampah RDF, yaitu Cicukang, Cicabe, Tegalega, Nyengseret, dan Taman Kehati Cibiru. Menurut Wakil Wali Kota Bandung, Yana Mulyana, lokasi tersebut diusulkan untuk bisa digarap pada 2022 mendatang.

Yana mengatakan, pemerintah pusat telah memberikan sejumlah bantuan untuk pengelolaan sampah RDF. “Mesin RDF ini kapasitasnya 10 ton per hari," ungkap Yana Mulyana, usai mengikuti rapat Asistensi Peningkatan Perencanaan Pengelolaan Sampah Terpadu Melalui Program ISWMP dan Penandatanganan Komitmen Bersama dan Rencana Aksi Pemerintah Daerah Terpilih di Hotel Holiday Inn Bandung, melalui siaran pers, Selasa (23/11).

Teknologi RDF bukan hal baru di dunia persampahan. Pakar teknologi sampah ITB, Enri Damanhuri, menyebut setidaknya sejak 2005 pabrik-pabrik semen di Indonesia telah memanfaatkan sampah organik sebagai bahan bakar memproduksi semen.

Enri mengatakan, Bandung bisa saja mengolah sampahnya menjadi RDF. Namun masalahnya, harus disiapkan dulu bagaimana skenario penyaluran RDF nantinya. Misalnya, RDF tersebut disalurkan ke pabrik-pabrik semen. Masalahnya, di Bandung tidak ada pabrik semen. Pabrik semen terdekat paling di wilayah Cirebon.

“Pertanyaannya apakah lokasi mereka (pabrik semen) berdekatan tidak dengan sumber sampahnya, dalam hal ini Bandung?” tanya Enri Damanhuri, saat dihubungi BandungBergerak.id, Rabu (24/11/20121).

Kenapa harus pabrik semen? Enri menjelaskan sejauh ini perusahaan yang bisa menampung atau membeli RDF hanyalah pabrik semen karena mereka telah dilengkapi dengan teknologi pengendalian pencemaran udara. Selain pabrik semen, saat ini PLN masih menyiapkan PLTU-PLTU-nya agar bisa beralih ke RDF. Selama ini, PLTU-PLTU milik PLN masih sangat mengandalkan batu bara yang disoroti dalam konferensi COP 26, konferensi iklim terbesar di planet ini.  

“Sekarang industri yang paling siap menerima RDF itu pabrik semen, nomor dua kesiapannya baru mulai itu PLN, baru mulai (mempersiapkan memakai RDF),” terang pakar dari Kelompok Keahlian Pengelolaan Udara dan Limbah Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB ini.

Tanpa skenario penyaluran arang RDF ke tangan yang tepat, Pemkot Bandung akan tetap mengalami kesulitan dalam pengelolaan sampah. Sebab tidak sembarangan perusahaan atau pabrik yang bisa memanfaatkan RDF sebagai bahan bakar.

Sama seperti batu bara, RDF akan mengeluarkan zat beracun jika dibakar. Untuk menyaring zat beracun akibat pembakaran RDF diperlukan beragam teknologi yang mumpuni dan mahal. Dalam satu pembakaran RDF akan mengeluarkan beberapa jenis gas emisi, dan masing-masing jenis gas ini disaring dengan teknologi yang berbeda-beda.

“Semua bahan pasti mengandung pencemaran. Persoalannya, pengendali pencemarannya. Kan pengendali itu bukan satu alat. Pengendali itu teknologi yang banyak, macam-macam, dan masing-masing pencemar udara itu punya teknologi sendiri. Yang jadi soal apakah lengkap atau tidak teknologi pengendali pencemarannya, bukan sumbernya. Ga bisa beli satu teknologi terus dipasang untuk semua jenis gas. Tidak bisa,” paparnya.

Karena itulah sejauh ini hanya pabrik semen dan PLN saja yang dinilai Enri akan mampu menggunakan RDF sebagai bahan bakar. Kedua perusahaan ini dinilai telah memiliki teknologi pengendali zat pencemar udara yang lengkap.

Baca Juga: Pemkot Bandung Jangan Kelola Sampah jadi Batubara RDF
Dampak Bencana Perubahan Iklim Diperkirakan Lebih Dahsyat dari Pandemi Covid-19

Bukan untuk Pabrik Tahu atau Rumah Tangga

Rencana Pemkot Bandung mengolah sampah menjadi arang RDF bukan kali ini saja. Pada 17 Juni 2021, Wali Kota Bandung Yana Mulyana mengunjungi tempat pengolahan sampah PT Tekno Inovasi Asia (TIA), Jalan Jendral A.H. Nasution. PT TIA merupakan perusahaan pengelola sampah untuk dijadikan RDF.

PT TIA mampu memproduksi RDF sebanyak 16 ton per bulan. Yana tertarik mengelola RDF di TPS-TPS Kota Bandung. Dengan teknologi ini, ia berharap, pengelolaan sampah di TPS Kota Bandung bisa habis di lokasi dan mampu menghasilkan nilai ekonomi.

Dari sisi harga, memproduksi RDF lebih murah dibandingkan ongkos produksi baru bara. Pangsa pasar RDF pun sudah ada. “Ada yang (dijual) ke pabrik tahu, ada yang ke tekstil. Dijualnya per ton, masih di bawah Rp1 juta per tahun,” jelasnya.

Padahal seperti yang disampaikan Enri Damanhuri, perlakuan terhadap RDF sangat berbeda dengan bahan bakar lain, misalnya bensin yang bisa langsung dipakai begitu dituangkan. Penggunaan RDF sebagai bahan bakar memerlukan teknologi penyaringan udara yang tidak sederhana.

Enri tegas menolak ide penggunaan RDF untuk pabrik tekstil, apalagi untuk pabrik makanan seperti tahu, atau rumah tangga.    

“Buat saya kalau industri tekstil, apalagi pabrik tahu, belum siap menggunakan RDF. Kalau pabrik semen sudah siap karena mereka asosiasinya kuat. PLN juga PLTU mulai siap dengan meyesuaikan teknologinya. Jadi RDF itu bukan sekedar beli bensin, tidak. Pabrik tahu jangan, apalagi rumah tangga, jangan dijual ke rumah tangga, masalah itu,” ungkap Enri.

Kalaupun RDF mau disalurkan ke pabrik tekstil, maka pabrik tersebut harus melakukan perubahan pada teknologi bahan bakar di pabriknya. Perubahan ini termasuk menyediakan teknologi-teknologi penyaringan udara yang ketat. Dan ini membutuhkan investasi yang tidak murah.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//