• Opini
  • Menyuarakan Pencemaran Lingkungan Dikriminalisasi, Kisah Pilu dari Karimun Jawa

Menyuarakan Pencemaran Lingkungan Dikriminalisasi, Kisah Pilu dari Karimun Jawa

Sudah terang bahwa tambak udang di kawasan Taman Nasional Karimun Jawa itu ilegal. Empat warga Karimun Jawa yang menyuarakannya dikriminalisasi menggunakan UU ITE.

Wahyu Eka Styawan

Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur & Anggota FNKSDA

Taman Nasional Karimun Jawa. (Foto: tnkarimunjawa.id)

15 Februari 2024


BandungBergerak.id – Berita tentang kriminalisasi pejuang lingkungan kian hari kian masif. Setelah 3 warga Bojonegoro yang dikriminalisasi perusahaan melalui pasal 162 Undang-undang No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara karena menyuarakan dampak pertambangan batuan di Desa Sumuragung, Baureno, Bojonegoro, Jawa Timur. Lalu berujung vonis 3 bulan percobaan penjara. Kini di Karimun Jawa, Jepara, Jawa Tengah terdapat 4 orang warga yang dijerat Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) oleh pengusaha tambak, kini satu orang di antaranya ditahan di kepolisian setempat.

Sejak 2016 usaha tambak udang memenuhi pesisir Karimun Jawa, tambak udang tersebut tidak berizin. Selain tidak berizin tambak udang tersebut menghasilkan limbah yang memicu kerusakan pada ekosistem, baik dari limbah padat sampai cair mengganggu ikan, terumbu karang dan organisme lainnya. Pun tambak tersebut juga menyebabkan budidaya ikan tradisional terganggu, lalu rumput laut juga banyak yang rusak. Masyarakat merasa tidak nyaman, baunya tidak enak, tetapi mereka tak bisa bersuara.

Setelah ramai disuarakan, banyak yang protes. Akhirnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Penagakan Hukum (GAKKUM) pada 27 November 2023 melalukan kunjungan lapangan dan menertibkan pelaku tambak udang di sana, karena praktiknya yang mencemari lingkungan. Tapi apakah itu selesai sampai di situ? Ternyata tidak. Para mafia tambak udang ini terus berkilah dan merusak. Meski sudah tahu tambak udang di Karimun Jawa itu ilegal, karena memang tidak diperuntukkan untuk itu secara pola ruang.

Baca Juga: Kriminalisasi terhadap Partisipasi Publik, Cara Negara Menjegal Kritik
Catatan Akhir Tahun 2022 LBH Bandung: Masih Marak Kriminalisasi, Makin Sulit HAM Terlindungi
Kritik Walhi Jawa Barat pada Debat Soal Lingkungan oleh Cawapres Pilpres 2024

Tambak Udang Ilegal di Taman Nasional

Dalam penataan pola ruang, perlu diketahui bahwa Pulau Karimun Jawa diperuntukkan sebagai Taman Nasional dengan luasan 111.625 ha sejak April 1986 melalui surat keputusan No. 123/Kpts-II/1986. Taman Nasional Karimun Jawa memiliki zonasi wilayah untuk manajerial geografis. Merujuk pada surat keputusan Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem No. SK.28/IV-SET/2012 terdapat 9 zonasi, yakni zona inti, rimba, perlindungan bahari, pemanfaatan darat, pemanfaatan wisata bahari,  zona budidaya bahari, zona religi, budaya dan sejarah, zona rehabilitasi dan zona tradisional perikanan.

Dalam zonasi tersebut tidak ada secara spesifik ataupun lugas yang menyebutkan tambak khususnya udang, hanya dalam zonasi perikanan tradisional yang memungkinkan untuk memfasilitasinya. Tetapi, dilihat lagi secara gamblang dan jelas, zona tersebut memfasilitasi usaha perikanan masyarakat secara turun temurun dan ramah lingkungan. Sementara tambak udang bukan asli Karimun Jawa, ia hadir sejak 2016 dan merupakan kategori budidaya air tawar. Sehingga secara zonasi sudah tidak sesuai.

Bahkan baru-baru ini melalui Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Jepara 2023-2043, secara tegas melarang kegiatan tambak udang di Pulau Karimun Jawa. Pelarangan ini cukup berdasar mengingat Karimun Jawa merupakan taman nasional dengan keberagaman biodiversitas, serta keindahan pantai dan lautnya. Sehingga aktivitas yang memiliki potensi tinggi merusak seperti tambak udang memang seharusnya dilarang.

Secara aturan, merujuk Undang-undang No. 32 Tahun 2009 mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 57 menegaskan bahwa kawasan konservasi sumber daya alam harus dilindungi. Begitu pula dalam Undang-undang No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil pada pembukaan sampai pada pasal 28 tentang konservasi. Aturan tersebut menekankan pada perlindungan.

Sehingga aktivitas tambak udang pada kawasan taman nasional, lalu statusnya yang ilegal sangat bertentangan dengan Undang-undang No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil pasal 23 tentang pemanfaatan. Sekaligus juga melanggar Undang-undang No. 32 Tahun 2009 pasal 36 tentang perizinan, lalu pasal 67 terkait kewajiban menjaga lingkungan hidup dan pasal 69 pelarangan melakukan pencemaran.

Pejuang Lingkungan Masih Rentan

Meskipun sudah jelas dan gamblang bahwa tambak udang di kawasan Taman Nasional Karimun Jawa itu ilegal. Tetapi 4 orang warga Karimun Jawa yang menyuarakan tentang tambak udang yang merusak lingkungan malah dengan mudahnya dikriminalisasi menggunakan UU ITE. Nahasnya satu orang warga bernama Daniel malah ditangkap dan kasusnya statusnya sudah P.21.

Niat menyuarakan ketidaktegasan pemerintah dalam menindak kerusakan Taman Nasional, malah berujung ancaman jeruji besi. Padahal dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2009 pasal 66 telah jelas mengatakan bahwa setiap warga negara yang menyuarakan soal lingkungan hidup atau berkaitan dengan kerusakan lingkungan seharusnya tidak dengan mudahnya dijadikan tersangka bahkan sampai dilempar ke pengadilan.

Apalagi kasusnya terkait dengan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Padahal seharusnya yang ditindak adalah para penambak yang merusak lingkungan. Merujuk aturan terkait zonasi di wilayah taman nasional, aturan terkait  perlindungan pesisir dan pulau-pulau kecil serta perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup kegiatan tersebut adalah ilegal.

Seharusnya memakai Undang-undang No. 32 Tahun 2009 pasal 69 terkait pelarangan merusak lingkungan sampai melanggar ketentuan dengan melanggar zonasi sampai tidak punya izin, lalu pasal 97 terkait ketentuan pidana perusak lingkungan. Seharusnya yang ditangkap dan ditindak adalah para perusak tersebut bukan warga yang menyuarakan tentang kerusakan, serta tengah berupaya mendorong lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Kejadian ini telah menunjukkan bahwa ketidakadilan terjadi pada mereka yang bersuara atas hak atas lingkungan hidup. Serta menunjukkan ketidakpahaman aparat kepolisian setempat mengenai peraturan lingkungan hidup sampai secara spesifik mengenai perlindungan bagi warga yang menyuarakan kerusakan lingkungan.

Akhir kata, peristiwa ini akan menjadi semacam ujian bagi Kejaksaan dan Pengadilan Negeri di Jepara apakah mereka memahami hal tersebut khususnya Undang-undang No. 32 Tahun 2009, serta menguji kesaktian Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//